Beberapa calon pengantin ketika ditanya tentang kebanggaannya terhadap perkawinan kristiani mengungkapkan bahwa mereka bersyukur karena perkawinan kristiani bercirikan kesetiaan seumur hidup. Hal ini memberi jaminan bagi keutuhan keluarga. Mereka tidak perlu khawatir akan ditinggalkan atau diceraikan pasangannya. Pandangan ini mendapat peneguhan dari makna perkawinan kristiani itu sendiri, yaitu sebagai persekutuan hidup antara seorang pria dan seorang wanita yang terjadi karena persetujuan pribadi dan bersifat tetap atau tidak dapat ditarik kembali sehingga menuntut kesetiaan sempurna.
Tetapi mengapa perkawinan kristiani menuntut kesetiaan seumur hidup alias sampai mati? Jawabannya amat mengharukan dan sekaligus kudus: hubungan kasih antara suami dan isteri melambangkan hubungan kasih yang tak terpisahkan antara Kristus dan Gereja-Nya. Suami-isteri yang manusia rapuh boleh melambangkan dan menghadirkan hubungan kasih tak terceraikan antara Kristus dan Gereja. Hal ini hanya mungkin dan sinar kekudusan Kristus dan Gereja-Nya tetap terpancarkan dalam perkawinan dari pasangan kristiani ini apabila sumber kekuatannya didasarkan pada Ekaristi. Ekaristi adalah sakramen Sang Pengantin (Kristus) dan Sang Mempelai (Gereja), begitu kata Beato Yohanes Paulus II. Lalu Paus Benediktus XVI mengajarkan: "Secara tanpa batas Ekaristi menguatkan kesatuan dan kasih yang tak terpisahkan dalam setiap perkawinan Kristen." (Sacramentum Caritatis no. 27). Itulah sebabnya, sangat dianjurkan dan sewajarnya upacara perkawinan yang sakramen, khususnya kedua mempelai sama-sama Katolik, dilangsungkan dalam perayaan Ekaristi! Para pastor paroki tentu dengan murah hati melayaninya. Hendaknya Misa Perkawinan pada hari H-nya itu menjadi puncak dari seluruh rangkaian persiapan. Oleh karena itulah, hendaknya midodareni tidak dilangsungkan dalam Misa, tetapi dengan ibadat sabda saja!
SUMBER: Renungan Bulan Maria dan Bulan Katekese Liturgi KAS 2012 hari 11.
Tetapi mengapa perkawinan kristiani menuntut kesetiaan seumur hidup alias sampai mati? Jawabannya amat mengharukan dan sekaligus kudus: hubungan kasih antara suami dan isteri melambangkan hubungan kasih yang tak terpisahkan antara Kristus dan Gereja-Nya. Suami-isteri yang manusia rapuh boleh melambangkan dan menghadirkan hubungan kasih tak terceraikan antara Kristus dan Gereja. Hal ini hanya mungkin dan sinar kekudusan Kristus dan Gereja-Nya tetap terpancarkan dalam perkawinan dari pasangan kristiani ini apabila sumber kekuatannya didasarkan pada Ekaristi. Ekaristi adalah sakramen Sang Pengantin (Kristus) dan Sang Mempelai (Gereja), begitu kata Beato Yohanes Paulus II. Lalu Paus Benediktus XVI mengajarkan: "Secara tanpa batas Ekaristi menguatkan kesatuan dan kasih yang tak terpisahkan dalam setiap perkawinan Kristen." (Sacramentum Caritatis no. 27). Itulah sebabnya, sangat dianjurkan dan sewajarnya upacara perkawinan yang sakramen, khususnya kedua mempelai sama-sama Katolik, dilangsungkan dalam perayaan Ekaristi! Para pastor paroki tentu dengan murah hati melayaninya. Hendaknya Misa Perkawinan pada hari H-nya itu menjadi puncak dari seluruh rangkaian persiapan. Oleh karena itulah, hendaknya midodareni tidak dilangsungkan dalam Misa, tetapi dengan ibadat sabda saja!
SUMBER: Renungan Bulan Maria dan Bulan Katekese Liturgi KAS 2012 hari 11.