HOMILI: Hari Minggu Biasa XXV ( Keb 2:12.17-20; Mzm 54:3-4.5.6.8; Yak 3:16-4:3; Mrk 9:30-37)

"Barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku."
Dalam rangka mempersiapkan kunjungan pastoral Paus Yohanes Paulus II ke Indonesia, antara lain di Yogyakarta, tepat di lapangan Angkatan Udara, Maguwo-Yogyakarta, kami, panitia, harus mempersiapkan 20 (duapuluh) tamu VVIP. Mendengar hal itu, kami, panitia, bertanya-tanya: siapa yang selayaknya diundang sebagai tamu VVIP? Dalam kebingungan dan pertanyaan tersebut, tiba-tiba kami menerima info bahwa yang dimaksudkan dengan tamu VVIP adalah bayi/anak balita, lansia, pasien yang sakit berat/keras, anak-anak cacat, dan hendaknya juga diusahakan agar mereka itu terdiri dari aneka cara hidup atau panggilan. Mendengar hal itu, memang kami merasa ada kejelasan, tetapi juga harus menghadapi banyak tantangan, masalah dan hambatan, karena yang mencari tamu dimaksudkan memang harus dipersiapkan sedini mungkin (ditanyakan kesanggupannya) dan pada hari H yang bersangkutan, khusus pasien berpenyakit keras, masih hidup. Para tamu VVIP ini ditempatkan berjajar di pinggir ‘jalan’ di mana Paus akan mengawali Perayaan Ekaristis bersama: Paus memberkati dan menciumi mereka satu per satu. Apa yang dilakukan oleh Paus, Pemimpin Tertinggi Gereja Katolik, ini kiranya meneladan Yesus yang memeluk anak-anak kecil seraya bersabda : "Barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku. Dan barangsiapa menyambut Aku, bukan Aku yang disambutnya, tetapi Dia yang mengutus Aku." (Mrk 9:37). Maka marilah kita renungkan sabda Yesus ini, lebih-lebih bagi kita yang beriman kepada Yesus Kristus, entah secara formal maupun informal.
"Barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku. Dan barangsiapa menyambut Aku, bukan Aku yang disambutnya, tetapi Dia yang mengutus Aku."(Mrk 9:37)
Menyambut serta memperlakukan anak kecil tanpa kasih pasti anak yang  bersangkutan akan menolak dan menangis, demikian juga dalam menyambut dan memperlakukan mereka yang sudah lanjut usia, menderita sakit keras dst.. Anak-anak pada umumnya juga lebih suci daripada orangtua atau orang dewasa, karena semakin tambah umur atau pengalaman pada umumnya juga semakin bertambah dosa-dosanya. Dengan kata lain Tuhan lebih hadir dan hidup serta menjiwai anak-anak daripada orang dewasa atau orangtua. Maka benarlah apa yang disabdakan oleh Yesus bahwa cara menyambut anak-anak kurang lebih sama atau bahkan identik dengan cara menyambut Tuhan. 
Secara khusus kami mengharapkan para orangtua yang memiliki anak-anak balita untuk sungguh membaktikan diri pada anak-anak, dengan jiwa besar dan hati rela berkorban memboroskan waktu dan tenaga bagi anak-anaknya selama masa balita. Marilah kita sadari dan hayati bahwa masa balita anak-anak sungguh rawan dan rentan, dimana anak-anak lebih receptif terhadap aneka informasi yang mendatangi, apa yang dilihat dan didengarkan. Hendaknya orangtua menghadirkan diri di hadapan anak-anak dalam dan oleh kasih sejati, sehingga anak-anak sungguh merasa lebih dikasihi oleh orangtuanya daripada pembantu/baby-sitter atau neneknya. Maklum karena demi karir, maka sering terjadi anak-anak balita lebih diasuh dan dididik oleh pembantu atau neneknya, tiada waktu dan tenaga lagi bagi anak-anak balitanya. 
Yesus mengangkat dan memeluk anak kecil sebagai tanggapan atau reaksi atas pertanyaan di antara murid-muridNya atau para rasul perihal siapa yang terbesar di antara mereka jika Yesus meninggalkan mereka. Yesus mengingatkan dan mengajar mereka bahwa ‘yang terbesar’ hendaknya rendah hati dan bersikap hidup melayani. Ajaran ini kiranya sampai kini terus diusahakan oleh para pembesar atau petinggi Umat Katolik. Ada pepatah yang berbunyi “batang pada semakin bulir-bulirnya berisi akan semakin menunduk, sedangkan yang tak berisi akan menengadah”. Maksud pepatah ini kiranya sama dengan yang dikehendaki oleh Yesus, yaitu: semakin tua, tambah usia dan pengalaman, semakin kaya akan harta benda dan ilmu, semakin tinggi kedudukan dan jabatan, dst.. hendaknya semakin rendah hati, tidak sombong. Ingatlah, sadari dan hayati bahwa hidup kita serta segala sesuatu yang kita miliki dan kuasai sampai kini adalah anugerah Tuhan, bukan semata-mata hasil usaha atau keringat kita, orang yang lemah dan rapuh ini. Kami berharap anak-anak sedini mungkin di dalam keluarga dididik dan dibina perihal hal di atas ini dan tentu saja dengan teladan konkret dari para orangtua. 
Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat. Tetapi hikmat yang dari atas adalah pertama-tama murni, selanjutnya pendamai, peramah, penurut, penuh belas kasihan dan buah-buah yang baik, tidak memihak dan tidak munafik. Dan buah yang terdiri dari kebenaran ditaburkan dalam damai untuk mereka yang mengadakan damai” (Yak 3:16-18)
Dengan jelas sekali kita diingatkan oleh Yakobus agar tidak iri hati dan tidak mementingkan diri sendiri dalam cara hidup dan cara bertindak kita dimana pun dan kapan pun. Sebagai orang beriman kita diingatkan dan diajak untuk menghayati ‘hikmat yang dari atas’, yaitu “pendamai, peramah, penurut, penuh belas kasihan, tidak memihak dan tidak munafik”. Hidup dan bertindak demikian itu hemat saya perlu dijiwai oleh kerendahan hati.
Dalam hal panggilan menjadi pendamai, baiklah saya angkat kembali apa yang dikatakan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam memasuki Millenium Ketiga pada hari Perdamaian Sedunia, yaitu “There is no peace without justice, there is no justice without forgiveness” (=Tiada perdamaian tanpa keadilan, tiada keadilan tanpa kasih pengampunan). Orang yang menghayati kasih pengampunan hemat saya juga akan menjadi peramah dan penuh belas kasihan. Maka pertama-tama dan terutama marilah kita sadari dan hayati bahwa masing-masing dari kita telah menerima kasih pengampunan secara melimpah ruah dari Tuhan melalui sekian banyak orang yang telah memperhatikan dan mengasihi kita, tentu saja terutama orangtua kita masing-masing. Jika kita menyadari dan menghayati kasih pengampunan ini, maka panggilan untuk mengasihi dan mengampuni orang lain dengan mudah dapat kita lakukan. 
Kita juga diingatkan untuk ‘tidak memihak dan tidak munafik’. Peringatan atau ajakan ini kiranya pertama-tama dan terutama harus dilakukan oleh mereka yang memiliki kuasa untuk membagi atau memberi imbal jasa: hendaknya dilakukan secara obyektif, sehingga jauh dari pemihakan dan kemunafikan. Para pengusaha dan pemberi kerja kami harapkan dengan adil dan obyektif dalam memberi imbal jasa kepada para pegawai atau buruhnya, paling tidak sesuai dengan peraturan umum yang berlaku, dan syukur lebih. Ingatlah dan sadari bahwa usaha anda sangat tergantung dari para pegawai atau buruh; jika para pegawai atau buruh menerima imbal jasa yang memadai maka mereka akan tergerak untuk memajukan dan mengembangkan usaha anda, sebaliknya jika imbal saja tidak memadai, maka pegawai dan buruh akan bekerja seenaknya dan tidak lama lagi usaha anda akan gulung tikar. 
Kami berharap ajakan untuk ‘tidak memihak dan tidak munafik’ juga ditanggapi oleh para guru atau pendidik di sekolah-sekolah dalam memperlakukan para murid atau peserta didik, entah itu dalam memberi nilai ulangan maupu peringatan  atau tegoran harian. Pemihakan dan kemunafikan yang ada, baik dalam diri orangtua maupun guru/pendidik akan menular pada anak-anak atau peserta didik. “Kacang mongso tinggalo lanjaran”, yang berarti anak-anak pasti akan mengikuti apa yang dilakukan orangtua, para peserta didik akan mengikuti apa yang dilakukan pendidik/guru. 
Ya Allah, selamatkanlah aku karena nama-Mu, berilah keadilan kepadaku karena keperkasaan-Mu! Ya Allah, dengarkanlah doaku, berilah telinga kepada ucapan mulutku!Sebab orang-orang yang angkuh bangkit menyerang aku, orang-orang yang sombong ingin mencabut nyawaku; mereka tidak mempedulikan Allah.” (Mzm 54:3-5)
Minggu, 23 September 2012
Romo Ignatius Sumarya, SJ