"Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku."
Pada hari Jumat Agung ini kita diajak untuk merenungkan kisah sengsara Yesus, menelusuri `jalan salib' sampai wafat-Nya di kayu salib. Hari ini juga hari berpuasa dan berpantang alias hari untuk mawas diri perihal keutamaan matiraga, yang juga menjadi salah satu cirikhas hidup beriman atau beragama. Setiap kali akan berdoa kita senantiasa membuat tanda salib, maka baiklah di hari Jumat Agung ini saya mengajak anda sekalian untuk merenungkan sabda-sabda terakhir Yesus selama tergantung di kayu salib di bawah ini:
"Kira-kira jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: "Eli, Eli, lama sabakhtani?" Artinya: Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?" (Mat: 27:46)
Tergantung di kayu salib, kaki dan tangan dipaku serta kepala bermahkota duri, sebagai manusia kiranya Yesus sungguh sangat menderita atau berada dalam puncak penderitaan. Penderitaan lebih terasa lebih berat lagi karena Ia sendirian, ditinggalkan oleh sahabat-sahabat-Nya. Namun demikian Allah yang mengutus-Nya tak pernah meninggalkan-Nya, maka Ia berseru dan mengeluh kepada Yang mengutus: "Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?". Baiklah saya mengajak anda sekalian yang beriman kepada Yesus untuk menyatukan diri dengan penderitaan-Nya.
Ada kemungkinan kita juga sedang merasa kesepian atau ditinggalkan atau kurang diperhatikan orang lain atau saudara-saudari kita, tentu saja bukan karena kita jahat atau tak bermoral, melainkan karena kita setia pada panggilan dan tugas pengutusan kita, sedangkan saudara-saudari kita hidup seenaknya, sibuk sendiri sesuai dengan hobby atau nafsu pribadinya. Ingatlah dan hayati meskipun saudara-sauadari kita tidak memperhatikan kita atau meninggalkan kita, tetapi Allah tak pernah meninggalkan kita. Maka baiklah jika anda dalam keadaan atau kondisi demikian itu, hendaknya dihayati sebagai `kesempatan emas' untuk berdoa secara pribadi, mempersembahkan atau menghaturkan apa yang kita rasakan dan alami kepada Allah, yang telah menciptakan dan mengutus kita.
"Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat." (Luk 23:34)
"Tibo kebrukan ondho" (= Jatuh tertimpa tangga), demikian kata pepatah Jawa, yang hemat saya kena pada apa yang sedang dialami Yesus. Di dalam puncak penderitaan Ia diejek dan dihina oleh musuh-musuh-Nya, yang menyalibkan Dia atau membuat Dia menderita. Jika kita mengalami yang demikian itu pada umumnya kita akan marah besar, namun tidaklah demikian yang terjadi dalam diri Yesus. Yesus berdoa mohon kasih pengampunan bagi mereka yang mengejek dan melecehkan-Nya. Hati yang sungguh mulia dan doa sejati yang tidak ada bandingnya, doa `pahlawan keselamatan'. Yesus tahu bahwa mereka tidak bersalah, melainkan mereka tidak tahu atas apa yang mereka perbuat.
Dalam hidup sehari-hari ada kemungkinan kita mengalami sebagaimana dialami Yesus, `jatuh tertimpa tangga', atau mudah marah terhadap mereka yang mengganggu diri kita atau harta kekayaan kita. Sebagai contoh konkret: anak kecil yang lincah berlari-lari kesana-kemari pada suatu saat menabrak meja dan gelas-gelas yang berada di atas meja jatuh, pecah, berantakan. Pada umumnya para ibu segera memarahi anak-anak tersebut, yang berarti yang jatuh tertimpa tangga adalah anak-anak. Tentu saja anak-anak dimarahi ibunya tak akan membalas kemarahannya. Baiklah kami mengingatkan para ibu jika menghadapi kasus macam itu hendaknya bersikap seperti Yesus dan berdoa "Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat". Kami juga mengajak dan mengingatkan kita semua yang beriman kepada Yesus juga meneladan sikap-Nya.
"Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya: "Ibu, inilah, anakmu!" Kemudian kata-Nya kepada murid-murid-Nya: "Inilah ibumu!" Dan sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam rumahnya" (Yoh 19:26-27)
Ternyata masih ada dua pribadi yang menemani Yesus dalam perjalanan penderitaan dan yang tergantung di kayu salib, yaitu murid yang terkasih, Yohanes, dan Bunda Maria, ibu-Nya. Mereka menemani Yesus dalam menit-menit atau detik-detik terakhir hidup-Nya. Menemani mereka yang akan dipanggil Tuhan itulah yang terjadi, dan pada umumnya mereka yang menemani adalah yang sungguh ada ikatan kasih sejati. Di puncak kayu salib menjelang wafat-Nya Yesus menyerahkan murid terkasih kepada ibu-Nya dan sebaliknya. Sebagai murid-murid, orang yang beriman kepada Yesus, kita semua juga menerima penyerahan yang sama, yaitu menjadi Bunda Maria, teladan umat beriman, Bunda kita.
Sebagai putra-putri Bunda Maria kita semua dipanggil untuk meneladannya, antara lain menemani mereka yang berada di puncak penderitaan atau saat-saat terakhir, menjelang dipanggil Tuhan. Ada kemungkinan jarang terjadi mereka yang sungguh menderita seperti Yesus atau yang segera dipanggil Tuhan, maka baiklah saya mengajak anda semua untuk menemani mereka yang berada dalam ketakutan atau kecemasan, misalnya dalam menghadapi operasi, ujian, mau bepergian sendirian, berangkat kerja atau ke sekolah dst.. Hendaknya berani mengorbankan waktu dan tenaga sejenak untuk menemani mereka pada saat-saat `menjelang' tersebut: menjelang pergi disalami, menjelang ujian didukung dan dimotivasi, dst..
"Aku haus!"(Yoh 19:28)
Sepanjang hari sejak pagi sampai sore bekerja keras, tanpa makan dan minum, tentu akhirnya akan merasa kelaparan atau kehausan. Begitulah yang dialami Yesus secara manusia Ia merasa haus dan butuh minuman. Baiklah sabda Yesus ini kita fahami dan hayati tidak hanya sampai secara manusia belaka, tetapi lebih-lebih dan terutama secara spiritual atau rohani. Maka marilah kita tanggapi sabda Yesus dengan `memberi minum' atau `memberi kelegaan' kepada saudara-saudari kita, entah yang harus secara phisik, social maupun spiritual. Marilah kita hayati keutamaan `murah hati'. Kepada mereka yang haus secara phisik kita beri minuman sesuai dengan kebutuhannya, sedangkan mereka yang haus secara social atau spiritual kita persembahkan waktu dan tenaga kita untuk melegakan atau menghiburnya, alias memberi perhatian sedemikian rupa sehingga mereka sungguh merasa diperhatikan atau dikasihi.
"Sudah selesai." (Yoh 19:29)
Yesus merasa sudah paripurna melaksanakan tugas pengutusan-Nya. Dia yang datang atau lahir di dunia ini dalam kegelapan atau penderitaan dan akhirnya akan mengakhiri perjalanan pelaksanaan pengutusan-Nya dalam penderitaan juga. Kita semua dipanggil untuk meneladanNya. Maka baiklah kita dalam menghayati panggilan atau tugas pengutusan hendaknya dengan penuh kesetiaan dan penyerahan diri seutuhnya sampai selesai, sampai mati, sampai lulus dengan baik dan memuaskan. Hari-hari ini kiranya para mahasiswa, pelajar atau murid tingkat atau klas terahhir sedang dan akan menempuh ujian akhir, maka kami berharap kepada mereka: semoga sukses dalam menghadapi ujian. Untuk itu kami berharap ketika akan menghadapi ujian atau tugas berat hendaknya tetap dalam keceriaan dan kerja keras, dalam keceriaan dan kerja kerasa anda pasti akan sukses dalam ujian atau tugas berat.
"Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku" (Luk 23:46)
Menjelang wafat-Nya Yesus menyerahkan nyawa-Nya kepada Bapa yang mengutus-Nya. Nyawa adalah yang memberi hidup, yang menggairahkan. Bagi kita semua yang menggairahkan antara lain adalah cita-cita, harapan atau dambaan. Maka marilah kita persembahkan cita-cita, dambaan atau harapan kita kepada Tuhan, sehingga mengusahakan tercapainya cita-cita, dambaan dan harapan dalam dan bersama dengan Tuhan alias melaksanakan aneka tatanan atau tata tertib yang terkait dengan hidup, panggilan dan tugas pengutusan kita masing-masing.
"Karena kita sekarang mempunyai Imam Besar Agung, yang telah melintasi semua langit, yaitu Yesus, Anak Allah, baiklah kita teguh berpegang pada pengakuan iman kita. Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa" (Ibr. 4:14-15).
Imam adalah orang yang mempersembahkan diri seutuhnya kepada Tuhan dan sesamanya; ia adalah penyalur doa dan berkat, bagaikan `leher' dalam tubuh kita: siap menderita bagi sesama, tidak pernah menyakiti yang lain, tidak pernah mengeluh atau menggerutu. Kita semua dipanggil untuk menghayati imamat umum kaum beriman, maka semoga melalui penghayatan panggilan atau pelaksanaan tugas pengutusan kita masing-masing, kita juga dapat menjadi penyalur doa dan berkat.
"Di hadapan semua lawanku aku tercela, menakutkan bagi tetangga-tetanggaku, dan menjadi kekejutan bagi kenalan-kenalanku; mereka yang melihat aku di jalan lari dari padaku. Aku telah hilang dari ingatan seperti orang mati, telah menjadi seperti barang yang pecah. Tetapi aku, kepada-Mu aku percaya, ya TUHAN, aku berkata: "Engkaulah Allahku!" Masa hidupku ada dalam tangan-Mu, lepaskanlah aku dari tangan musuh-musuhku dan orang-orang yang mengejar aku! Buatlah wajah-Mu bercahaya atas hamba-Mu, selamatkanlah aku oleh kasih setia-Mu " (Mzm 31;12-13.15-17)
Jakarta, 22 April 2011
Romo Ignatius Sumarya, SJ