HOMILI: Hari Minggu Prapaskah II (Kej. 12:1-4a; Mzm. 33:4-5,18-19,20,22; 2Tim. 1:8b-10; Mat. 17:1-9)

Kawan-kawan yang baik!
 
Di kotak surat saya temukan secarik pesan ini, “Matt, terima kasih buat Minggu lalu. Apa masih bisa tolong jelaskan Injil hari Minggu Prapaskah II tentang Transfigurasi Yesus di sebuah gunung yang kaukisahkan dalam Mat 17:1-9. Sekalian deh singgung kaitannya kalau ada dengan warta kisah panggilan Abraham dalam Kej 12:1-4a yang dijadikan bacaan pertama. Salam, Gus.” Ia hanya meninggalkan serangkai alamat email. Kebetulan memang saya masih ada satu dua catatan mengenai episode itu.
 
Dikisahkan dalam Mat 17:1-9, selang enam hari setelah menjelaskan syarat-syarat mengikutinya, Yesus mengajak Petrus, Yakobus dan Yohanes naik ke sebuah gunung yang tinggi. Di situ ia berubah rupa. Tampak pula Musa dan Elia sedang berbicara dengannya. Petrus bergairah dan mau mendirikan tiga kemah bagi ketiga tokoh itu. Saat itu juga datang awan yang bercahaya datang menaungi mereka dan terdengar suara menyatakan bahwa Yesus itu anak terkasih yang mendapat perkenan dariNya dan hendaklah ia didengarkan. Ketiga murid itu telungkup gentar. Tetapi Yesus menyentuh mereka dan menyuruh mereka berdiri dan tak usah takut. Semuanya pulih kembali seperti biasa. Dan hanya terlihat Yesus seorang diri. Dalam perjalanan turun Yesus melarang para murid itu menceritakan penglihatan tadi kepada siapa pun sebelum kebangkitan terjadi.
 
Sebenarnya ini olahan kembali catatan Mark (Mrk 9:2-8) sambil menyesuaikannya dengan kebutuhan di sini. Hal ini juga dilakukan Luc. Tahun lalu Gus sudah membicarakan Luk 9:28-36 dan menjelaskan bahwa Luc bermaksud menonjolkan siapakah Yesus yang sudah jadi buah bibir orang banyak itu. Di situ Luc lebih banyak menambah teks Mark daripada saya. Menurut Gus, peristiwa itu bahkan ditampilkan Luc sebagai dasar kisah perjalanan Yesus ke Yerusalem. Memang dalam versi Luc, kedua tokoh besar Musa dan Elia disebutkan sedang berbicara dengan Yesus mengenai “tujuan perjalanan”-nya, yakni ke Yerusalem. Luc dan Gus sudah kerap mengupas perkara itu. Saya sendiri berminat untuk menyoroti keadaan para murid.
 
Mata batin orang yang semakin mengenal Yesus tentu menangkap yang tak kasat mata. Lama saya kaji perkara ini. Sering saya berkonsultasi dengan beberapa pakar spiritualitas karena saya ingin mengerti pertumbuhan hidup rohani. Oleh karena itu saya anggap penting mengambil alih keterangan Mark “enam hari kemudian” pada awal kisahnya. Catatan ini merangkaikan peristiwa di gunung itu dengan yang dikisahkan sebelumnya, yakni pemberitahuan pertama tentang penderitaan Yesus dan syarat-syarat mengikutinya (Mat 16:21-28). Mengenai peristiwa itu Luc bilang “kira-kira delapan hari sesudah [Yesus] menyampaikan semua pengajaran itu” (Luk 9:28). Jangan bingung dengan perbedaan dua hari ini. Mark dan saya menunjuk pada tenggang waktunya, sedangkan Luc menghitung juga awal dan akhirnya. Contohnya, jarak waktu antara dua hari Minggu bisa dikatakan sepekan atau enam hari bila dihitung mulai dari Senin sampai Sabtu. Tapi kalau hari-hari Minggunya ikut dihitung, ya kedapatan delapan hari.
 
Penampakan kemuliaan Yesus terjadi sesudah selang waktu yang cukup bagi ketiga murid tadi untuk memikirkan dua hal berikut, yaitu (i) pemberitahuan sengsara, kematian dan kebangkitan Yesus (Mat 16:21) dan (ii) kata-kata Yesus mengenai pengorbanan di dalam mengikutinya (Mat 16:24-28, yakni menyangkal diri, memikul salib, berani berkorban demi dia, dst.). Tentu para murid selama itu bertanya-tanya dalam hati, sepadankah pengorbanan dalam mengikuti guru yang toh sudah tahu bakal menderita dan meninggal seperti diungkapkan sendiri itu? Lagi pula apa untungnya lebih besar daripada ruginya?
 
Memang kami juga memakai perhitungan dalam urusan seperti ini, bukan nekat-nekatan saja. Dalam hal ini saya tidak akan begitu saja setuju dengan gagasan bahwa iman itu bagaikan “melompat ke dalam kegelapan”. Memang ungkapan itu menunjuk pada komitmen orang yang beriman, namun iman tidak mulai di situ. Iman tidak mulai sebagai bonek – bocah nekat. Kepasrahan iman itu buah, bukan titik tolak. Iman tumbuh dari kesadaran mengenai siapa dia yang patut menerima komitmen yang makin besar dan demi maksud apa.
 
Coba simak bacaan mengenai Abraham yang kalian dengar hari ini juga (Kej 12:1-4a). Perintah Tuhan untuk pindah dari negerinya itu masuk akal bagi Abraham: ia akan menjadi bapak bangsa besar dan menjadi jalan berkat bagi semua orang. Begitulah, komitmen mengikuti Yesus juga butuh dipertanggungjawabkan. Peristiwa penampakan kemuliaan Yesus di gunung itu menolong mereka.
 
Murid-murid melihat wajah Yesus berubah menjadi “bercahaya sebagai matahari”. Ungkapan ini maksudnya untuk memperjelas rumusan Mark yang hanya menyebut bahwa Yesus “berubah rupa” (Mrk 9:2). Mark memang suka membiarkan pembacanya membayangkan sendiri. Bercahaya seperti matahari berarti tidak bisa ditatap begitu saja, menyilaukan. Di kaki gunung Sinai dulu umat Perjanjian Lama melihat kulit wajah Musa bercahaya dan karenanya takut mendekat. Waktu itu Musa, yang baru saja berbicara dengan Tuhan, turun membawa loh perintah Tuhan (Kel 34:29 dst.). Perjumpaan dengan sabda Tuhan membuat wajah Musa bercahaya. Kali ini Yesus tampil sebagai Musa yang baru, yang membawakan sabda Tuhan di dalam dirinya, di dalam kehidupannya.
 
Yesus yang kalian ikuti itu amat dekat dengan keilahian sendiri sehingga menjadi berpendar-pendar menyilaukan. Kalian boleh jadi belum pernah mengalaminya. Dan syukur demikian. Tak usah terpaku pada hal-hal spektakuler seperti itu. Hidup yang dengan apa adanya kalian usahakan sebagai jalan mengikuti Yesus itu akan cukup membuat kalian makin melihat wajahnya yang sesungguhnya tanpa merasa silau. Dengan demikian cara hidup kalian juga tidak akan menyilaukan orang sekitar kalian. Menerangi memang jati diri kalian - ingat Mat 5:13-16 - tapi tak usah bikin silau! Tetapi kalian boleh pegang dalam hati bahwa yang kalian ikuti itu memang “menyilaukan”, tetapi jangan kalian pantulkan dia begitu saja. Justru tugas yang luhur bagi murid ialah membawakan Yang Ilahi dalam ujud yang amat manusiawi dan sehari-hari. Ini kerohanian yang dulu saya usahakan bertumbuh di dalam komunitas saya yang hidup di masyarakat yang memiliki keyakinan hidup berbeda-beda. Nilai kemanusiaanlah yang bisa kami pakai sebagai dasar saling mengerti. Bagaimana dengan keadaan kalian?
 
Yesus sendiri sebetulnya juga begitu. Ia tidak setiap saat memantulkan cahaya keilahian. Kita tak akan tahan. Ia menghadirkan keilahian dengan cara yang bisa dimengerti, dengan melayani kebutuhan orang-orang yang datang kepadanya, mencerahkan budi mereka, menyembuhkan, dengan bersimpati dengan orang lemah yang menanggung beban hidup. Ia yang sebetulnya menyilaukan itu bisa didekati tanpa membuat orang langsung merasa terancam. Dan dia itulah yang kalian ikuti. Kalian boleh memperkenalkan dia dengan cara seperti dia sendiri membawakan keilahian. Dan tak usah takut karena Yang Ilahi sendiri akan bertindak. Dia sendiri sudah berfirman agar orang mendengarkan Yesus (“Dengarkanlah dia!”), karena ia amat dekat denganNya (“anakKu yang terkasih”) dan diberi kuasa bertindak atas namanya (“kepadanya Aku berkenan”).
Gus tentu akan mengingatkan kalian bahwa ungkapan “kepadanya Aku berkenan” dalam ay. 5 itu tidak ada pada teks Mark. Oleh karenanya Luc juga tidak menyebutnya. Rumusan itu ada di sini untuk membuat pembaca tertolong melihat kesamaan dengan peristiwa pembaptisan dan turunnya Roh ke atas diri Yesus. Di situ ungkapan tadi dipakai dalam ketiga Injil (Mat 3:17; Mrk 1:11; Luk 3:22). Kita boleh yakin bahwa para murid juga menangkap hubungan antara kedua peristiwa itu. Dan kalian akan banyak belajar tentang siapa Yesus itu bila melihat kedua peristiwa itu bersama-sama. Kuncinya ada pada Roh! Rohlah yang membuat Yesus dapat bertindak atas nama Yang Ilahi. Kalian ingat, di padang gurun Roh itu tetap mendampinginya. Dan kemudian ia mengirim Roh yang sama itu kepada semua muridnya, termasuk kita-kita ini.
 
Ketika berjalan turun, ketiga murid itu dipesan Yesus agar tidak bercerita kepada siapapun sebelum kebangkitan terjadi. Pesan seperti ini maksudnya agar murid sempat memperoleh pengalaman batin mengenai kebangkitan, mengenai keilahian Yesus yang mengatasi kematian itu. Bila pengalaman batin ini belum ada maka cerita mereka yang hebat-hebat nanti mudah gembos tanpa arti. Tapi bukan maksud saya mengatakan kalian musti punya pengalaman batin sebelum bisa berbicara mengenai kebesaran Yesus. Ini tidak diharapkan dari kalian. Bagi generasi saya saja keadaannya sudah lain. Kami kan hidup sesudah Yesus bangkit dan kebangkitan itu justru dasar kehidupan rohani kami. Begitu juga bagi kalian. Maka kita sepatutnya berterima kasih kepada Petrus, Yakobus, dan Yohanes yang menyimpan pengalaman hebat itu dalam hati bagi kita semua! Dan masa menyongsong paskah ini masa yang tepat untuk mengingat-ingat kejadian itu dan menarik hikmatnya.
 
Teriring salam,
 
Matt