"Tetapi apakah pendapatmu tentang ini: Seorang mempunyai dua anak laki-laki. Ia pergi kepada anak yang sulung dan berkata: Anakku, pergi dan bekerjalah hari ini dalam kebun anggur. Jawab anak itu: Baik, bapa. Tetapi ia tidak pergi. Lalu orang itu pergi kepada anak yang kedua dan berkata demikian juga. Dan anak itu menjawab: Aku tidak mau. Tetapi kemudian ia menyesal lalu pergi juga. Siapakah di antara kedua orang itu yang melakukan kehendak ayahnya?" Jawab mereka: "Yang terakhir." Kata Yesus kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal akan mendahului kamu masuk ke dalam Kerajaan Allah. Sebab Yohanes datang untuk menunjukkan jalan kebenaran kepadamu, dan kamu tidak percaya kepadanya. Tetapi pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal percaya kepadanya. Dan meskipun kamu melihatnya, tetapi kemudian kamu tidak menyesal dan kamu tidak juga percaya kepadanya." (Mat 21:28-32), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.
Berrefleksi atas bacaan-bacaan serta mengenangkan pesta St. Lusia, perawan dan martir, hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:
· Yang dimaksudkan dengan anak pertama di sini tidak lain adalah para tokoh bangsa Yahudi seperti para ahli Taurat, orang-orang Farisi, imam-imam kepala serta tua-tua Yahudi, sedangkan anak kedua adalah rakyat jelata atau orang-orang yang menyadari dan menghayati diri sebagai yang berdosa, lemah dan rapuh serta mendambakan penyelamatan Allah. Yang kemudian ini diumpamakan seperti para pemungut cukai dan perempuan sundal alias pelacur. Menyadari dan menghayati diri sebagai yang beriman hemat saya identik dengan menyadari dan menghayati diri sebagai pendosa. St. Lusia yang kita kenangkan hari ini sungguh beriman dan mempersembahkan diri seutuhnya kepada Allah, maka ketika gadis cantik ini dilamar oleh seorang pemuda ia menolaknya dan kemudian dituduh Kristen dan dibunuh dengan ditusuk lehernya. Leher adalah bagian tubuh dari anggota tubuh kita yang kelihatan yang tak pernah menyakiti anggota tubuh lainnya, yang rendah hati melaksanakan fungsinya, maka leher kiranya juga dapat menjadi symbol orang yang sungguh beriman, yang senantiasa siap sedia diperlakukan apa saja tanpa mengeluh, menggerutu dan marah. Kita semua dipanggil untuk menghayati rahmat kemartiran kita dengan menjadi pelaksana-pelaksana perintah Allah sebagaimana digambarkan bagaikan anak kedua yang pergi dan melaksanakan perintah ayahnya. Maka marilah bersama-sama berusaha dengan rendah hati untuk menjadi pelaksana-pelaksana perintah dan kehendak Allah dalam cara hidup dan cara bertindak kita dimana pun dan kapan pun. Semoga St Lusia, perawan dan martir, menjadi teladan kita dan senantiasa mendoakan kita agar setia menjadi pelaksana-pelaksana kehendak dan perintah Allah.
· “Celakalah si pemberontak dan si cemar, hai kota yang penuh penindasan! Ia tidak mau mendengarkan teguran siapa pun dan tidak mempedulikan kecaman; kepada TUHAN ia tidak percaya dan kepada Allahnya ia tidak menghadap.” (Zef 3:1-2), demikian peringatan nabi Zefanya kepada bangsanya, kepada kita semua umat beriman. Kita diingatkan agar jangan menjadi pemberontak-pemberontak, entah dalam hidup bersama di dalam keluarga, tempat kerja/tugas maupun di masyarakat, apalagi memberontak kepada Tuhan alias tidak percaya kepada-Nya. Ada kemungkinan dan kiranya sangat mungkin bahwa kita sering memberontak atau melawan kehendak dan perintah Tuhan atau aneka perintah dan kehendak serta nasihat orang yang berkehendak baik, entah sengaja atau tidak sengaja. Baiklah ketika kita diingatkan atas pemberontakan atau perlawanan kita hendaknya dengan rendah hati segera bertobat alias memperbaharui diri tanpa menunda-nunda, jika kita mendambakan hidup damai, selamat dan sejahtera, baik lahir maupun batin, jasmani maupun rohani, phisik maupun spiritual. Keutamaan ketaatan itulah yang hendaknya kita usahakan, perdalam dan teguhkan dalam kehidupan beriman di mana pun dan kapan pun. Untuk itu memang kita diharapkan dengan rendah hati mendengarkan aneka kecaman, peringatan, nasihat, tegoran atau kritikan yang mendatangi kita; sikapi dan terimalah semuanya itu sebagai perwujudan kasih dan perhatian mereka terhadap kita, orang yang lemah, rapuh dan berdosa, yang mendambakan keselamatan atau kebahagiaan sejati. Ingatlah dan hayati bahwa orang tak akan mengritik, mengecam, menegor atau menasihati kita jika mereka tidak mengasihi kita; hanya karena dan dalam kasih lah mereka berani mengritik, mengecam dan menegor kita. Hayati dan sikapi aneka kritik, kecaman, tegoran dan nasihat sebagai wahana untuk membimbing dan mendorong kita agar semakin beriman, semakin membaktikan diri sepenuhnya kepada Tuhan melalui pembaktian diri terhadap saudara-saudari kita.
“Wajah TUHAN menentang orang-orang yang berbuat jahat untuk melenyapkan ingatan kepada mereka dari muka bumi. Apabila orang-orang benar itu berseru-seru, maka TUHAN mendengar, dan melepaskan mereka dari segala kesesakannya. TUHAN itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya.” (Mzm 34:17-19)
Selasa, 13 Desember 2011
Romo Ignatius Sumarya, SJ
Berrefleksi atas bacaan-bacaan serta mengenangkan pesta St. Lusia, perawan dan martir, hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:
· Yang dimaksudkan dengan anak pertama di sini tidak lain adalah para tokoh bangsa Yahudi seperti para ahli Taurat, orang-orang Farisi, imam-imam kepala serta tua-tua Yahudi, sedangkan anak kedua adalah rakyat jelata atau orang-orang yang menyadari dan menghayati diri sebagai yang berdosa, lemah dan rapuh serta mendambakan penyelamatan Allah. Yang kemudian ini diumpamakan seperti para pemungut cukai dan perempuan sundal alias pelacur. Menyadari dan menghayati diri sebagai yang beriman hemat saya identik dengan menyadari dan menghayati diri sebagai pendosa. St. Lusia yang kita kenangkan hari ini sungguh beriman dan mempersembahkan diri seutuhnya kepada Allah, maka ketika gadis cantik ini dilamar oleh seorang pemuda ia menolaknya dan kemudian dituduh Kristen dan dibunuh dengan ditusuk lehernya. Leher adalah bagian tubuh dari anggota tubuh kita yang kelihatan yang tak pernah menyakiti anggota tubuh lainnya, yang rendah hati melaksanakan fungsinya, maka leher kiranya juga dapat menjadi symbol orang yang sungguh beriman, yang senantiasa siap sedia diperlakukan apa saja tanpa mengeluh, menggerutu dan marah. Kita semua dipanggil untuk menghayati rahmat kemartiran kita dengan menjadi pelaksana-pelaksana perintah Allah sebagaimana digambarkan bagaikan anak kedua yang pergi dan melaksanakan perintah ayahnya. Maka marilah bersama-sama berusaha dengan rendah hati untuk menjadi pelaksana-pelaksana perintah dan kehendak Allah dalam cara hidup dan cara bertindak kita dimana pun dan kapan pun. Semoga St Lusia, perawan dan martir, menjadi teladan kita dan senantiasa mendoakan kita agar setia menjadi pelaksana-pelaksana kehendak dan perintah Allah.
· “Celakalah si pemberontak dan si cemar, hai kota yang penuh penindasan! Ia tidak mau mendengarkan teguran siapa pun dan tidak mempedulikan kecaman; kepada TUHAN ia tidak percaya dan kepada Allahnya ia tidak menghadap.” (Zef 3:1-2), demikian peringatan nabi Zefanya kepada bangsanya, kepada kita semua umat beriman. Kita diingatkan agar jangan menjadi pemberontak-pemberontak, entah dalam hidup bersama di dalam keluarga, tempat kerja/tugas maupun di masyarakat, apalagi memberontak kepada Tuhan alias tidak percaya kepada-Nya. Ada kemungkinan dan kiranya sangat mungkin bahwa kita sering memberontak atau melawan kehendak dan perintah Tuhan atau aneka perintah dan kehendak serta nasihat orang yang berkehendak baik, entah sengaja atau tidak sengaja. Baiklah ketika kita diingatkan atas pemberontakan atau perlawanan kita hendaknya dengan rendah hati segera bertobat alias memperbaharui diri tanpa menunda-nunda, jika kita mendambakan hidup damai, selamat dan sejahtera, baik lahir maupun batin, jasmani maupun rohani, phisik maupun spiritual. Keutamaan ketaatan itulah yang hendaknya kita usahakan, perdalam dan teguhkan dalam kehidupan beriman di mana pun dan kapan pun. Untuk itu memang kita diharapkan dengan rendah hati mendengarkan aneka kecaman, peringatan, nasihat, tegoran atau kritikan yang mendatangi kita; sikapi dan terimalah semuanya itu sebagai perwujudan kasih dan perhatian mereka terhadap kita, orang yang lemah, rapuh dan berdosa, yang mendambakan keselamatan atau kebahagiaan sejati. Ingatlah dan hayati bahwa orang tak akan mengritik, mengecam, menegor atau menasihati kita jika mereka tidak mengasihi kita; hanya karena dan dalam kasih lah mereka berani mengritik, mengecam dan menegor kita. Hayati dan sikapi aneka kritik, kecaman, tegoran dan nasihat sebagai wahana untuk membimbing dan mendorong kita agar semakin beriman, semakin membaktikan diri sepenuhnya kepada Tuhan melalui pembaktian diri terhadap saudara-saudari kita.
“Wajah TUHAN menentang orang-orang yang berbuat jahat untuk melenyapkan ingatan kepada mereka dari muka bumi. Apabila orang-orang benar itu berseru-seru, maka TUHAN mendengar, dan melepaskan mereka dari segala kesesakannya. TUHAN itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya.” (Mzm 34:17-19)
Selasa, 13 Desember 2011
Romo Ignatius Sumarya, SJ