“Tidak
ada seorang pun yang dapat datang kepada-Ku, jikalau ia tidak ditarik
oleh Bapa yang mengutus Aku, dan ia akan Kubangkitkan pada akhir zaman.
Ada tertulis dalam kitab nabi-nabi: Dan mereka semua akan diajar oleh
Allah. Dan setiap orang, yang telah mendengar dan menerima pengajaran
dari Bapa, datang kepada-Ku. Hal itu tidak berarti, bahwa ada orang yang
telah melihat Bapa. Hanya Dia yang datang dari Allah, Dialah yang telah
melihat Bapa. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa percaya,
ia mempunyai hidup yang kekal. Akulah roti hidup. Nenek moyangmu telah
makan manna di padang gurun dan mereka telah mati. Inilah roti yang
turun dari sorga: Barangsiapa makan dari padanya, ia tidak akan mati.
Akulah roti hidup yang telah turun dari sorga. Jikalau seorang makan
dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang Kuberikan itu
ialah daging-Ku, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia.” (Yoh 6: 44-51), demikian kutipan Warta Gembira hari ini
Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:
· Jenis
makanan yang kita konsumsi memang akan sangat berpengaruh terhadap
kesehatan dan kebugaran tubuh kita maupun hidup spiritual kita. Ada
rumor: mayoritas orang Indonesia ini yang dikomsumsi adalah
‘rumput’/daun atau sayuran, sedangkan orang Eropa makan daging, maka
tidak mengherankan orang Indonesia lebih mengandalkan otot daripada
otak, phisik bukan spiritual. Di sekolah-sekolah senantiasa diajarkan
perihal ‘empat sehat, lima sempurna’, yang berarti jika mau sehat
hendaknya mengkonsumsi nasi/jagung/ubi, sayuran, daging/telor dan
buah-buahan, sedangkan jika mendambakan sempurna tambahlah susu. Maklum
banyak orang mengkonsumsi makanan dan minuman hanya mengikuti selera
pribadi, bukan mengikuti pedoman hidup sehat. Jika dalam hal makan dan
minum saja tidak sehat, apalagi dalam hal pelaksanaan atau penghayatan
sabda atau perintah Allah. “Akulah roti hidup yang turun
dari sorga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup
selama-lamanya, dan roti yang Kuberikan itu ialah daging-Ku, yang akan
Kuberikan untuk hidup dunia”, demikian sabda Yesus. Kita yang
percaya kepada Yesus Kristus hal itu berarti setiap kali kita menerima
komuni kudus dijanjikan untuk hidup selama-lamanya. Janji dari Allah
setia adanya, dan kiranya dari pihak kita juga dituntut setia, yaitu
setia melaksanakan dan menghayati perintah atau sabda-Nya dalam cara
hidup dan cara bertindak setiap hari alias dengan rendah hati berusaha
untuk menjadi suci, membaktikan diri seutuhnya kepada Tuhan. Jika selama
hidup di dunia ini kita sungguh membaktikan diri seutuhnya kepada
Tuhan, maka ketika dipanggil Tuhan alias meninggal dunia kita akan
menikmati hidup mulia dan bahagia selamanya di sorga.
· Malaikat Tuhan berfirman kepada Filipus: “Bangunlah dan berangkatlah ke sebelah selatan, menurut jalan yang turun dari Yerusalem ke Gaza." Jalan itu jalan yang sunyi.”
(Kis 8:26). Dengan taat dan setia Filipus melakanakan perintah Allah
melalui malaikatNya. Ia berjalan menuju ke selatan sampai di Kaisarea
untuk memberitakan Injil, mewartakan kabar baik, menyebarluaskan apa
yang baik dan menyelamatkan, terutama keselamatan jiwa. Marilah kita
meneladan Filipus: ke arah mana kita berjalan atau bepergian hendaknya
kita senantiasa menyebarluaskan apa yang baik dan menyelamatkan jiwa
manusia, dan untuk itu tentu saja jiwa kita sendiri selamat adanya. Jiwa
selamat berarti cara hidup dan cara bertindak dimana pun dan kapan pun
baik adanya, sehingga dampak hidup dan tindakannya mempengaruhi orang
lain untuk membaktikan diri seutuhnya kepada Tuhan, setia pada panggilan
dan tugas pengutusannya. Dikatakan bahwa jalan yang dilalui oleh
Filipus adalah ‘jalan yang sunyi’, berarti orang harus
berani berjalan sendirian dalam kesunyian; ia, meskipun sendirian, dapat
dihandalkan setia pada panggilan dan tugas pengutusan, serta tidak
menyeleweng dari panggilan dan tugas pengutusannya. Cukup banyak orang
takut dalam kesunyian atau sendirian, atau bahkan ketika sedang
sendirian kemudian hidup seenaknya, semau gue, mengikuti selera atau
keinginan pribadi, karena merasa tidak ada orang lain yang mengetahui.
Ingatlah, sadari dan hayati bahwa sebagai orang beriman, meskipun secara
phisik kita sendirian, sebenarnya kita tidak pernah sendirian, karena
Tuhan menyertai dan mendampingi kita. Maka ketika secara phisik
sendirian hendaknya orang bersyukur dan berterima kasih, karena ada
kesempatan untuk bermesra-mesraan dengan Tuhan tanpa gangguan. Bukankah
kita sering menyepi atau menyendiri agar dapat menikmati kebersamaan
dengan Tuhan?
“Ya
Allah, ketika Engkau maju berperang di depan umat-Mu, ketika Engkau
melangkah di padang belantara, bergoncanglah bumi, bahkan langit
mencurahkan hujan di hadapan Allah; Sinai bergoyang di hadapan Allah,
Allah Israel. Gunung Allah gunung Basan itu, gunung yang berpuncak
banyak gunung Basan itu! Hai gunung-gunung yang berpuncak banyak,
mengapa kamu menjeling cemburu, kepada gunung yang dikehendaki Allah
menjadi tempat kedudukan-Nya? Sesungguhnya TUHAN akan diam di sana untuk
seterusnya!
(Mzm 68:8-9.16-17)
Kamis, 26 April 2012
Romo Ignatius Sumarya, SJ