Sapaan Allah di Kesunyian Waghete

Ceritaku di Papua

Saat ini saya mempunyai nama panggilan baru, yaitu Bludel. Itulah nama yang diteriakkan anak-anak kecil ketika mereka bertemu dengan saya. Tanpa mempedulikan ingus mereka yang mengalir seperti angka sebelas, berulang-ulang mereka memanggil dengan meneriakkan bludel daa… Mereka juga tidak begitu peduli dengan lumpur yang berlepotan di kaki, bahkan tanpa mengenakan celana, hanya koteka.

Entah mengapa, ketika mengalami suasana itu, hati saya diliputi kegembiraan, senyum pun menghias di bibir. Saya merasakan penghiburan atas kepolosan, keceriaan dan keadaan apa adanya anak-anak itu. Saya juga merasa bahagia ketika mereka menyerukan ‘bludel’ dengan lidah mereka yang masih cedal. Seharusnya mereka memanggil saya ‘bruder’! Tak apalah.

Ketika saya mengamati lebih dekat, wajah-wajah mereka tidaklah asing. Mereka adalah anak-anak TK Komugai di mana saat ini saya sebagai kepala sekolahnya. Mengurus anak-anak kecil ini bukanlah hal yang mudah. Mereka seperti lembaran-lembaran kertas putih yang siap untuk digoresi tinta masa depan. Melalui TK Komugai, anak-anak kecil itu telah mengambil langkah dini untuk maju dalam bidang pendidikan. Semoga, mereka nantinya menjadi generasi baru yang terdidik dan berpikiran maju.

Papuaisme

Saat ini, saya bersama dengan seorang teman Jesuit berkarya di sebuah paroki terpencil di pedalaman Papua. Tepatnya, kami berkarya di Paroki St. Yohanes Pemandi, Waghete. Paroki ini berada di wilayah Dekenat Paniai. Dekenat Paniai sendiri berada di bawah naungan keuskupan Timika. Paroki Waghete terletak 255 km dari kota Nabire. Kota Nabire ini terletak di Teluk Cendrawasih.

Seperti apakah Papua itu? Anda tidak akan pernah tahu persis yang sebenarnya hingga Anda berada di sana. Apalagi, ketika kita berbicara tentang Papua di daerah pedalaman. Rasanya, ada banyak hal jika dibicarakan tidak akan pernah selesai.

Sebagian orang menyebut bahwa karya di Papua itu adalah karya frontier. Kenyataannya memang demikian. Salah satu tanda ke-frontier-an itu bisa ditandai dengan adanya aneka tantangan dan keterbatasan yang ada, entah itu dari medan perutusan yang sulit, fasilitas kehidupan yang terbatas, komunikasi dengan dunia luar yang hampir tidak ada dan berhadapan dengan umat yang memiliki budaya yang sungguh berbeda.

Hanya sebagai gambaran kecil; mungkin, ini hanya terjadi di Papua, ketika kita harus naik pesawat hanya untuk membeli mie instan atau minyak goreng. Mungkin, ini juga hanya di Papua ketika kita harus menempuh jarak 70 km hanya untuk mengirim short messege service (SMS) atau menelepon. Mungkin hanya ada di Papua ucapan kartu Natal tiba pada saat masa Paskah dan sebaliknya. Dan, mungkin ini juga hanya di Papua ketika kita berjumpa dengan umat yang mengenakan koteka, moge (pakaian untuk perempuan) dan tarian susu.

Adanya tantangan dan keterbatasan-keterbatasan yang ada bagi kami bukan menjadi alasan untuk tidak berbuat apa-apa. Justru sebaliknya, apa yang bisa kita buat dalam aneka tantangan dan keterbatasan tersebut. Saya sendiri merasakan bahwa kualitas pribadi dan keaslian diri saya justru tampak dengan jelas dalam situasi yang sulit. Apakah dalam situasi yang tidak mudah itu saya mampu keluar dan berbuat baik bagi sesama yang saya layani? Apakah dalam berbagai keterbatasan itu saya bisa tetap kreatif dan produktif?

TK Komugai

Sejak awal kehadiran Paroki Waghete di tengah-tengah suku Mee di Waghete 64 tahun yang lalu, bidang pendidikan telah menjadi perhatian utama. Maka sejak saat itu dibangunlah Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama di kompleks gereja. Berbagai macam usaha pendidikan pun dilakukan oleh para petugas gereja, bahkan oleh pastor, bruder dan suster yang ada. Namun, tantangan di bidang pendidikan ini serasa tidak pernah ada habisnya, entah itu karena sarana pendidikan yang terbatas, gedung-gedung sekolah yang tidak memadai dan tenaga pengajar yang kurang berkompeten. Perbaikan di sana-sini pun terus dilakukan.

Sejak tahun 2003 muncul inovasi baru di bidang pendidikan di Paroki Waghete, yaitu didirikannya TK Komugai. TK ini didirikan oleh Br. Norbert Mujiana, SJ, dan Rm. Eddy Anthony, SJ bersama umat. TK ini bisa disebut sebagai bentuk inovasi sebab kehadirannya berusaha menjawab salah satu kebuntuan bidang pendidikan saat itu. Atas keprihatinan bahwa kebanyakan anak-anak SD dan SMP belum bisa membaca, menulis dan menghitung.

Sejak tahun 2010, saya menerima tongkat estafet kepemimpinan di TK Komugai itu. Komugai sendiri berarti mengumpulkan atau memanfaatkan suatu hal atau barang-barang yang sudah ada dan menggunakannya dengan baik.

Dalam arti tertentu, mendampingi TK Komugai ini terasa menggembirakan, sebab setiap kali saya datang ke TK, saya bisa melihat keceriaan dan kepolosan anak-anak yang hitam kulitnya dan berambut keriting (seperti lagu yang sering dinyanyikan di sana,” hitam kulitku dan keriting rambutku…”) yang penuh semangat untuk belajar.

“Neng neng neng, neng neng neng dengarlah lonceng itu. Neng neng neng, neng neng neng itulah tanda waktu. Marilah kawan bentuk barisan di muka pintu. Masuk ruangan perlahan lahan bersama bu guru…”

Sebelum lagu di atas dinyanyikan dan anak-anak TK mulai masuk ke dalam kelas untuk belajar biasanya kami mengajukan beberapa pertanyaan: Siapa yang sudah mandi? Siapa yang belum mandi? Siapa yang tidak punya ingus di hidungnya? Siapa yang hidungnya masih beringus? Anak-anak pun di minta membersihkan dulu ingusnya—ini adalah pelajaran paling awal di muka kelas. Bagi yang belum mandi, mereka diminta untuk mencuci mukanya di bak air yang tersedia di samping kelas. Dengan kaki telanjang tanpa mengenakan apa pun, anak-anak masuk ke dalam kelas untuk belajar.

Menangkap Rahmat Tuhan

“Bludel daa” adalah ungkapan yang begitu sederhana, namun ungkapan tersebut menjadi sumber kegembiraan dan kebahagiaan tersendiri bagi saya. Dalam arti tertentu, menjadi gembira dan merasa bahagia bagi saya adalah sebuah pilihan. Bisa saja situasi di sekitar saya sungguh-sungguh tidak memberikan ruang atau suasana yang menggembirakan, namun bukan berarti kegembiraan itu absen dengan juga darinya. Dalam situasi itu saya diajak untuk menjadi sungguh-sungguh peka, peka untuk melihat kehadiran Allah dalam bentuk apa pun. Ini adalah pilihan. Kehadiran anak-anak kecil di sekitar saya menjadi bukti bahwa kegembiraan itu tidaklah absen. Ketika kegembiraan hati semacam ini saya dapati, saya juga merasa bahagia.

Jika dirasakan lebih jauh, rasanya memang tidak mudah berkarya di tanah Papua dengan aneka keterbatasan dan tantangannya. Namun, di dalamnya saya justru merasakan bisa belajar banyak hal. Hal pertama yang masuk dalam permenungan saya adalah tentang keaslian diri. Dalam keadaan yang sulit dan penuh tantangan, kualitas pribadi menjadi taruhan. Apakah saya ini tipe orang yang tangguh? Apakah saya ini seorang yang dewasa? Apakah saya ini tipe orang yang setia dan kreatif, dan seterusnya? Membandingkan kehidupan di pedalaman Papua dengan kehidupan di Jawa tentulah tidak sepadan. Dalam keadaan ini saya belajar untuk mengenali diri lebih jauh, apa kekurangan dan kelebihan saya. Pengalaman ini pelan-pelan saya tangkap sebagai salah satu rahmat yang ditawarkan Tuhan kepada saya. Saya dituntun untuk mengenali diri lebih dalam.

Hal kedua yang saya kira tak kalah menariknya adalah perjumpaan saya dengan Allah secara pribadi. Hal seperti ini tidak pernah saya temukan sebelumnya pada saat di sekitar saya ada banyak sahabat, keluarga dan orang-orang yang saya kenal. Ketika berada di pedalaman Papua, mereka semua seperti hilang dan tercerabut. Di samping itu, saya juga cukup sering mengalami pengalaman hidup sendiri di tempat perutusan ini ketika teman Jesuit saya pergi. Ketika malam, gelap, sepi dan sendiri, saya menemukan bahwa pada akhirnya hidup ini adalah antara diri saya dengan Allah. Dalam gelap malam, kesepian dan kesendirian, sebagai orang yang beriman, saya hanya bisa bertumpu pada Allah semata. Rasanya, tidak ada tempat lain untuk berlabuh.

Berangkat dari pengalaman di atas, saya mencoba lebih peka dan atentif atas berbagai pengalaman harian saya. Saya pun kemudian diajak untuk tidak hanya bisa menemukan Allah dalam keadaan kegelapan, kesepian dan kesendirian, namun dalam keadaan apa pun adanya. Saya juga diajak untuk menemukan Allah melalui wajah dan tatapan anak-anak berkulit hitam dan berambut keriting. Kegembiraan berjumpa dengan mereka yang begitu polos dengan apa adanya diri mereka rupanya adalah sapaan Allah tersendiri dalam kehidupan harian saya.

Kepolosan dan sikap apa adanya di atas sebenarnya adalah gambaran hampir menyeluruh dari kehidupan umat di pedalaman Waghete. Mereka adalah manusia-manusia “telanjang” dari peradaban yang masih polos dan apa adanya—serba terbatas—yang hidup bersama dengan kita—yang lebih suka disebut sebagai manusia-manusia modern. Mengenali mereka adalah memahami tanpa memberikan jeda terhadap pemahaman kita. Karena mereka begitu berbeda. Untuk hal yang satu ini, saya secara khusus memohon rahmat kepada Allah.

Br Dieng SJ