"Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (Kej 3:9-15.20; Mzm 98:1-4; Ef 1:3-6.11-12; Luk 1:26-38.)

Kej 3:9-15.20; Mzm 98:1-4; Ef 1:3-6.11-12; Luk 1:26-38.


"Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.”

“Sehubungan dengan penjelmaab Sabda ilahi Santa Perawan sejak kekal telah ditetapkan untuk menjadi Bunda Allah. Berdasarkan rencana Penyelenggaraan Ilahi ia di dunia ini menjadi Bunda Penebus ilahi yang mulia, secara sangat istimewa mendampingi-Nya dengan murah hati dan menjadi hamba Tuhan yang rendah hati. Dengan mengandung Kristus, melahirkanNya, membesarkan-Nya, menghadapkanNya kepada Bapa di kenisah, serta dengan ikut menderita dengan Puteranya yang wafat di kayu salib, ia secara istimwa bekerja sama dengan karya Juru Selamat, dengan ketaatannya, iman, pengharapan serta cinta kasihnya yang berkobar, untuk membaharui hidup adikodrati jiwa-jiwa. Oleh karena itu dalam tata rahmat ia menjadi Bunda kita” ( Vatikan II: LG no 61).
Jika dicermati kiranya dapat kita lihat bahwa banyak orang bertobat karena devosi kepada Bunda Maria, antara lain dengan berdoa rosario serta berziarah. Dan memang tempat-tempat peziarahan Bunda Maria telah membahagiakan dan mensejahterakan banyak orang, tidak hanya orang-orang katolik yang berziarah tetapi juga masyarakat pada umumnya. Yang termasuk dalam jajaran ‘masyarakat’ini antara lain pengusaha angkutan umum dengan pegawaianya, para penjaja/penjual makanan atau kenangan/ souvenir, para tukang parkir, pengusaha tempat penginapan/losmen/hotel dst.. Bunda Maria adalah Bunda Penyelamat Dunia, maka kehadiran tempat peziarahan di manapun hendaknya berarti dan berfungsi bagi keselamatan dan kesejahteraan dunia, masyarakat sekitar dimana tempat peziarahan berada. Maka baiklah pada ‘Hari Raya SP Maria Dikandung tanpa dosa’ hari ini saya mengajak kita semua untuk mawas diri perihal kebaktian atau devosi kita kepada Bunda Maria, teladan umat beriman.

"Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (Luk 1:38)

Suci atau tanpa dosa antara lain berarti dipersembahkan seutuhnya kepada Tuhan, sehingga dalam hidup sehari-hari senantiasa melaksanakan atau menghayati kehendak Tuhan, hidup saling mengasihi dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi dan segenap kekuatan atau tenaga. Kita masing-masing dikandung, dilahirkan dalam dan oleh kasih alias dalam keadaan suci, tanpa dosa, namun kiranya seiring dengan perjalanan waktu, baik dalam hidup sehari-hari, tugas pekerjaan maupun aneka kesibukan, rasanya kesucian tersebut semakin tercemar karena dosa-dosa kita; tambah usia dan pengalaman berarti tambah dosanya. “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu." Lalu Ia membungkuk pula dan menulis di tanah.Tetapi setelah mereka mendengar perkataan itu, pergilah mereka seorang demi seorang, mulai dari yang tertua.” (Yoh 8:7-9) Dengan demikian mereka yang lebih muda daripada kita berarti lebih suci, maka baiklah kita lebih menghormati mereka yang lebih muda (anak-anak/murid?) karena dalam hidup beriman yang terhormat adalah yang suci/lebih suci. Menghormati anak-anak berarti memberi kemungkinan dan kesempatan sebaik mungkin bagi mereka untuk tumbuh berkembang sebagai pribadi yang cerdas beriman. Untuk itu perlu dukungan dana dan tenaga, maka kami menghimbau dan mengajak kita semua agar dalam perencanaan kerja, anggaran belanja dst.. senantiasa mengutamakan pendidikan anak-anak. Tidak memperhatikan pendidikan anak-anak secara baik dan memadai berarti menghacurkan masa depan diri sendiri dan anak-anak pelan-pelan dan pada waktunya akan hancur berantakan.

“Aku katakan "di dalam Kristus", karena di dalam Dialah kami mendapat bagian yang dijanjikan -- kami yang dari semula ditentukan untuk menerima bagian itu sesuai dengan maksud Allah, yang di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendak-Nya -- supaya kami, yang sebelumnya telah menaruh harapan pada Kristus, boleh menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya” (Ef 1:11-12)


Suci atau tanpa dosa juga berarti hidup “di dalam Kristus dan di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendak-Nya”, dengan kata lain menjadi ‘alter Christi’, dimana setiap orang melihat orang suci berarti melihat. Ibu Teresa dari Calcuta, yang pernah dikatakan sebagai santa atau orang suci yang masih hidup di dunia, pernah berkata bahwa orang suci itu bagaikan ‘lobang kecil dimana orang dapat mengintip siapa Tuhan, siapa manusia dan apa harta benda’: Tuhan adalah Pencipta dan Penyelamat, manusia adalah gambar atau citra Allah dan harta benda adalah sarana untuk semakin memuji, mengabdi dan menghormati Tuhan. Maka marilah masing-masing dari kita, yang bagaikan sebutir pasir di padang pasir ini, alias sangat kecil dan kurang terlihat, berusaha dengan rendah hati dan bantuan rahmat Tuhan untuk menjadi ‘lobang kecil’ dimana melalui diri kita orang dapat mengintip siapa Tuhan, siapa manusia dan apa harta benda.

Dalam keadaan suci orang telanjang pun tidak akan memotivasi atau mendorong orang untuk berbuat dosa, melainkan semakin memuji dan memuliakan Tuhan ketika melihat orang telanjang, karena begitu indah dan menarik manusia ciptaan Tuhan itu. Orang ‘saling telanjang’ baik secara phisik maupun spiritual tidak akan malu dan terdorong untuk berdosa melainkan terdorong untuk semakin mengasihi sebagaimana terjadi dalam relasi suami-isteri. Telanjang secara phisik kiranya cukup jelas, sedangkan telanjang secara spiritual berarti kita saling membuka isi hati, jiwa dan akal budi atau pikiran kita masing-masing-masing, sehingga terjadilah kesatuan hati dan budi dalam kehidupan bersama. Sebaliknya orang telanjang dan berdosa kiranya akan merasa malu serta ‘menutup diri’ terhadap Yang Ilahi, sebagaimana dikisahkan dalam kitab Kejadian, manusia pertama yang melanggar perintah Tuhan.

"Siapakah yang memberitahukan kepadamu, bahwa engkau telanjang? Apakah engkau makan dari buah pohon, yang Kularang engkau makan itu?" Manusia itu menjawab: "Perempuan yang Kautempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan." Kemudian berfirmanlah TUHAN Allah kepada perempuan itu: "Apakah yang telah kauperbuat ini?" Jawab perempuan itu: "Ular itu yang memperdayakan aku, maka kumakan.” (Kej 3:11-13)


Orang berdosa memang tidak atau kurang bertanggungjawab dan dengan mudah atau seenaknya melempar tanggungjawab kepada orang lain. Adam melempar tanggungjawab kepada Hawa, isterinya, dan karena Hawa juga tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya maka ia melempar tanggungjawab kepada ular, binatang yang tidak dapat menjawab. Begitulah yang sering terjadi di dalam kehidupan sehari-hari: binatang, tumbuhan/tanaman atau barang/harta benda menjadi korban kekesalan dan kemarahan alias tempat sampah untuk melempar tanggungjawab. Orang marah pada suami/isteri, teman atau saudaranya dapat ‘membanting pintu/menutup pintu keras-keras’, menendang anjing, menendang pot tanaman, menggebrak meja dst.. Maka baiklah pada pesta SP Maria dikandung tanpa dosa hari ini kita juga mawas diri: sejauh mana kita sering dengan mudah dan seenaknya melempar tanggungjawab.

Orang yang berbiasa melempar tanggungjawab berarti orang tidak bermutu alias murahan, tidak dewasa. Masing-masing dari kita memiliki tanggungjawab khusus sesuai dengan kedudukan, tugas perutusan atau jabatan dan pekerjaan kita. Sekecil apapun tanggungjawab kita marilah kita hayati sebaik mungkin, sebaliknya mereka yang memiliki tanggungjawab besar baiklah jika dari diri sendiri merasa terbatas hendaknya berani membuka diri atau bantuan dan pertolongan sesamanya atau siapapun juga. Para petinggi, pejabat atau pemimpin memang memiliki tanggungjawab besar, maka hendaknya menghayati kepeimimpinan partisipatif dalam melaksanakan tugas pekerjaan atau memfungsikan jabatan dan kedudukannnya, artinya melibatkan partisipasi semua anggota atau bawahan dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya. Menghayati tanggungjawab dalam Tuhan berarti senantiasa berusaha untuk menemukan dan mengakui kehadiran dan karya Tuhan dalam diri sesama manusia maupun ciptaan lainnya, dengan demikian orang hidup dalam pelayanan atau saling melayani.

Marilah kita perhatikan bahwa seorang pelayan yang baik adalah pelayan yang tidak pernah melempar tanggungjawab kepada orang lain, tetapi senantiasa melaksanakan tanggungjawabnya dengan baik dan dalam tugas pekerjaan tidak pernah menyalahkan yang lain, mengeluh atau menggerutu. Mengeluh atau menggerutu hemat saya secara diam-diam atau halus menyalahkan yang lain atau tidak bertanggung-jawab. Kami berharap pada kita semua: hendaknya kita tidak mudah atau seenaknya mengeluh atau menggerutu ketika menghadapi hal-hal yang tidak enak atau kurang sesuai dengan selera kita. Apa yang sehat dan baik tidak otomatis enak dirasakan atau sesuai dengan selera kita masing-masing, atau bahkan banyak hal yang tidak sesuai dengan selera kita tetapi sehat dan baik serta menyelamatkan. Ingatlah dan hayatilah bahwa sebagai orang yang beriman pada Yesus Kristus kita harus meneladan Dia yang menelusuri ‘jalan salib’ serta wafat di kayu salib, menyerahkan Diri seutuhnnya kepada Bapa dan dunia. Dalam ‘keadaan telanjang dan tergantung di kayu salib’ Ia menjadi sembahan dan pujian bagi siapapun yang percaya kepadaNya. Penderitaan, tantangan dan hambatan yang lahir dari kesetiaan hidup beriman dan panggilan adalah jalan keselamatan atau kebahagiaan, jalan kesucian.

“Nyanyikanlah nyanyian baru bagi TUHAN, sebab Ia telah melakukan perbuatan-perbuatan yang ajaib; keselamatan telah dikerjakan kepada-Nya oleh tangan kanan-Nya, oleh lengan-Nya yang kudus. TUHAN telah memperkenalkan keselamatan yang dari pada-Nya, telah menyatakan keadilan-Nya di depan mata bangsa-bangsa. Ia mengingat kasih setia dan kesetiaan-Nya terhadap kaum Israel, segala ujung bumi telah melihat keselamatan yang dari pada Allah kita. Bersorak-soraklah bagi TUHAN, hai seluruh bumi, bergembiralah, bersorak-sorailah dan bermazmurlah!” (Mzm 98:1-4)


Jakarta, 8 Desember 2010


Romo. Ign. Sumarya, SJ