“Kalau Aku bersaksi tentang diri-Ku sendiri, maka kesaksian-Ku itu tidak benar; ada yang lain yang bersaksi tentang Aku dan Aku tahu, bahwa kesaksian yang diberikan-Nya tentang Aku adalah benar. Kamu telah mengirim utusan kepada Yohanes dan ia telah bersaksi tentang kebenaran; tetapi Aku tidak memerlukan kesaksian dari manusia, namun Aku mengatakan hal ini, supaya kamu diselamatkan. Ia adalah pelita yang menyala dan yang bercahaya dan kamu hanya mau menikmati seketika saja cahayanya itu. Tetapi Aku mempunyai suatu kesaksian yang lebih penting dari pada kesaksian Yohanes, yaitu segala pekerjaan yang diserahkan Bapa kepada-Ku, supaya Aku melaksanakannya. Pekerjaan itu juga yang Kukerjakan sekarang, dan itulah yang memberi kesaksian tentang Aku, bahwa Bapa yang mengutus Aku. Bapa yang mengutus Aku, Dialah yang bersaksi tentang Aku. Kamu tidak pernah mendengar suara-Nya, rupa-Nya pun tidak pernah kamu lihat, dan firman-Nya tidak menetap di dalam dirimu, sebab kamu tidak percaya kepada Dia yang diutus-Nya.”(Yoh 5:31-38), demikian kutipan Warta Gembira hari ini
Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:
· Seorang saksi yang baik senantiasa mengatakan atau mengungkapkan kebenaran-kebenaran; ia mengatakan apa yang dilihat atau dialaminya sendiri apa adanya tanpa ditambahi atau dikurangi. Apa yang diungkapkan atau dikatakan oleh seorang saksi bertujuan untuk menyingkapkan kebenaran yang diselubungi oleh kebohongan-kebohongan. Yesus berbicara perihal kesaksian, tetapi bukan kesaksian manusia, melainkan perbuatan-perbuatan sebagai pelaksanaan kehendak Allah Bapa yang mengutusNya. Sebagai orang beriman, terutama yang beriman kepada Yesus Kristus, kita semua dipanggil untuk menjadi saksi, lebih-lebih melalui perbuatan atau perilaku bukan perkataan atau omongan. Kesaksian merupakan cara utama dan pertama dalam melaksanakan tugas pengutusan, yang tak tergantikan dengan atau oleh cara lain apapun. Sebagai suami-isteri menjadi saksi iman berarti dalam keadaan dan situasi apapun senantiasa saling mengasihi tanpa syarat; sebagai anggota lembaga hidup bakti, biarawan atau biarawati berarti tetap dan setia berbakti kepada Tuhan dalam situasi dan kondisi apapun, dan sebagai yang telah dibaptis berarti setia mengabdi Tuhan dan menolak semua godaan setan kapanpun dan dimanapun,dst… Maka baiklah kita tidak hidup dan bertindak hanya mengikuti selera atau keinginan pribadi, tetapi lebih-lebih dan terutama hidup dan bertindak sesuai dengan janji yang pernah kita ikrarkan.
· "Pergilah, turunlah, sebab bangsamu yang kaupimpin keluar dari tanah Mesir telah rusak lakunya” (Kel 32:7), demikian perintah atau sabda Tuhan kepada Musa, yang diutus untuk menuntun atau mendampingi bangsanya menuju tanah terjanji. Kutipan ini kiranya baik menjadi permenungan atau refleksi bagi siapapun yang menjadi pemimpin atau atasan dalam hidup dan kerja atau perjalanan bersama.
Hidup dan pelaksanaan aneka tugas dan kewajiban bagaikan perjalanan, yaitu perjalanan menuju hidup mulia selamanya di sorga setelah dipanggil Tuhan atau meninggal dunia nanti. Di dalam perjalanan dapat terjadi aneka macam godaan atau gangguan yang menggeroti jati diri kita masing-masing, sehingga kita tidak setia pada panggilan dan tugas pengutusan, karena ‘telah rusak laku kita’. Pemimpin atau atasan perjalanan hendaknya tidak segan untuk ‘turun’, mendatangi yang dipimpin atau anggotanya guna memberi perhatian kepada mereka atau dimana perlu menegor dan memperbaiki mereka yang ‘telah rusak lakunya’, demikian pula orangtua terhadap anak-anaknya. Sebagai pemimpin atau atasan kiranya dapat menghayati motto Ki Hajar Dewantoro “ing arso asung tulodho, ing madyo ambangun karso, tut wuri handayani” (keteladanan, pemberdayaan dan motivasi). Sabda hari ini lebih-lebih mengajak kita untuk ‘ing madyo ambangun karso’ atau hadir di tengah-tengah mereka yang kita pimpin untuk memberdayakan mereka. Dengan kata lain kehadiran dan sepak terjang seorang pemimpin dimanapun dan kapanpun hendaknya memberdayakan mereka yang dipimpin, artinya yang dipimpin menjadi semakin bergairah, bersemangat dan dinamis dalam melaksanakan tugas pengutusan atau kewajibannya. Mereka yang telah rusak perilakunya hendaknya dengan rendah hati diajak untuk memperbaiki atau bertobat, dan jangan dibiarkan saja. Membiarkan atau terlambat memperbaiki mereka yang telah rusak perilakunya dapat menjadi racun dalam perjalanan bersama, artinya merusak perjalanan bersama.
Jakarta, 7 April 2011
Romo Ign Sumarya, SJ
Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:
· Seorang saksi yang baik senantiasa mengatakan atau mengungkapkan kebenaran-kebenaran; ia mengatakan apa yang dilihat atau dialaminya sendiri apa adanya tanpa ditambahi atau dikurangi. Apa yang diungkapkan atau dikatakan oleh seorang saksi bertujuan untuk menyingkapkan kebenaran yang diselubungi oleh kebohongan-kebohongan. Yesus berbicara perihal kesaksian, tetapi bukan kesaksian manusia, melainkan perbuatan-perbuatan sebagai pelaksanaan kehendak Allah Bapa yang mengutusNya. Sebagai orang beriman, terutama yang beriman kepada Yesus Kristus, kita semua dipanggil untuk menjadi saksi, lebih-lebih melalui perbuatan atau perilaku bukan perkataan atau omongan. Kesaksian merupakan cara utama dan pertama dalam melaksanakan tugas pengutusan, yang tak tergantikan dengan atau oleh cara lain apapun. Sebagai suami-isteri menjadi saksi iman berarti dalam keadaan dan situasi apapun senantiasa saling mengasihi tanpa syarat; sebagai anggota lembaga hidup bakti, biarawan atau biarawati berarti tetap dan setia berbakti kepada Tuhan dalam situasi dan kondisi apapun, dan sebagai yang telah dibaptis berarti setia mengabdi Tuhan dan menolak semua godaan setan kapanpun dan dimanapun,dst… Maka baiklah kita tidak hidup dan bertindak hanya mengikuti selera atau keinginan pribadi, tetapi lebih-lebih dan terutama hidup dan bertindak sesuai dengan janji yang pernah kita ikrarkan.
· "Pergilah, turunlah, sebab bangsamu yang kaupimpin keluar dari tanah Mesir telah rusak lakunya” (Kel 32:7), demikian perintah atau sabda Tuhan kepada Musa, yang diutus untuk menuntun atau mendampingi bangsanya menuju tanah terjanji. Kutipan ini kiranya baik menjadi permenungan atau refleksi bagi siapapun yang menjadi pemimpin atau atasan dalam hidup dan kerja atau perjalanan bersama.
Hidup dan pelaksanaan aneka tugas dan kewajiban bagaikan perjalanan, yaitu perjalanan menuju hidup mulia selamanya di sorga setelah dipanggil Tuhan atau meninggal dunia nanti. Di dalam perjalanan dapat terjadi aneka macam godaan atau gangguan yang menggeroti jati diri kita masing-masing, sehingga kita tidak setia pada panggilan dan tugas pengutusan, karena ‘telah rusak laku kita’. Pemimpin atau atasan perjalanan hendaknya tidak segan untuk ‘turun’, mendatangi yang dipimpin atau anggotanya guna memberi perhatian kepada mereka atau dimana perlu menegor dan memperbaiki mereka yang ‘telah rusak lakunya’, demikian pula orangtua terhadap anak-anaknya. Sebagai pemimpin atau atasan kiranya dapat menghayati motto Ki Hajar Dewantoro “ing arso asung tulodho, ing madyo ambangun karso, tut wuri handayani” (keteladanan, pemberdayaan dan motivasi). Sabda hari ini lebih-lebih mengajak kita untuk ‘ing madyo ambangun karso’ atau hadir di tengah-tengah mereka yang kita pimpin untuk memberdayakan mereka. Dengan kata lain kehadiran dan sepak terjang seorang pemimpin dimanapun dan kapanpun hendaknya memberdayakan mereka yang dipimpin, artinya yang dipimpin menjadi semakin bergairah, bersemangat dan dinamis dalam melaksanakan tugas pengutusan atau kewajibannya. Mereka yang telah rusak perilakunya hendaknya dengan rendah hati diajak untuk memperbaiki atau bertobat, dan jangan dibiarkan saja. Membiarkan atau terlambat memperbaiki mereka yang telah rusak perilakunya dapat menjadi racun dalam perjalanan bersama, artinya merusak perjalanan bersama.
“Mereka membuat anak lembu di Horeb, dan sujud menyembah kepada patung tuangan; mereka menukar Kemuliaan mereka dengan bangunan sapi jantan yang makan rumput. Mereka melupakan Allah yang telah menyelamatkan mereka, yang telah melakukan hal-hal yang besar di Mesir: perbuatan-perbuatan ajaib di tanah Ham, perbuatan-perbuatan dahsyat di tepi Laut Teberau. Maka Ia mengatakan hendak memusnahkan mereka, kalau Musa, orang pilihan-Nya, tidak mengetengahi di hadapan-Nya, untuk menyurutkan amarah-Nya, sehingga Ia tidak memusnahkan mereka” (Mzm 106:19-23)
Jakarta, 7 April 2011
Romo Ign Sumarya, SJ