"Sekarang kita pergi ke Yerusalem” (Sir 36:1.4-5a.10-17; Mzm 79:8-9.11.13; Mrk 10:32-45)

“Yesus dan murid-murid-Nya sedang dalam perjalanan ke Yerusalem dan Yesus berjalan di depan. Murid-murid merasa cemas dan juga orang-orang yang mengikuti Dia dari belakang merasa takut. Sekali lagi Yesus memanggil kedua belas murid-Nya dan Ia mulai mengatakan kepada mereka apa yang akan terjadi atas diri-Nya, kata-Nya: "Sekarang kita pergi ke Yerusalem dan Anak Manusia akan diserahkan kepada imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, dan mereka akan menjatuhi Dia hukuman mati. Dan mereka akan menyerahkan Dia kepada bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah, dan Ia akan diolok-olokkan, diludahi, disesah dan dibunuh, dan sesudah tiga hari Ia akan bangkit." Lalu Yakobus dan Yohanes, anak-anak Zebedeus, mendekati Yesus dan berkata kepada-Nya: "Guru, kami harap supaya Engkau kiranya mengabulkan suatu permintaan kami!" Jawab-Nya kepada mereka: "Apa yang kamu kehendaki Aku perbuat bagimu?" Lalu kata mereka: "Perkenankanlah kami duduk dalam kemuliaan-Mu kelak, yang seorang lagi di sebelah kanan-Mu dan yang seorang di sebelah kiri-Mu." Tetapi kata Yesus kepada mereka: "Kamu tidak tahu apa yang kamu minta. Dapatkah kamu meminum cawan yang harus Kuminum dan dibaptis dengan baptisan yang harus Kuterima?" Jawab mereka: "Kami dapat." Yesus berkata kepada mereka: "Memang, kamu akan meminum cawan yang harus Kuminum dan akan dibaptis dengan baptisan yang harus Kuterima. Tetapi hal duduk di sebelah kanan-Ku atau di sebelah kiri-Ku, Aku tidak berhak memberikannya. Itu akan diberikan kepada orang-orang bagi siapa itu telah disediakan." (Mrk 10:32-40), demikian kutipan Warta Gembira hari ini

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

· Yerusalem adalah kota suci bagi bangsa Yahudi, umat Kristen maupun umat Islam. Yesus mengajak para murid pergi ke Yerusalem berarti mengajak mereka untuk menyucikan diri atau mempersembahkan diri seutuhnya kepada Tuhan. Bagi Yesus hal itu berarti “akan diserahkan kepada imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat; dan mereka akan menjatuhi Dia hukuman mati, Dan mereka akan menyerahkan Dia kepada bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah, dan Ia akan diolok-olokkan, diludahi, disesah dan dibunuh dan sesudah tiga hari Ia bangkit’. Peristiwa persembahkan diri atau wafat Yesus di kayu salib dan kebangkitanNya dari mati terjadi di Yerusalem. Peristiwa sering kita kenangkan ketika kita berpartisipasi di dalam Perayaan Ekaristi, karena perayaan Ekaristi adalah kenangan akan wafat dan kebangkitan Yesus. Maka setiap kali kita berpartisipasi dalam Perayaan Ekaristi berarti kita juga dipanggil untuk mempersembahkan diri kepada Tuhan melalui pelayanan bagi sesama atau saudara-saudari kita. Melayani berarti senantiasa berusaha membahagiakan atau menyelamatkan dengan rendah hati. Baiklah sebagai umat yang beriman kepadaNya serta sering berpartisipasi di dalam Perayaan Ekaristi kita hidup dan bertindak saling melayani dan membahagiakan, dan memang untuk itu harus siap sedia untuk berkorban dan berjuang.

· “Berikanlah ganjaran kepada mereka yang menantikan Dikau, dan buktikanlah kebenaran segala nabi-Mu. Ya Tuhan, dengarkanlah doa hamba-hamba-Mu ini sesuai dengan berkat Harun atas umat-Mu. Semoga semua penghuni bumi ini mengakui, bahwa Engkaulah Tuhan, Allah kekal”(Sir 36:15-17) Sebagai manusia yang diciptakan Tuhan kita semua dipanggil untuk senantiasa menantikan Tuhan dan mengakui Tuhan sebagai Allah kekal. Dengan kata lain kita diharapkan memiliki ‘dambaan suci’, yaitu kerinduan dan harapan untuk senantiasa melakukan apa-apa saja yang dapat membantu kita semakin suci atau semakin beriman, semakin mempersembahkan diri seutuhnya kepada Tuhan. Dengan kata lain kita diharapkan tidak materialistis alias gila akan harta benda/uang, pangkat/kedudukan dan kehormatan duniawi. Kita diharapkan ‘gila akan Tuhan’alias dengan bergairah dan gembira melaksanakan kehendak Tuhan atau melaksanakan segala perintahNya. Orang yang gila akan Tuhan berarti senantiasa menarik, memikat dan mempesona, sehingga siapapun tergerak untuk mengenal, mendekat dan bersahabat. Maka jika kita semua gila akan Tuhan berarti kita saling bersahabat, hidup saling melayani dan membahagiakan dengan rendah hati, tanpa kekerasan. Kami berharap ‘dambaan suci’ atau ‘gila akan Tuhan’ ini dididikkan pada anak-anak di dalam keluarga dengan teladan konkret dari para orangtua. Jika semua keluarga melakukan hal itu kiranya hidup bersama dimanapun, kapanpun dan dengan siapapun senantiasa dalam persahabatan atau persaudaraan sejati, sehingga kita bersama-sama melangkah menuju ke kesucian, kota sorgawi yang abadi.

“Janganlah perhitungkan kepada kami kesalahan nenek moyang kami; kiranya rahmat-Mu segera menyongsong kami, sebab sudah sangat lemah kami. Tolonglah kami, ya Allah penyelamat kami, demi kemuliaan nama-Mu! Lepaskanlah kami dan ampunilah dosa kami oleh karena nama-Mu! Biarlah sampai ke hadapan-Mu keluhan orang tahanan; sesuai dengan kebesaran lengan-Mu, biarkanlah hidup orang-orang yang ditentukan untuk mati dibunuh!” (Mzm 79:8-9.11)


Jakarta, 2 Maret 2011

Romo Ignatius Sumarya, SJ