Saudari-saudaraku yang terkasih dalam Tuhan,
Pada zaman kita dewasa ini berbagai peristiwa kematian yang tidak wajar mewarnai kehidupan kita. Kekerasan telah merasuk dalam kehidupan keluarga kita (KDRT): aborsi, pembunuhan, bunuh diri. Bahkan dengan rekayasa terencana terjadi terorisme yang melenyapkan kehidupan orang lain atau diri sendiri. Kita hidup dalam budaya kematian (culture of death). Kematian Yesus pun merupakan kematian tidak wajar, karena rekayasa Imam Agung dan sekutunya yang iri hati dan benci pada Yesus, karena Yesus unggul dalam kasih dan keutamaan.
Dari kisah sengsara Tuhan, kita dapat belajar bagaimana caranya menghadapi masalah kehidupan, tergantung pada siapa kita belajar. Pada pembunuh Yesus kita belajar cara kekerasan, sedangkan pada Yesus kita belajar cara kelembutan. Sayang sekali, bahwa cara kekerasan ini menginspirasi begitu banyak orang pada zaman sekarang dalam menghadapi masalah kehidupan. Jangan-jangan cara kekerasan itu menginspirasi kita untuk melakukan kekerasan juga.
Kalau kita murid-murid Kristus tentu kita memilih cara kelembutan penuh kasih. Itulah yang diamanatkan oleh Yesus, Tuhan kita. Dalam kematian Yesus Allah yang adalah kasih tetap tampil sebagai kasih yang penuh pengampunan kepada manusia, meskipun manusia membinasakan kehidupan. Karena itu, Allah membangkitkan Yesus dari antara orang mati. Meskipun dibunuh, namun Yesus tetap hidup.
Pada peristiwa Yesus dalam bacaan Injil (Markus 16:1-8) dikisahkan ada perempuan-perempuan yang dekat dengan Tuhan: Maria Magdalena dan Maria ibu Yakobus, serta Salome. Hati perempuan-perempuan itu penuh kasih. Bila ada hati penuh kasih, tentu juga ada kehendak untuk selalu kreatif berbuat yang terbaik untuk Yang dikasihi, meskipun perbuatan itu sederhana: bangun pagi-pagi benar, membawa rempah-rempah untuk meminyaki Yesus.
Allah berbuat lebih hebat daripada yang direncanakan oleh manusia. Ketika sampai di makam, perempuan-perempuan itu mendapati batu penutup makam sudah terguling. Dan Yesus memang tidak ada di makam, bukan karena jenazahnya dicuri orang; tetapi karena Ia hidup. Paska kebangkitan Tuhan Yesus Kristus merupakan peristiwa pembenaran oleh Allah, bahwa kehidupan ilahi tidak bisa dimusnahkan oleh kematian. Karena itu, kepercayaan kepada Kristus mengamanatkan, agar manusia menerima kehidupan, memelihara serta melestarikan kehidupan yang adalah anugerah dari Allah. Kalau ada kepedulian dan kesediaan berbagi sesuai dengan yang ada pada kita, mukjizat menjadi sungguh terjadi. Itulah yang kita upayakan dengan menjadi Katolik sejati: peduli dan berbagi.
Di dalam budaya kematian yang merajalela dewasa ini dengan semangat Paska marilah kita bangun budaya kehidupan (culture of life) dengan kasih dan pengampunan.
Semoga kebangkitan Kristus menjadi daya kekuatan bagi kita semua untuk membangun masa depan yang lebih baik. Halleluya! Selamat Paska!
Salam, doa ‘n Berkah Dalem,
Semarang, 7 April 2012
+ Johannes Pujasumarta,
Uskup Keuskupan Agung Semarang
Pada zaman kita dewasa ini berbagai peristiwa kematian yang tidak wajar mewarnai kehidupan kita. Kekerasan telah merasuk dalam kehidupan keluarga kita (KDRT): aborsi, pembunuhan, bunuh diri. Bahkan dengan rekayasa terencana terjadi terorisme yang melenyapkan kehidupan orang lain atau diri sendiri. Kita hidup dalam budaya kematian (culture of death). Kematian Yesus pun merupakan kematian tidak wajar, karena rekayasa Imam Agung dan sekutunya yang iri hati dan benci pada Yesus, karena Yesus unggul dalam kasih dan keutamaan.
Dari kisah sengsara Tuhan, kita dapat belajar bagaimana caranya menghadapi masalah kehidupan, tergantung pada siapa kita belajar. Pada pembunuh Yesus kita belajar cara kekerasan, sedangkan pada Yesus kita belajar cara kelembutan. Sayang sekali, bahwa cara kekerasan ini menginspirasi begitu banyak orang pada zaman sekarang dalam menghadapi masalah kehidupan. Jangan-jangan cara kekerasan itu menginspirasi kita untuk melakukan kekerasan juga.
Kalau kita murid-murid Kristus tentu kita memilih cara kelembutan penuh kasih. Itulah yang diamanatkan oleh Yesus, Tuhan kita. Dalam kematian Yesus Allah yang adalah kasih tetap tampil sebagai kasih yang penuh pengampunan kepada manusia, meskipun manusia membinasakan kehidupan. Karena itu, Allah membangkitkan Yesus dari antara orang mati. Meskipun dibunuh, namun Yesus tetap hidup.
Pada peristiwa Yesus dalam bacaan Injil (Markus 16:1-8) dikisahkan ada perempuan-perempuan yang dekat dengan Tuhan: Maria Magdalena dan Maria ibu Yakobus, serta Salome. Hati perempuan-perempuan itu penuh kasih. Bila ada hati penuh kasih, tentu juga ada kehendak untuk selalu kreatif berbuat yang terbaik untuk Yang dikasihi, meskipun perbuatan itu sederhana: bangun pagi-pagi benar, membawa rempah-rempah untuk meminyaki Yesus.
Allah berbuat lebih hebat daripada yang direncanakan oleh manusia. Ketika sampai di makam, perempuan-perempuan itu mendapati batu penutup makam sudah terguling. Dan Yesus memang tidak ada di makam, bukan karena jenazahnya dicuri orang; tetapi karena Ia hidup. Paska kebangkitan Tuhan Yesus Kristus merupakan peristiwa pembenaran oleh Allah, bahwa kehidupan ilahi tidak bisa dimusnahkan oleh kematian. Karena itu, kepercayaan kepada Kristus mengamanatkan, agar manusia menerima kehidupan, memelihara serta melestarikan kehidupan yang adalah anugerah dari Allah. Kalau ada kepedulian dan kesediaan berbagi sesuai dengan yang ada pada kita, mukjizat menjadi sungguh terjadi. Itulah yang kita upayakan dengan menjadi Katolik sejati: peduli dan berbagi.
Di dalam budaya kematian yang merajalela dewasa ini dengan semangat Paska marilah kita bangun budaya kehidupan (culture of life) dengan kasih dan pengampunan.
Semoga kebangkitan Kristus menjadi daya kekuatan bagi kita semua untuk membangun masa depan yang lebih baik. Halleluya! Selamat Paska!
Salam, doa ‘n Berkah Dalem,
Semarang, 7 April 2012
+ Johannes Pujasumarta,
Uskup Keuskupan Agung Semarang