HOMILI: Hari Minggu Biasa XXX (Sir 35:12-14.16-18; Mzm 34:2-3; 2Tim 4:6-8.16-18; Luk 18:9-14)

Berdoa merupakan salah satu kegiatan hidup umat beriman atau beragama, dan umat beriman atau beragama yang baik pasti tidak melupakan hidup doa dalam perjalanan hidup sehari-hari. Kata-kata atau kalimat yang muncul dalam doa hemat saya merupakan petunjuk kualitas pribadi bersangkutan yang sedang berdoa. Memang ada orang yang suka berdoa begitu bertele-tele dengan kalimat panjang dan kedengaran bagus, sementara itu ada orang berdoa ‘to the point’, singkat padat. Dalam warta gembira hari ini dikisahkan orang Farisi dan pemungut cukai yang sedang berdoa, dimana orang Farisi begitu menyombongkan diri dihadapan Allah serta juga melecehkan orang lain, sedangkan pemungut cukai dengan rendah hati menyadari dan menghayati diri sebagai yang lemah, rapuh dan penuh dengan dosa di hadapan Allah. Bagaimana anda berdoa: seperti orang Farisi atau pendosa? Kebenaran sejati sebagai orang beriman adalah sebagai pendosa yang dipanggil Allah untuk bertobat serta dengan rendah hati menanggapi panggilan Allah untuk berpartisipasi dalam karya penyelamatanNya. Maka dengan ini kami mengajak dan mengingatkan anda semua untuk meneladan pemungut cukai yang sedang berdoa, dengan kata-kata sebagaimana kita kutipkan di bawah ini, dan marilah kita renungkan dan cecap dalam-dalam.

“Pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini” (Luk 18:13)

Kami percaya bahwa kita semua semakin bertambah usia dan pengalaman berarti juga semakin bertambah dosa-dosa kita, demikian juga semakin beriman berarti juga semakin menyadari dan menghayati diri sebagai pendosa yang diampuni dan dikasihi oleh Allah secara melimpah ruah. Jika kita berani mawas diri dengan benar dan jujur kiranya kita akan menyadari dan menghayati diri sebagai orang yang senantiasa dikasihi dan diampuni oleh Allah melalui sekian banyak orang yang memperhatikan dan mengasihi kita, karena kita memang orang yang lemah dan rapuh. Dengan demikian dalam keadaan bagaimana pun kita akan hidup dan bertindak dengan rendah hati.

“Barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan."(Luk 18:14), demikian sabda Yesus. Kerendahan hati merupakan keutamaan dasar dan paling utama, yang mendasari keutamaan-keutamaan lainnya, maka marilah kita senantiasa hidup dan bertindak dengan rendah hati. Tak bosan-bosannya saya mengutip apa itu rendah hati, menurut para pemerhati kehidupan moral atau budi pekerti. “Rendah hati adalah sikap dan perilaku yang tidak suka menonjolkan dan menomorsatukan diri, yaitu dengan menenggang perasaan orang lain. Meskipun pada kenyataannya lebih dari orang lain, ia dapat menahan diri untuk tidak menonjolkan dirinya” (Prof Dr Edi Sedyawati/edit: Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka-Jakarta 1997, hal 24)

Kami berharap kepada siapapun yang berperan dan berpengaruh dalam kehidupan bersama untuk senantiasa hidup dan bertindak dengan rendah hati, dan secara konkret kami berharap hendaknya para pemimpin atau atasan senantiasa hidup dan bertindak dengan rendah hati dalam melaksanakan tugas pengutusan atau menghayati fungsinya. Secara khusus lagi kami berharap kepada kepala daerah di tingkat kabupaten/kota madya serta gubernuran maupun presiden, kepala pemerintahan, untuk sungguh rendah hati. Ingatlah dan sadari serta hayati bahwa anda dipilih oleh rakyat banyak: rakyat memang berada di tangan anda, tetapi kesematan anda ada di tangan rakyat. Jika anda tidak dengan rendah hati mengusahakan kesejahteraan hidup rakyat, jangan kaget dan bertanya-tanya jika rakyat protes atau bahkan memberontak, mengancam keselamatan anda.

Anak-anak di dalam keluarga hendaknya sedini mungkin dididik dan dibina untuk rendah hati, dan tentu saja teladan orangtua atau bapak ibu sangat dibutuhkan. Saya percaya bahwa ketika anak anda masih bayi anda pasti rendah hati terhadap anak anda, maka semoga pengalaman tersebut terus dihayati dan diperdalam serta diperkembangkan. Ketika anak-anak memperoleh pelayanan dan pembinaan rendah hati, maka ketika mereka berkembang menjadi pribadi dewasa pasti akan hidup dan bertindak dengan rendah hati juga. Kepada mereka yang kaya akan harta benda maupun ilmu pengetahuan kami harapkan juga hidup dan bertindak dengan rendah hati, sebagaimana dikatakan dalam pepatah “butir padi semakin berisi, maka batang padi akan menunduk”.

“Mengenai diriku, darahku sudah mulai dicurahkan sebagai persembahan dan saat kematianku sudah dekat.Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil, pada hari-Nya; tetapi bukan hanya kepadaku, melainkan juga kepada semua orang yang merindukan kedatangan-Nya.” (2Tim 4:6-8)

Apa yang disharingkan oleh Paulus di atas ini kiranya baik kita renungkan dan hayati, lebih-lebih kata-kata “darahku sudah mulai dicurahkan sebagai persembahan dan saat kematianku sudah dekat”. Yang sangat jelas bagi kita semua adalah bahwa kita semua tidak tahu kapan kematian bagi kita akan datang atau kapan kita akan meninggal dunia, kiranya tak seorang pun yang sungguh beriman mengetahui kapan akan dipanggil Tuhan atau meninggal dunia. Namun apakah selama ini kita juga telah mencurahkan darah sebagai persembahan, yang berarti sungguh bekerja keras melaksanakan tugas pekerjaan atau menghayati panggilan hanya diri kita sendiri juga yang mengetahui. Kita semua dipanggil untuk bekerja keras melaksanakan tugas pengutusan maupun menghayati panggilan kita masing-masing, demi kebahagiaan dan kesuksesan hidup dan kerja kita.

“Bekerja keras adalah sikap dan perilaku yang suka berbuat hal-hal yang positif dan tidak suka berpangku tangan serta selalu gigih dan sungguh-sungguh dalam melakukan sesuatu” (Prof Dr Edi Sedyawati/edit: Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka – Jakarta 1997, hal 10). Orang-orang miskin yang baik di pedesaan-pedesaan atau di pegunungan-pegunungan maupun para buruh pada umumnya bekerja keras dalam bekerja guna mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, baik bagi dirinya sendiri maupun keluarganya. Maaf, saya sendiri sejak kecil dididik dan dibina bekerja keras oleh orangtua saya, yang bekerja sebagai tukang batu, buruh di pabrik gula dan mengerjakan sepetak sawah. Ketika masih belajar di tingkat SMP, begitu pulang dari sekolah saya langsung ke sawah, entah untuk mencangkul atau perawatan tanaman padi dan sering juga dalam rangka menanam tembakau. Semakin bekerja keras dan merasa berkekurangan waktu pada umumnya saya lalu efisien dan efektif dalam menggunakan waktu. Begitu sebaliknya ketika orang merasa memiliki atau berkelimpahan waktu pada umumnya boros waktu.

Marilah kita semua berusaha menggunakan waktu seefektif dan seefisien mungkin dan syukur juga seafektif mungkin. Didiklah dan binalah anak-anak anda dalam hal bekerja keras, jauhkan aneka bentuk kemalasan. Para orangtua atau bapak-ibu kami harapkan dapat menjadi teladan pekerja keras dalam cara hidup dan cara bertindak setiap hari. Kami di Seminari Menengah Mertoyudan juga berusaha mendidik dan membina para seminaris untuk bekerja keras, agar kelak ketika menjadi pastor/imam sungguh bekerja keras dalam menghayati panggilan maupun melaksanakan tugas pengutusan/pekerjaan.

“Aku hendak memuji TUHAN pada segala waktu; puji-pujian kepada-Nya tetap di dalam mulutku.Karena TUHAN jiwaku bermegah; biarlah orang-orang yang rendah hati mendengarnya dan bersukacita” (Mzm 34:2-3)


Minggu, 27 Oktober 2013

Romo Ignatius Sumarya, SJ