"Barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku."
Dalam
rangka mempersiapkan kunjungan pastoral Paus Yohanes Paulus II ke
Indonesia, antara lain di Yogyakarta, tepat di lapangan Angkatan Udara,
Maguwo-Yogyakarta, kami, panitia, harus mempersiapkan 20 (duapuluh) tamu
VVIP. Mendengar hal itu, kami, panitia, bertanya-tanya: siapa yang
selayaknya diundang sebagai tamu VVIP? Dalam kebingungan dan pertanyaan
tersebut, tiba-tiba kami menerima info bahwa yang dimaksudkan dengan
tamu VVIP adalah bayi/anak balita, lansia, pasien yang sakit
berat/keras, anak-anak cacat, dan hendaknya juga diusahakan agar mereka
itu terdiri dari aneka cara hidup atau panggilan. Mendengar hal itu,
memang kami merasa ada kejelasan, tetapi juga harus menghadapi banyak
tantangan, masalah dan hambatan, karena yang mencari tamu dimaksudkan
memang harus dipersiapkan sedini mungkin
(ditanyakan kesanggupannya) dan pada hari H yang bersangkutan, khusus
pasien berpenyakit keras, masih hidup. Para tamu VVIP ini ditempatkan
berjajar di pinggir ‘jalan’ di mana Paus akan mengawali Perayaan
Ekaristis bersama: Paus memberkati dan menciumi mereka satu per satu.
Apa yang dilakukan oleh Paus, Pemimpin Tertinggi Gereja Katolik, ini
kiranya meneladan Yesus yang memeluk anak-anak kecil seraya bersabda : "Barangsiapa
menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku. Dan
barangsiapa menyambut Aku, bukan Aku yang disambutnya, tetapi Dia yang
mengutus Aku." (Mrk 9:37). Maka marilah kita renungkan sabda Yesus
ini, lebih-lebih bagi kita yang beriman kepada Yesus Kristus, entah
secara formal maupun informal.
"Barangsiapa
menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku. Dan
barangsiapa menyambut Aku, bukan Aku yang disambutnya, tetapi Dia yang
mengutus Aku."(Mrk 9:37)
Menyambut serta memperlakukan anak kecil tanpa kasih pasti anak yang bersangkutan
akan menolak dan menangis, demikian juga dalam menyambut dan
memperlakukan mereka yang sudah lanjut usia, menderita sakit keras dst..
Anak-anak pada umumnya juga lebih suci daripada orangtua atau orang
dewasa, karena semakin tambah umur atau pengalaman pada umumnya juga
semakin bertambah dosa-dosanya. Dengan kata lain Tuhan lebih hadir dan
hidup serta menjiwai anak-anak daripada orang dewasa atau orangtua. Maka
benarlah apa yang disabdakan oleh Yesus bahwa cara menyambut anak-anak
kurang lebih sama atau bahkan identik dengan cara menyambut Tuhan.
Secara
khusus kami mengharapkan para orangtua yang memiliki anak-anak balita
untuk sungguh membaktikan diri pada anak-anak, dengan jiwa besar dan
hati rela berkorban memboroskan waktu dan tenaga bagi anak-anaknya
selama masa balita. Marilah kita sadari dan hayati bahwa masa balita
anak-anak sungguh rawan dan rentan, dimana anak-anak lebih receptif
terhadap aneka informasi yang mendatangi, apa yang dilihat dan
didengarkan. Hendaknya orangtua menghadirkan diri di hadapan anak-anak
dalam dan oleh kasih sejati, sehingga anak-anak sungguh merasa lebih
dikasihi oleh orangtuanya daripada pembantu/baby-sitter atau neneknya.
Maklum karena demi karir, maka sering terjadi anak-anak balita lebih
diasuh dan dididik oleh pembantu atau neneknya, tiada waktu dan tenaga
lagi bagi anak-anak balitanya.
Yesus
mengangkat dan memeluk anak kecil sebagai tanggapan atau reaksi atas
pertanyaan di antara murid-muridNya atau para rasul perihal siapa yang
terbesar di antara mereka jika Yesus meninggalkan mereka. Yesus
mengingatkan dan mengajar mereka bahwa ‘yang terbesar’ hendaknya rendah
hati dan bersikap hidup melayani. Ajaran ini kiranya sampai kini terus
diusahakan oleh para pembesar atau petinggi Umat Katolik. Ada pepatah
yang berbunyi “batang pada semakin bulir-bulirnya berisi akan semakin menunduk, sedangkan yang tak berisi akan menengadah”. Maksud
pepatah ini kiranya sama dengan yang dikehendaki oleh Yesus, yaitu:
semakin tua, tambah usia dan pengalaman, semakin kaya akan harta benda
dan ilmu, semakin tinggi kedudukan dan jabatan, dst.. hendaknya
semakin rendah hati, tidak sombong. Ingatlah, sadari dan hayati bahwa
hidup kita serta segala sesuatu yang kita miliki dan kuasai sampai kini
adalah anugerah Tuhan, bukan semata-mata hasil usaha atau keringat kita,
orang yang lemah dan rapuh ini. Kami berharap anak-anak sedini mungkin
di dalam keluarga dididik dan dibina perihal hal di atas ini dan tentu
saja dengan teladan konkret dari para orangtua.
“Sebab
di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri di situ ada
kekacauan dan segala macam perbuatan jahat. Tetapi hikmat yang dari atas
adalah pertama-tama murni, selanjutnya pendamai, peramah, penurut,
penuh belas kasihan dan buah-buah yang baik, tidak memihak dan tidak
munafik. Dan buah yang terdiri dari kebenaran ditaburkan dalam damai
untuk mereka yang mengadakan damai” (Yak 3:16-18)
Dengan
jelas sekali kita diingatkan oleh Yakobus agar tidak iri hati dan tidak
mementingkan diri sendiri dalam cara hidup dan cara bertindak kita
dimana pun dan kapan pun. Sebagai orang beriman kita diingatkan dan
diajak untuk menghayati ‘hikmat yang dari atas’, yaitu “pendamai, peramah, penurut, penuh belas kasihan, tidak memihak dan tidak munafik”. Hidup dan bertindak demikian itu hemat saya perlu dijiwai oleh kerendahan hati.
Dalam
hal panggilan menjadi pendamai, baiklah saya angkat kembali apa yang
dikatakan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam memasuki Millenium Ketiga
pada hari Perdamaian Sedunia, yaitu “There is no peace without
justice, there is no justice without forgiveness” (=Tiada perdamaian
tanpa keadilan, tiada keadilan tanpa kasih pengampunan). Orang yang
menghayati kasih pengampunan hemat saya juga akan menjadi peramah dan
penuh belas kasihan. Maka pertama-tama dan terutama marilah kita sadari
dan hayati bahwa masing-masing dari kita telah menerima kasih
pengampunan secara melimpah ruah dari Tuhan melalui sekian banyak orang
yang telah memperhatikan dan mengasihi kita, tentu saja terutama
orangtua kita masing-masing. Jika kita menyadari dan menghayati kasih
pengampunan ini, maka panggilan untuk mengasihi dan mengampuni orang
lain dengan mudah dapat kita lakukan.
Kita
juga diingatkan untuk ‘tidak memihak dan tidak munafik’. Peringatan
atau ajakan ini kiranya pertama-tama dan terutama harus dilakukan oleh
mereka yang memiliki kuasa untuk membagi atau memberi imbal jasa:
hendaknya dilakukan secara obyektif, sehingga jauh dari pemihakan dan
kemunafikan. Para pengusaha dan pemberi kerja kami harapkan dengan adil
dan obyektif dalam memberi imbal jasa kepada para pegawai atau buruhnya,
paling tidak sesuai dengan peraturan umum yang berlaku, dan syukur
lebih. Ingatlah dan sadari bahwa usaha anda sangat tergantung dari para
pegawai atau buruh; jika para pegawai atau buruh menerima imbal jasa
yang memadai maka mereka akan tergerak untuk memajukan dan mengembangkan
usaha anda, sebaliknya jika imbal saja tidak memadai, maka pegawai dan
buruh akan bekerja
seenaknya dan tidak lama lagi usaha anda akan gulung tikar.
Kami
berharap ajakan untuk ‘tidak memihak dan tidak munafik’ juga ditanggapi
oleh para guru atau pendidik di sekolah-sekolah dalam memperlakukan
para murid atau peserta didik, entah itu dalam memberi nilai ulangan
maupu peringatan atau tegoran harian. Pemihakan dan
kemunafikan yang ada, baik dalam diri orangtua maupun guru/pendidik akan
menular pada anak-anak atau peserta didik. “Kacang mongso tinggalo lanjaran”, yang
berarti anak-anak pasti akan mengikuti apa yang dilakukan orangtua,
para peserta didik akan mengikuti apa yang dilakukan pendidik/guru.
“Ya
Allah, selamatkanlah aku karena nama-Mu, berilah keadilan kepadaku
karena keperkasaan-Mu! Ya Allah, dengarkanlah doaku, berilah telinga
kepada ucapan mulutku!Sebab orang-orang yang angkuh bangkit menyerang
aku, orang-orang yang sombong ingin mencabut nyawaku; mereka tidak
mempedulikan Allah.” (Mzm 54:3-5)
Minggu, 23 September 2012
Romo Ignatius Sumarya, SJ