"Hukum manakah yang paling utama?" (Hos 14:2-10; Mzm 81:7-8; Luk 12:28-34)

 
"Lalu seorang ahli Taurat, yang mendengar Yesus dan orang-orang Saduki bersoal jawab dan tahu, bahwa Yesus memberi jawab yang tepat kepada orang-orang itu, datang kepada-Nya dan bertanya: "Hukum manakah yang paling utama?" Jawab Yesus: "Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini." Lalu kata ahli Taurat itu kepada Yesus: "Tepat sekali, Guru, benar kata-Mu itu, bahwa Dia esa, dan bahwa tidak ada yang lain kecuali Dia. Memang mengasihi Dia dengan segenap hati dan dengan segenap pengertian dan dengan segenap kekuatan, dan juga mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri adalah jauh lebih utama dari pada semua korban bakaran dan korban sembelihan." Yesus melihat, bagaimana bijaksananya jawab orang itu, dan Ia berkata kepadanya: "Engkau tidak jauh dari Kerajaan Allah!" Dan seorang pun tidak berani lagi menanyakan sesuatu kepada Yesus." (Luk 12:28-34), demikian kutipan Warta Gembira hari ini

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

· Di Indonesia, Negara tercinta ini, begitu banyak aturan dan tata tertib: UUD, UU, PP, Perda, Hukum Pidana maupun Perdata,dst.. Di dalam setiap organisasi atau paguyuban senantiasa juga ada tata tertib atau aturan yang diberlakukan agar kehidupan dan kinerja organisasi atau paguyuban berlangsung sebagaimana diidam-idamkan. Kebersamaan hidup yang paling dasar, yaitu keluarga, dibangun dan diperdalam serta diperkembangkan dengan dan melalui hukum yang paling utama, yaitu cintakasih, dan hemat saya semua tata tertib, aturan, hukum, kebijakan dst.. juga didasari atau dijiwai oleh cintakasih. Namun sungguh memprihatinkan bahwa dalam perjalanan hidup berkeluarga maupun bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta beragama, orang melupakan cintakasih tersebut, padahal masing-masing dari kita ada dan dapat tumbuh berkembang sebagaimana adanya pada saat ini hanya karena atau oleh cintakasih. Marilah kita senantiasa hidup dalam cintakasih dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi maupun segenap kekuatan. Segenap berarti seutuhnya atau total, dengan kata lain kita dipanggil untuk saling mengasihi tanpa syarat, atau catatan kaki. Cintakasih itu bebas, tanpa batas, sedangkan kebebasan dibatasi oleh cintakasih. Kita dapat hidup dan bertindak dengan bebas asal tidak melecehkan diri kita maupun orang lain, sebagai manusia yang diciptakan sesuai dengan gambar atau citra Allah. Melecehkan diri kita maupun manusia lain berarti melawan kehendak Allah alias tidak beriman kepada Allah. Hidup dalam cintakasih tiada ketakutan sedikitpun untuk dilecehkan atau direndahkan, meskipun untuk itu harus membuka diri seutuhnya, sebagaimana terjadi dalam relasi antar suami-isteri. Kami berharap kepada kita semua untuk menanggapi dan menyikapi aneka sapaan, sentuhan dan perlakuan orang lain terhadap diri kita sebagai wujud cintakasih mereka kepada kita. dekati dan sikapi segala sesuatu dalam dan oleh cintakasih, maka anak enak dan nikmat adanya.

· "Siapa yang bijaksana, biarlah ia memahami semuanya ini; siapa yang paham, biarlah ia mengetahuinya; sebab jalan-jalan TUHAN adalah lurus, dan orang benar menempuhnya, tetapi pemberontak tergelincir di situ" (Hos 14:10) . Yang dimaksudkan "semuanya ini" tidak lain adalah aneka aturan dan tata tertib yang terkait dengan panggilan dan tugas pengutusan kita masing-masing sebagai terjemahan `jalan-jalan Tuhan yang lurus'. Maka marilah kita senantiasa pertama-tama dan terutama setia mentaati dan melaksanakan aneka tata tertib dan aturan yang terkait dengan panggilan dan tugas pengutusan kita masing-masing, sehingga tata tertib dan aturan tidak lagi menjadi beban, melainkan kebutuhan. Ketika kita menghayati tata tertib dan aturan sebagai kebutuhan, maka kita akan tumbuh berkembang dengan mudah untuk menjadi orang bijaksana. Kami berharap kepada para pemimpin atau atasan dimana pun dapat menjadi teladan atau inspirasi dalam pelaksanaan atau penghayatan tata tertib dan aturan, yang pada umumnya juga mengesahkan tata tertib atau aturan untuk diberlakukan. Kita semua dipanggil untuk berjalan `lurus' alias hidup dan bertindak jujur dalam situasi dan kondisi apapun serta dimana pun. Hidup dan bertindak jujur memang akan hancur untuk sementara, dan mulia serta bahagia selamanya, sedangkan pembohong atau penipu berbahagia sesaat dan akan menderita atau sengsara selamanya. Kami berharap kejujuran dibiasakan atau dididikkan pada anak-anak di dalam keluarga sedini mungkin, antara lain dengan teladan konkret dari orangtua. Hendaknya kejujuran senantiasa juga menjiwai proses mengajar dan belajar di sekolah-sekolah.

"Aku telah mengangkat beban dari bahunya, tangannya telah bebas dari keranjang pikulan; dalam kesesakan engkau berseru, maka Aku meluputkan engkau; Aku menjawab engkau dalam persembunyian guntur, Aku telah menguji engkau dekat air Meriba" (Mzm 81:7-8)

Jumat,  8 Maret 2013

Romo Ignatius Sumarya, SJ