“Jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu”
Hari ini adalah Hari Ulang Tahun para imam, dan para imam di dalam Perayaan Ekaristi atau Misa Krisma bersama dengan para Uskup memperbaharui janji imamat. Sedangkan di dalam Perayaan Ekaristi Kamis Putih para imam dalam mengenangkan imamatnya ‘membasuh kaki dua belas orang’, sebagai kenangan Yesus membasuh kaki para rasulnya, suatu tindakan yang menunjukkan bahwa menjadi imam berarti menjadi pelayan, melayani umat Allah yang harus digembalakannya. Membasuh kaki dalam tradisi bangsa Yahudi merupakan tugas pekerjaan para pelayan, dalam rangka menyambut para tamu atau orang-orang yang menghadiri pesta perjamuan cintakasih. Pembasuhan kaki juga merupukan symbol cintakasih, dan pada Hari Raya Kamis Putih ini kita semua diajak mawas diri dalam hal hidup saling mengasihi satu sama lain, maka marilah kita refleksikan pewartaan Kabar Gembira hari ini.
“Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu” (Yoh 13:14).
Kaki adalah anggota tubuh kita yang berada paling bawah, dan ketika tanpa alas kaki apapun berarti kaki senantiasa bersentuhan dengan tanah dan dengan demikian akan menjadi bagian anggota tubuh yang paling kotor. Pembasuhan kaki para rasul yang dilakukan oleh Yesus merupakan teladan bagi para murid atau rasul agar dalam cara hidup dan cara bertindak senantiasa memperhatikan mereka yang berada paling bawah dalam kehidupan bersama, entah itu berarti mereka yang bodoh, miskin, tersingkir, anak-anak, dst..
Pertama-tama dan terutama kami mengajak dan mengingatkan para gembala umat (uskup dan para pastor beserta para pembantunya) untuk menghayati salah satu cirikhas hidup menggereja yaitu “preferential option for/with the poor” (=keberpihakan pada atau bersama dengan yang miskin dan berkekurangan). Selain memperhatikan mereka yang miskin dan berkekurangan secara financial, hendaknya juga memperhatikan mereka yang kurang memperoleh perhatian di dalam kehidupan bersama, entah itu yang jauh dalam hal jarak maupun kurang menerima perhatian dari saudara-saudarinya.
Para pemimpin karya atau perusahaan kami harapkan juga sering ‘turun ke bawah’ (turba) untuk memberi perhatian kepada para pembantu atau karyawan/pekerja satu per satu di tempat tugas mereka masing-masing. Semoga anda sebagai pemimpin karya atau usaha tidak hanya duduk-duduk di kursi empuk di kamar kerja anda seraya mengawasi para pegawai atau pekerja melalui sarana CCTV saja. Dengan kata lain mereka yang memiliki fungsi memimpin dalam hidup dan kerja bersama dimana pun dan kapan pun kami harapkan menghayati fungsinya dengan rendah hati. “Rendah hati adalah sikap dan perilaku yang tidak suka menonjolkan dan menomorsatukan diri, yaitu dengan menenggang perasaan orang lain. Meskipun pada kenyataannya lebih dari orang lain, ia dapat menahan diri untuk tidak menonjolkan dirinya” (Prof Dr Edi Sedyawati/ edit: Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka – Jakarta 1997, hal 24).
"Inilah tubuh-Ku, yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku!" Demikian juga Ia mengambil cawan, sesudah makan, lalu berkata: "Cawan ini adalah perjanjian baru yang dimeteraikan oleh darah-Ku; perbuatlah ini, setiap kali kamu meminumnya, menjadi peringatan akan Aku!" (1Kor 11:24-25)
Kutipan di atas ini setiap kali diulangi di dalam Perayaan Ekaristi dalam Konsekrasi. Hari Raya Kamis Putih juga merupakan kenangan akan Perayaan Ekaristi. “Pada perjamuan terakhir, pada malam Ia diserahkan, Penyelamat kita mengadakan Korban Ekaristi Tubuh dan Darah-Nya. Dengan demikian Ia mengabadikan Korban Salib untuk selamanya, dan mempercayakan kepada Gereja , Mempelai-Nya yang terkasih, kenangan Wafat dan Kebangkitan-Nya: sakramen cintakasih, lambang kesatuan, ikatan cintakasih, perjamuan Paska. Dalam perjamuan itu Kristus disambut, jiwa dipenuhi rahmat, dan kita dikurniai jaminan kemuliaan yang akan datang” (Vatikan II: Konstitusi Liturgi no 47).
Berpartisipasi dalam Perayaan Ekaristi serta menerima komuni kudus atau Tubuh Kristus diharapkan hidup dalam cintakasih sehingga terjadilah persaudaraan atau persahabatan sejati alias kesatuan dalam Tuhan. Maka marilah kita galang, usahakan dan perdalam serta tingkat hidup persaudaraan atau persahabatan antar kita, antar umat beriman. Hidup penuh persaudaraan atau persahabatan yang dijiwai oleh cintakasih pada dirinya bersifat missioner, dan tentu saja akan menarik, memikat dan mempesona bagi orang lain, serta mereka yang menyaksikannya akan tergerak untuk menggabungkan diri. Kami berharap sungguh terjadi persaudaraan atau persahabatan sejati antar umat di tingkat lingkungan atau stasi.
Secara khusus kami juga mengharapkan komunitas basis, yaitu keluarga atau komunitas imam, bruder atau suster juga dapat menjadi teladan dalam hidup saling mengasihi sehingga terjadilah kesatuan, persaudaraan atau persahabatan sejati. Para pastor paroki dalam satu pastoran hendaknya menjadi teladan dalam kesatuan dan hidup saling mengasihi bagi umat yang harus dilayani atau menjadi tanggungjawabnya. Ingatlah peran atau fungsi pastor merupakan partisipasi dalam fungsi uskup sebagai pemersatu umat. Hendaknya dijauhkan aneka bentuk perpecahan antar pastor dalam satu pastoran atau paroki (maklum sampai kini masih ada saja dua pastor dalam satu pastoran tidak dapat hidup damai dan bersaudara, melainkan jalan sendiri-sendiri).
“Bagaimana akan kubalas kepada TUHAN segala kebajikan-Nya kepadaku? Aku akan mengangkat piala keselamatan, dan akan menyerukan nama TUHAN,.. Berharga di mata TUHAN kematian semua orang yang dikasihi-Nya.Ya TUHAN, aku hamba-Mu! Aku hamba-Mu, anak dari hamba-Mu perempuan! Engkau telah membuka ikatan-ikatanku! Aku akan mempersembahkan korban syukur kepada-Mu, dan akan menyerukan nama TUHAN, akan membayar nazarku kepada TUHAN di depan seluruh umat-Nya”
(Mzm 116:12-13.15-18)
Kamis, 5 April 2012
Romo Ignatius Sumarya, SJ