Kis. 10:25-26.34-35.44-48; Mzm. 98:1,2-3ab,3cd-4; 1Yoh. 4:7-10; Yoh. 15:9-17
Hidup dalam persaudaraan atau persahabatan sejati pada masa kini sungguh mendesak dan up to date untuk kita hayati dan sebarluaskan, mengingat dan memperhatikan aneka kerusuhan, kebencian dan permusuhan masih marak di sana-sini. Antar anggota keluarga pun dapat saling membenci dan bermusuhan, karena rebutan warisan, demikian juga antar umat seagama juga dapat bermusuhan dan saling membenci karena merasa kurang dihargai atau diejek. Antar suku juga sering terjadi permusuhan, dst.. Semuanya itu kiranya disebabkan oleh sikap mental egois, dimana orang hanya mencari keenakan atau kepentingan pribadi tanpa memperhatikan kepentingan orang lain atau kepentingan umum/bersama. Sikap mental egois pada umumnya juga masih marak dalam diri orang-orang kota besar/metropolitan, seperti Jakarta, dimana dalam kenyataan memang merasa dirinya terancam atau kurang aman dan kemudian mengamankan diri dengan melindungi diri atau menyendiri, menutup diri. Maka baiklah saya mengajak anda sekalian untuk merenungkan dan menghayati sabda Yesus hari ini.
Ajaran untuk hidup dan bertindak saling mengasihi hemat saya disampaikan oleh semua agama, tidak ada agama yang mengajarkan kebencian atau mengobarkan permusuhan. Jika ada permusuhan atau kebencian antar umat beragama hemat saya hal itu terjadi karena keterbatasan pemahaman orang yang bersangkutan dalam memahami ajaran agamanya. Bahkan ada aliran agama atau sekolompok orang yang ekstrim serta mengaku beragama yang mengobarkan permusuhan atau pengrusakan. Mereka yang bertindak demikian ini kiranya tidak mampu menyadari dan menghayati diri sebagai ‘yang terkasih’, orang yang diciptakan, dilahirkan dan dibesarkan dalam dan oleh kasih; mereka tidak menyadari dan menghayati diri sebagai orang yang telah menerima kasih melimpah ruah dari Tuhan melalui sesamanya, terutama melalui orangtuanya.
Hidup dan bertindak saling mengasihi hemat saya mudah dilakukan atau dihayati jika kita menyadari dan menghayati diri sebagai ‘yang terkasih’. Marilah kita sadari dan hayati bahwa masing-masing dari kita adalah ‘buah kasih’, buah atau hasil tindakan cintakasih bapak-ibu kita masing-masing, dan selama kurang lebih selama sembilan bulan kita dengan penuh kasih dan kerahiman hidup dan tumbuh-berkembang dalam rahim ibu kita masing-masing. Ketika kita baru saja dilahirkan dan masih bayi sangat dikasihi orang orangtua kita masing-masing, terutama ibu kita, sehingga ada lagu “Kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia”.
Panggilan saling mengasihi pada masa kini hemat saya yang lebih sulit adalah dikasihi. Ingat dan sadari bahwa orangtua atau guru-guru kita dalam mengasihi kita antara lain memberi ajaran, tuntunan, tegoran, kritikan, nasihat, petuah dst.., yang mungkin bagi kita terasa sakit atau tidak enak. Kita juga sering dimarahi oleh orangtua atau guru-guru kita, bukan berarti mereka membenci kita tetapi karena mengasihi kita. Siap dikasihi berarti senantiasa menyikapi dan menerima aneka sapaan, sentuhan, nasihat, kritikan, ejekan dst.. dari orang lain sebagai kasih. Sadari dan hayati bahwa orang tidak akan menegor, mengritik atau memarahi kita jika mereka tidak mengasihi kita, namun karena mengasihi kita ketika kita tidak baik dalam cara hidup dan cara bertindak, maka mereka menegor atau memarahi kita.
Hidup dan bertindak dalam kasih juga berarti senantiasa mentaati dan melaksanakan aneka tata tertib yang berlalu di dalam hidup dan kerja kita masing-masing setiap hari. Ada tata tertib atau aturan yang tertulis, tetapi juga ada yang tak tertulis, tetapi tersirat. Yang tersirat misalnya: tempat tidur adalah untuk tidur, maka makan-makan atau rekreasi ditempat tidur berarti melanggar kasih, tempat ibadat adalah untuk berdoa, maka ramai-ramai atau bermain atau bersendau-gurau di tempat ibadat berarti melanggar kasih, dst.. Bacalah dan laksanakan juga aneka aturan yang tertulis dalam aneka kemasan makanan, minuman atau obat maupun buku petunjuk pemakaian kendaraan.
“Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih.Dalam hal inilah kasih Allah dinyatakan di tengah-tengah kita, yaitu bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, supaya kita hidup oleh-Nya. Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita” (1Yoh 4:7-10)
“Kasih itu berasal dari Allah”, inilah yang kiranya baik untuk kita renungkan, refleksikan dan hayati bersama-sama melalui cara hidup dan cara bertindak kita setiap hari. Kata-kata ini kiranya juga sering dihayati oleh mereka yang saling mengasihi, terutama yang akan dan sedang saling berjanji untuk saling mengasihi sampai mati sebagai suami-isteri, dimana masing-masing menyadari dan menghayati pasangan hidupnya sebagai anugerah atau kado dari Allah. Dengan kata lain Allah-lah yang telah mempertemukan dan menyatukan mereka sebagai suami-isteri. Kami berharap para suami dan isteri menghayati pasangan hidupnya sebagai anugerah Allah, sehingga memperlakukan pasangan hidupnya sesuai dengan kehendak dan perintah Allah.
Jika kita hidup dan bertindak saling mengasihi hemat saya hal ini merupakan wujud syukur dan terima kasih kita kepada Allah yang telah lebih dahulu mengasihi kita secara melimpah ruah. Dengan kata lain kasih kita merupakan syukur dan terima kasih. Orang yang sedang bersyukur dan berterima kasih pada umumnya damai, bahagia, tenang, bangga dan bersahabat. Hidup dan bertindak dalam kasih berarti senantiasa berusaha mendamaikan mereka yang bermusuhan serta membangun dan memperdalam persaudaraan atau persahabatan.
"Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang. Setiap orang dari bangsa mana pun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepada-Nya”(Kis 10:34-35), demikian kata Petrus kepada para pendengarnya atau pengikutnya. Apa yang dikatakan oleh Petrus ini hemat saya merupakan kebenaran yang hakiki, yang selayaknya “Allah tidak membedakan orang”, inilah yang kiranya baik kita renungkan atau hayati dalam cara hidup dan cara bertindak kita setiap hari dimana pun dan kapan pun. Penghayatan dari sabda ini tidak lain adalah agar kita bersaudara dan bersahabat dengan siapapun tanpa pandang bulu, kita dipanggil untuk membangun dan memperdalam persaudaraan atau persahabatan sejati. Maka baiklah untuk itu kita hayati secara mendalam apa yang sama di antara kita, antara lain sama-sama ciptaan Allah, sama-sama manusia, sama-sama beriman, sama-sama warganegara dst.. Jika apa yang sama di antara kita dihayati secara mendalam, maka apa yang berbeda antar kita akan fungsional memperdalam dan memperteguh persaudaraan atau persahabatan.
“Nyanyikanlah nyanyian baru bagi TUHAN, sebab Ia telah melakukan perbuatan-perbuatan yang ajaib; keselamatan telah dikerjakan kepada-Nya oleh tangan kananan-Nya, oleh lengan-Nya yang kudus. TUHAN telah memperkenalkan keselamatan yang dari pada-Nya, telah menyatakan keadilan-Nya di depan mata bangsa-bangsa.Ia mengingat kasih setia dan kesetiaan-Nya terhadap kaum Israel, segala ujung bumi telah melihat keselamatan yang dari pada Allah kita. Bersorak-soraklah bagi TUHAN, hai seluruh bumi, bergembiralah, bersorak-sorailah dan bermazmurlah!” (Mzm 98:1-4)
Jakarta, 13 Mei 2012
Romo Ignatius Sumarya, SJ