HOMILI: Hari Rabu Abu (Yl 2:12-18; Mzm 51:3-6a.12-14.17; 2Kor 5:20-6:2; Mat 6:1-6.16-18)

“Apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi”

Setiap agama atau keyakinan iman hemat saya senantiasa mengajarkan pentingnya berpuasa atau bermatiraga. Orang-orang yang dikenal sakti dan bijak pada umumnya telah menjalani matiraga atau puasa yang cukup lama, dimana mereka harus menyepi atau menyendiri, misalnya di gua-gua, di hutan belantara, di gunung-gunung, di pantai yang sepi, di padang pasir dst.. Di dalam kesepian dan kesendirian tersebut mereka berdoa, merenung dan berrefleksi dalam rangka menemukan kehendak Ilahi, yang kemudian dijadikan pedoman atau pegangan dalam hidup sehari-hari. Sayang dan sungguh memprihatinkan matiraga pada masa kini jika dicermati sungguh mengalami erosi atau kurang memperoleh perhatian di tengah-tengah sikap mental kebanyakan orang yang materialistis, konsumptif dan hedonis. Mulai hari ini kita umat Katolik diajak untuk memasuki masa Puasa, masa bertobat atau masa berahmat selama kurang lebih empat puluh hari, dalam rangka mempersiapkan diri untuk mengenangkan puncak iman Kristiani, yaitu wafat dan kebangkitan Tuhan Yesus. Maka marilah kita masuki dan jalani masa Puasa ini dengan tekun dan rendah hati, antara lain kita perdalam dan tingkatkan hidup doa, matiraga, sosial dan persaudaraan sejati.

"Dan apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu." (Mat 6: 16-18).

Tujuan puasa, matiraga atau lakutapa lahir, sebagaimana diajarkan oleh St.Ignatius Loyola ‘mempunyai tiga maksud utama: 1. Menyilih dosa-dosa lampau, 2. Mengalahkan diri dan 3. Untuk mencari dan mendapatkan suatu rahmat atau anugerah’ (lih LR St.Ignatius Loyola no 87):

1. Agar dapat menyilih dosa-dosa kiranya perlu mengenal atau mengetahui dosa-dosanya dengan benar dan tepat. Kita tak mungkin mengenal dan mengetahui dosa-dosa kita dengan tepat dan benar di dalam keramaian atau kebisingan, melainkan di dalam keheningan dan kesepian kita akan lebih mudah mengenal dan mengetahuinya. Untuk itu kita perlu menyendiri atau tinggal di tempat yang tersembunyi, sehingga kita dapat mawas diri dengan baik, awas terhadap diri sendiri, kenal dengan baik akan diri sendiri, sebagai orang berdosa yang dipanggil Tuhan.

2. Ketika kita kenal diri sendiri, maka kita juga akan mampu mengalahkan diri sendiri, maksudnya mengarahkan diri kepada kehendak Tuhan. Dengan kata lain yang dimaksudkan mengalahkan diri sendiri adalah ‘nafsu taat kepada budi, dan semua kemampuan-kemampuan yang lebih rendah makin tunduk kepada yang lebih luhur’ (ibid.). Kita diharapkan mampu mengendalikan atau mengarahkan derap langkah atau gerak raga atau anggota tubuh kita sesuai dengan kehendak Tuhan dan tidak lagi mengikuti keinginan, kehendak atau nafsu sendiri.

3.Rahmat yang kita dambakan antara lain adalah tobat, semangat atau sikap mental untuk memperbaharui diri terus-menerus, sehingga kita dapat menjadi orang Katolik atau orang beriman yang peduli dan berbagi, antara lain senantiasa melakukan pekerjaan baik meski kecil dan sesederhana sekalipun, sebagai menjadi tema APP tahun ini. Dengan kata lain kita diharapkan berubah menjadi atau memperdalam diri sebagai orang baik dan peduli terhadap kebutuhan orang lain, terutama mereka yang miskin dan berkekurangan. Perbuatan baik atau kepedulian kita tidak perlu digembar-gemborkan atau diumumkan dimana-mana, melainkan lakukanlah saja dengan diam-diam. Meskipun tidak akan diketahui atau dipuji orang lain hendaknya tetap berbuat baik dan peduli kepada orang lain.

Jadi kami ini adalah utusan-utusan Kristus, seakan-akan Allah menasihati kamu dengan perantaraan kami; dalam nama Kristus kami meminta kepadamu: berilah dirimu didamaikan dengan Allah. Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah.” (2Kor 5:20-21)

Berilah dirimya didamaikan dengan Allah”, inilah yang hendaknya kita refleksikan atau renungkan dan kemudian kita hayati atau laksanakan. Apakah kita tidak berdamai dengan Allah? Jika kita jujur dan benar mawas diri kiranya kita akan mengakui dan menghayati bahwa kita tidak senantiasa hidup dalam perdamaian dengan Allah, karena dosa-dosa kita, entah besar atau kecil. Semakin tambah usia dan pengalaman pada umumnya juga semakin bertambah dosa-dosanya, itulah yang pada umumnya terjadi. Hidup berdamai dengan Allah berarti hidup baik, bermoral dan berbudi pekerti luhur dan dengan demikian senantiasa hidup saling mengasihi tanpa batas dan dengan bebas.

Kita semua diciptakan, dikandung, dilahirkan dan dibesarkan di dalam dan oleh kasih, namun demikian sering kita tidak tahu dan tidak mau berterima kasih, padahal kita semua telah menerima kasih secara melimpah ruah dari Allah melalui orang-orang yang telah mengasihi, memperhatikan dan mendampingi hidup dan perjalanan panggilan kita. Tanpa kasih kita tak mungkin dapat ada, tumbuh dan berkembang sebagaimana adanya pada saat ini. Aneka macam bentuk penyelewengan, ketidak-setiaan atau perselingkuhan hemat saya merupakan bentuk pelanggaran kasih dari mereka yang tak tahu dan tahu mau berterima kasih. Bukankah kita sering menyeleweng, tidak setia dan hanya hidup mengikuti selera atau keinginan pribadi alias sering berdosa? Marilah dengan rendah hati kita berusaha untuk berdamai dengan Allah alias bertobat.

"Tetapi sekarang juga," demikianlah firman TUHAN, "berbaliklah kepada-Ku dengan segenap hatimu, dengan berpuasa, dengan menangis dan dengan mengaduh." Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu, berbaliklah kepada TUHAN, Allahmu, sebab Ia pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia, dan Ia menyesal karena hukuman-Nya. Siapa tahu, mungkin Ia mau berbalik dan menyesal, dan ditinggalkan-Nya berkat, menjadi korban sajian dan korban curahan bagi TUHAN, Allahmu” (Yl 2:12-14). Marilah kita dengan rendah hati mengakui dosa-dosa kita serta mohon kasih pengampunan Tuhan, “sebab Ia pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia”. Hendaknya kita juga tidak takut dan malu untuk saling mengakui dosa dan minta maaf atau kasih pengampunan, dan marilah kita tunjukkan diri kita sebagai orang yang sungguh mengasihi dan menyayangi, panjang sabar dan berlimpah kasih setia.

Sabar adalah sikap dan perilaku yang menunjukkan kemampuan dalam mengendalikan gejolak diri dan tetap bertahan seperti keadaan semula dalam menghadapi berbagai rangsangan atau masalah” (Prof Dr Edi Sedyawati/edit: Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka – Jakarta 1997, hal 24). Berbagai rangsangan dan masalah ada di sekitar hidup dan kerja kita dimanapun dan kapanpun, yang merayu kita untuk tidak sabar serta berselingkuh alias tidak setia pada panggilan dan tugas pengutusan kita. Tuhan telah begitu sabar terhadap kita, yang lemah, rapuh dan berdosa ini, maka marilah kita salurkan kesabaran tersebut kepada saudara-saudari kita.

Kasihanilah aku, ya Allah, menurut kasih setia-Mu, hapuskanlah pelanggaranku menurut rahmat-Mu yang besar! Bersihkanlah aku seluruhnya dari kesalahanku, dan tahirkanlah aku dari dosaku! Sebab aku sendiri sadar akan pelanggaranku, aku senantiasa bergumul dengan dosaku. Terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa dan melakukan apa yang Kauanggap jahat” (Mzm 51:3-6a)


Rabu, 22 Februari 2012

Romo Ignatius Sumarya, SJ