Pada zaman Chrisostomus penduduk kota Antiokhia agaknya mendekati jumlah 200.000 orang, yang setengahnya adalah orang-orang Kristiani. Penduduk terdiri dari berbagai ras dan bangsa. Orang Siria, Punitia, Yunani, Romawi, Yahudi, dan lain-lain. Kota yang amat kosmopolitan dan maju. Dari keuangan, kota itu amat berkecukupan, hampir kaya. Kira-kira 90% penduduknya terdiri dari kelas menengah yang cukup makmur, baik bagian menengah atas maupun bagian bawah klas menengah bawah. 10% dari seluruh penduduk terdiri dari dua kelompok ekstrem: kelompok teramat sangat kaya raya dan kelompok teramat sangat miskin. Kelompok kecil itulah yang terutama menarik minat Chrisostomus.
Antiokhia dikenal sebagai kota yang mudah sekali dihasut dan agak tidak stabil; loyalitasnya terhadap otoritas kaisar diragukan. Tetapi pada umumnya bersahabat dan jenaka, amat menyukai kesenangan. Namun jika dihasut kota itu dapat menjadi liar. Di kota itu yang dihadapi Chrisostomus adalah cara berpikir dangkal, hidup moralis meragukan, tahyul, sifat bruuk dan kerakusan.
Sesudah tinggal sebentar di padang gurun, di mana ia hidup sendirian di sebuah gua, Chrisostomus kembali ke Antiokhia yang "beradab" dan duniawi. Sesudah tahbisan namanya mulai muncul karena bahasanya yang indah dan penggambarannya yang hidup. Khotbahnya yang mempunyai ciri membumi yang sulit dirumuskan membuat Chrisostomus amat popular dan menarik. Memiliki daya pembayangan yang kaya dan seni metafora yang tepat Chrisostomus berkhotbah dengan bahasa umat: ia tidak pernah terbang melayang di langit; ia selalu menjaga kakinya tetap berpijak di atas bumi. Kedalaman Agustinus yang mengagumkan kadang-kadang menerpa budi umat, tetapi hal semacam itu tidak terjadi dengan Khotbah Chrisostomus. Umat kadang-kadang merasa sakit hati dan tidak menyukai kritik yang terus terang terhadap moralitas mereka yang lembek yang dilontarkan oleh Chrisostomus. Tetapi di dalam hati mereka mencintai Chrisostomus karena keterusterangan injili, sikap tidak mementingkan diri sendiri, dan minatnya yang bersemangat pada kesejahteraan spiritual mereka. Tetapi sekarang tiba saat untuk mendengarkannya.
Ketajaman lidah Yohanes yang tidak mengenal kompromi mendatangkan kritikan dari orang kaya, dan ia mengetahuinya. Tetapi jauh daripada tunduk ia terus melanjutkan serangannya tanpa gentar. "Saya kerap ditegur karena selalu menyerang kaum kaya. Memang saya menyerang mereka, karena mereka selalu menyerang kaum miskin dan bagaimanapun juga saya tidak pernah menyerang kaum kaya sebagai kaum kaya, tetapi hanya mereka yang menyalahgunakan kekayaan mereka. Saya terus-menerus menunjukkan bahwa saya tidak menuduh kaum kaya tetapi kerakusan kekayaan adalah satu hal, kerakusan adalah hal lain. Belajarlah membeda-bedakan perkara.
Uskup agung yang berkhotbah di Konstantinopel tidak berbeda dari imam yang dulu khotbahnya membuat umat terpesonoa dan terpikat di Antiokhia. Ternyata lidah Chrisostomus semakin tajam, dan hal yang membuat keadaan lebih buruk adalah perilaku dan kebijaksanaannya yang pasti tidak sejalan dengan semangat kerasulannya. Di mimbar ia tidak takut sama sekali: "Chrisostomus kadang-kadang hampir berteriak pada kaisar putri yang jahat," kata seorang pengarang sezamannya. Yohanes mempunyai sedikit apa yang ada pada Hironimus, tanpa menyamai orang Dalmatia yang berapi-api itu. Bahasanya selalu penuh warna, kadang-kadang dapat kejam. Ia berteriak melawan kejahatan gelojoh: Ia menyebut orang gelojoh bagai telah dimakan lemak dan "harus ditarik keluar seperti anjing laut", yang pada pagi-agi buta "pergi keluar seperti babi ke tempat untuk mengisi penuh-penuh perutnya."
Tetapi pada waktu mengecam orang kaya yang kurang ajar, mewah dan berfoya-foyalah Yohanes menjadi fasih. Tentu saja lapisan atas masyarakat yang tidak biasa dengan serangan keras dari mimbar, menjadi semakin memusuhinya. Dan pada waktu kemarahan orang kaya terhadap Uskup Agung bertambah, ketika itu juga kasih dan penghargaan yang tulus orang miskin juga bertambah. Singkatnya: ia segera menjadi sasaran orang kaya dan pujaan orang miskin.
Ketika menegur kejahatan, Chrisostomus tidak mempunyai keragu-raguan apapun atas kesucian gereja. Dalam teguran itu kita hampir merasakan kemarahan Uskup. Dari mimbar ia pernah menguraikan dengan rinci kehinaan pelacur yang secara intim mengelus-elus seorang laki-laki dalam usaha merangsangnya. Tidak ada mibar di Konstantinopel pernah mendengar bahasa yang sedemikian jelas menyebut hal yang tidak pantas itu. Dan Yohanes amat fasih untuk menggambarkan dengan hidup dan uraian yang realistis. Setelah penyebutan yang memalukan terhadap pelacur, ia memotong dengan cepat: "Apa kalian tidak merasa apa-apa sama sekali apa yang saya katakan? Tidak usah tersipu dan malu - itu sesuai kodrat. Tetapi jika kalian tidak mampu mengendalikan diri sepenuhnya pada waktu seorang imam berbicara dengan kalian di sini, di gereja, bagaimana kalian dapat menghadapinya di teater. Akankah kalian sekali lagi berani menyatakan kepada saya bahwa kalian hadir di teater tak tergerak seperti batu?"
Hujan telah turun tanpa henti, merusak sawah dan hasil panen. Uskup agung menyelenggarakan prosesi untuk memohon dari surga agar sekurang-kurangnya untuk waktu sebentar hujan yang terus-menerus itu berhenti. Doanya berhasil dan hujan berhenti. Orang banyak pada akhirnya melihat matahari-dan langsung lari menuju tempat perlombaan. Hari itu hari Jumat Suci dan Sabtu Sepi.
Ini terlalu banyak bagi Yohanes. Ia naik mimbar dengan kemarahan besar dan merasa berhak untuk marah: "Apa hal-hal seperti ini dapat diterima? Apakah dapat dibiarkan?... Bagi kalian matahari terbit, bulan bersinar, kumpulan bintang-bintang berkelip-kelip di angkasa ... dan kalian mengejar kesenangan-kesenangan setan!" Kali ini ia tidak berhenti pada memberi peringatan dan dorongan-dorongan. Ia mengancam: "Saya menyatakan bahwa jika peringatan ini ada orang yang tidak menghadiri pertemuan jemaat untuk pergi mengunjungi kejahatan teater yang berbisa, saya tidak membiarkannya ikut bergabung dalam antrean Komuni. Saya akan menolak memberikan Misteri Suci (Ekaristi) kepadanya. Bicaranya memang terus-terang, tetapi diragu-ragukan bahwa Uskup yang berapi-api itu berhasil mengendalikan umatnya.
Sebagian besar klerus mengomel dan rahib-rahib juga tidak bahagia. Beberapa tokoh awam mengeluh. Mereka bersekutu. Dengan dipimpin oleh wanita-wanita yang berpengaruh, mereka berusaha agar Uskup Agung yang terlalu bersemangat didiskreditkan di pengadilan. Badai akan mengamuk di atas kepalanya.
Pada saat itulah Uskup Agung Chrisostomus menyampaikan salah satu khotbahnya yang paling baik di Katedral. Sasaran kecamannya lagi-lagi kaum kaya, dan topiknya tentang penyalahgunaan kekayaan. Khotbah itu menunjukkan Sang Mulut Emas di puncak kehebatannya. Ketika serdadu-serdadu menyerang, kota terbakar... ketika amuk pasukan menimpa kita, di mana kaum kaya waktu itu? Di mana budak-budak? Mereka semua lari.... dan semua rumah-rumah besar? Semua dipasang palang dan digembok. Apakah saya masih menjadi pengganggu yang tak dapat ditanggung karena saya terus-menerus berkata bahwa kekayaan mengkhianati mereka yang menyalahgunakannya? ... Saya tidak melarang kalian menjadi kaya; tetapi bila kalian mengambil apa yang menjadi milik orang lain, saya tidak dapat menahan lidah saya. Apakah kalian hendak melempari batu kepada saya? Saya bersedia untuk mencurahkan darah jika saya dapat menjadi penghalang untuk dosa. Saya tidak takut terhadap kemarahan atau kebencian. Kaum kaya dan kaum miskin sama-sama anak-anak saya, dan jika kalian menyerang orang miskin, maka saya menyerang kalian.
Antiokhia dikenal sebagai kota yang mudah sekali dihasut dan agak tidak stabil; loyalitasnya terhadap otoritas kaisar diragukan. Tetapi pada umumnya bersahabat dan jenaka, amat menyukai kesenangan. Namun jika dihasut kota itu dapat menjadi liar. Di kota itu yang dihadapi Chrisostomus adalah cara berpikir dangkal, hidup moralis meragukan, tahyul, sifat bruuk dan kerakusan.
Sesudah tinggal sebentar di padang gurun, di mana ia hidup sendirian di sebuah gua, Chrisostomus kembali ke Antiokhia yang "beradab" dan duniawi. Sesudah tahbisan namanya mulai muncul karena bahasanya yang indah dan penggambarannya yang hidup. Khotbahnya yang mempunyai ciri membumi yang sulit dirumuskan membuat Chrisostomus amat popular dan menarik. Memiliki daya pembayangan yang kaya dan seni metafora yang tepat Chrisostomus berkhotbah dengan bahasa umat: ia tidak pernah terbang melayang di langit; ia selalu menjaga kakinya tetap berpijak di atas bumi. Kedalaman Agustinus yang mengagumkan kadang-kadang menerpa budi umat, tetapi hal semacam itu tidak terjadi dengan Khotbah Chrisostomus. Umat kadang-kadang merasa sakit hati dan tidak menyukai kritik yang terus terang terhadap moralitas mereka yang lembek yang dilontarkan oleh Chrisostomus. Tetapi di dalam hati mereka mencintai Chrisostomus karena keterusterangan injili, sikap tidak mementingkan diri sendiri, dan minatnya yang bersemangat pada kesejahteraan spiritual mereka. Tetapi sekarang tiba saat untuk mendengarkannya.
Ketajaman lidah Yohanes yang tidak mengenal kompromi mendatangkan kritikan dari orang kaya, dan ia mengetahuinya. Tetapi jauh daripada tunduk ia terus melanjutkan serangannya tanpa gentar. "Saya kerap ditegur karena selalu menyerang kaum kaya. Memang saya menyerang mereka, karena mereka selalu menyerang kaum miskin dan bagaimanapun juga saya tidak pernah menyerang kaum kaya sebagai kaum kaya, tetapi hanya mereka yang menyalahgunakan kekayaan mereka. Saya terus-menerus menunjukkan bahwa saya tidak menuduh kaum kaya tetapi kerakusan kekayaan adalah satu hal, kerakusan adalah hal lain. Belajarlah membeda-bedakan perkara.
Uskup agung yang berkhotbah di Konstantinopel tidak berbeda dari imam yang dulu khotbahnya membuat umat terpesonoa dan terpikat di Antiokhia. Ternyata lidah Chrisostomus semakin tajam, dan hal yang membuat keadaan lebih buruk adalah perilaku dan kebijaksanaannya yang pasti tidak sejalan dengan semangat kerasulannya. Di mimbar ia tidak takut sama sekali: "Chrisostomus kadang-kadang hampir berteriak pada kaisar putri yang jahat," kata seorang pengarang sezamannya. Yohanes mempunyai sedikit apa yang ada pada Hironimus, tanpa menyamai orang Dalmatia yang berapi-api itu. Bahasanya selalu penuh warna, kadang-kadang dapat kejam. Ia berteriak melawan kejahatan gelojoh: Ia menyebut orang gelojoh bagai telah dimakan lemak dan "harus ditarik keluar seperti anjing laut", yang pada pagi-agi buta "pergi keluar seperti babi ke tempat untuk mengisi penuh-penuh perutnya."
Tetapi pada waktu mengecam orang kaya yang kurang ajar, mewah dan berfoya-foyalah Yohanes menjadi fasih. Tentu saja lapisan atas masyarakat yang tidak biasa dengan serangan keras dari mimbar, menjadi semakin memusuhinya. Dan pada waktu kemarahan orang kaya terhadap Uskup Agung bertambah, ketika itu juga kasih dan penghargaan yang tulus orang miskin juga bertambah. Singkatnya: ia segera menjadi sasaran orang kaya dan pujaan orang miskin.
Ketika menegur kejahatan, Chrisostomus tidak mempunyai keragu-raguan apapun atas kesucian gereja. Dalam teguran itu kita hampir merasakan kemarahan Uskup. Dari mimbar ia pernah menguraikan dengan rinci kehinaan pelacur yang secara intim mengelus-elus seorang laki-laki dalam usaha merangsangnya. Tidak ada mibar di Konstantinopel pernah mendengar bahasa yang sedemikian jelas menyebut hal yang tidak pantas itu. Dan Yohanes amat fasih untuk menggambarkan dengan hidup dan uraian yang realistis. Setelah penyebutan yang memalukan terhadap pelacur, ia memotong dengan cepat: "Apa kalian tidak merasa apa-apa sama sekali apa yang saya katakan? Tidak usah tersipu dan malu - itu sesuai kodrat. Tetapi jika kalian tidak mampu mengendalikan diri sepenuhnya pada waktu seorang imam berbicara dengan kalian di sini, di gereja, bagaimana kalian dapat menghadapinya di teater. Akankah kalian sekali lagi berani menyatakan kepada saya bahwa kalian hadir di teater tak tergerak seperti batu?"
Hujan telah turun tanpa henti, merusak sawah dan hasil panen. Uskup agung menyelenggarakan prosesi untuk memohon dari surga agar sekurang-kurangnya untuk waktu sebentar hujan yang terus-menerus itu berhenti. Doanya berhasil dan hujan berhenti. Orang banyak pada akhirnya melihat matahari-dan langsung lari menuju tempat perlombaan. Hari itu hari Jumat Suci dan Sabtu Sepi.
Ini terlalu banyak bagi Yohanes. Ia naik mimbar dengan kemarahan besar dan merasa berhak untuk marah: "Apa hal-hal seperti ini dapat diterima? Apakah dapat dibiarkan?... Bagi kalian matahari terbit, bulan bersinar, kumpulan bintang-bintang berkelip-kelip di angkasa ... dan kalian mengejar kesenangan-kesenangan setan!" Kali ini ia tidak berhenti pada memberi peringatan dan dorongan-dorongan. Ia mengancam: "Saya menyatakan bahwa jika peringatan ini ada orang yang tidak menghadiri pertemuan jemaat untuk pergi mengunjungi kejahatan teater yang berbisa, saya tidak membiarkannya ikut bergabung dalam antrean Komuni. Saya akan menolak memberikan Misteri Suci (Ekaristi) kepadanya. Bicaranya memang terus-terang, tetapi diragu-ragukan bahwa Uskup yang berapi-api itu berhasil mengendalikan umatnya.
Sebagian besar klerus mengomel dan rahib-rahib juga tidak bahagia. Beberapa tokoh awam mengeluh. Mereka bersekutu. Dengan dipimpin oleh wanita-wanita yang berpengaruh, mereka berusaha agar Uskup Agung yang terlalu bersemangat didiskreditkan di pengadilan. Badai akan mengamuk di atas kepalanya.
Pada saat itulah Uskup Agung Chrisostomus menyampaikan salah satu khotbahnya yang paling baik di Katedral. Sasaran kecamannya lagi-lagi kaum kaya, dan topiknya tentang penyalahgunaan kekayaan. Khotbah itu menunjukkan Sang Mulut Emas di puncak kehebatannya. Ketika serdadu-serdadu menyerang, kota terbakar... ketika amuk pasukan menimpa kita, di mana kaum kaya waktu itu? Di mana budak-budak? Mereka semua lari.... dan semua rumah-rumah besar? Semua dipasang palang dan digembok. Apakah saya masih menjadi pengganggu yang tak dapat ditanggung karena saya terus-menerus berkata bahwa kekayaan mengkhianati mereka yang menyalahgunakannya? ... Saya tidak melarang kalian menjadi kaya; tetapi bila kalian mengambil apa yang menjadi milik orang lain, saya tidak dapat menahan lidah saya. Apakah kalian hendak melempari batu kepada saya? Saya bersedia untuk mencurahkan darah jika saya dapat menjadi penghalang untuk dosa. Saya tidak takut terhadap kemarahan atau kebencian. Kaum kaya dan kaum miskin sama-sama anak-anak saya, dan jika kalian menyerang orang miskin, maka saya menyerang kalian.