HOMILI: Hari Minggu Prapaskah V (Yes 43:16-21; Mzm 126:1-2ab.2cd-3.4-5.6; Flp 3:8-14; Yoh 8:1-11)

“Setelah mereka mendengar perkataan itu, pergilah mereka seorang demi seorang, mulai dari yang tertua”

Sebut saja namanya Bapak Artomoro, yang boleh diartikan bapak yang senantiasa mendambakan uang atau harta benda mengalir deras mendatangi, dengan kata lain orang yang bersikap mental materialistis. Pada suatu hari dengan geram ia memarahi anak-anaknya, karena anak-anak kurang taat kepada bapak-ibunya dan melakukan apapun sesuai dengan selera atau keinginannya sendiri. “Kamu ini anak-anaknya siapa, sungguh memalukan dan memprihatinkan cara hidup dan cara bertindakmu”, demikian kata sang bapak dalam kemarahannya. “Lho, kami ini khan anak-anak bapak-ibu”, jawab anak-anak dengan sedikit takut. Kemarahan orangtua terhadap anak-anaknya, pemimpin terhadap anggota-anggotanya, atasan terhadap bawahan-bawahannya sering terjadi dalam kehidupan bersama kita, dan sering hal itu untuk menunjukkan kewibawaan orangtua, atasan atau pemimpin. Begitulah yang sering terjadi bahwa semakin tua dan semakin tinggi fungsi atau jabatannya orang merasa diri lebih baik daripada yang lain alias sombong. Bukanlah semakin tambah usia dan pengalaman berarti juga bertambah dosanya, sebagaimana terjadi dalam kisah dalam Warta Gembira hari ini ketika Yesus bersabda bahwa yang tidak berdosa silahkan melempar batu pertama kali kepada pelacur yang tertangkap basah dan akhirnya yang paling tua lebih dahulu mengundurkan diri. Maka marilah kita renungkan apa isi Warta Gembira hari ini.

“Ia pun bangkit berdiri lalu berkata kepada mereka: "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu." Lalu Ia membungkuk pula dan menulis di tanah.Tetapi setelah mereka mendengar perkataan itu, pergilah mereka seorang demi seorang, mulai dari yang tertua. Akhirnya tinggallah Yesus seorang diri dengan perempuan itu yang tetap di tempatnya.” (Yoh 8:7-9)

“Siapakah Yesuit itu? Yesuit ialah orang yang mengakui dirinya pendosa, tetapi tahu bahwa dipanggil menjadi sahabat Yesus seperti Ignatius dahulu, Ignatius minta kepada Santa Perawan, ‘agar menempatkan dia disamping Puteranya’, dan kemudian Ignatius melihat Bapa sendiri minta kepada Yesus yang memanggul salib, agar menerima si musafir ini dalam kalangan sahabatnya” (Konjen SJ ke 32, dekrit 2.1). Dalam Konggregasi Jendral ini adalah tokoh-tokoh atau pemuka-pemuka penting Serikat Yesus. Memang pernyataan iman tersebut sedikit banyak terpengaruh oleh sapaan Paus Yohanes Paulus II kepada para peserta Konggregasi Jendral yang mengadap Yang Mulia :”Dari mana asalmu? Dimana saat ini anda berada? Kemana anda mau pergi?”.

Sapaan Paus kepada para Yesuit tersebut di atas kiranya dapat menjadi bahan permenungan atau refleksi kita juga. Kita semua berasal dari Allah dan kiranya di awal hidup kita di dunia ini dalam keadaan suci, bersih dan tak berdosa sedikitpun, namun karena kelemahan dan kerapuhan kita sebagai manusia yang berasal dari ‘tanah’ dengan mudah kita mencemari kesucian kita dalam perjalanan waktu. Semakin tambah pengalaman dan tambah usia semakin banyak dosa yang kita lakukan, itulah kebenaran iman sejati. Pada saat ini di dunia, dalam hidup bersama kita menghadapi aneka rayuan dan godaan untuk berbuat dosa, dan dengan mudah kita tergerak mengikuti rayuan dan godaan tersebut, karena egois dan semangat materialistis kita. Maka selayaknya jika kita menyadari dan menghayati diri sebagai orang berdosa, dan jika kita dapat melakukan apa yang baik, menyelamatkan dan membahagiakan sungguh merupakan karya atau penyelenggaraan Ilahi dalam diri kita yang lemah dan rapuh ini. Dengan kata lain kita juga telah menerima kasih pengampunan dari Allah secara melimpah ruah melalui saudara-saudari kita, maka apa yang hendaknya kita lakukan selanjutnya atau “kemana kita mau pergi melangkah?”

Kita semua diharapkan untuk pergi melangkah menuju ke ‘tinggal bersama Yesus’ alias menjadi sahabat-sahabat Yesus. Menjadi sahabat-sahabat Yesus antara lain senantiasa siap sedia meneladanNya dalam ‘memanggul atau memikul salib’. APP tahun ini mengajak kita untuk mendalami dan menghayati tema “Bekerja Keras dan berpartisipasi Menghayati Salib Yesus”. Maka marilah kita mawas diri sejauh mana kita telah bekerja keras dalam hidup, panggilan dan tugas pengutusan kita, yang memang tak akan terlepas dari aneka penderitaan dan pengorbanan maupun perjuangan. “Bekerja keras adalah sikap dan perilaku yang suka berbuat hal-hal yang positif dan tidak berpangku tangan serta selalu gigih dan sungguh-sungguh dalam melakukan sesuatu” (Prof Dr Edi Sedyawati/edit: Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka – Jakarta 1997, hal 10).

“Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya”(Fil 3:8).

Sebagai orang yang beriman kepada Yesus Kristus kita dipanggil untuk semakin mengenalNya serta menjadi sahabat-sahabat-Nya yang handal, tangguh dan berkompeten, sehingga cara hidup dan cara bertindak kita meneladan cara hidup dan cara bertindak-Nya maupun senantiasa melaksanakan sabda-sabda-Nya dimana pun dan kapan pun. Maka hendaknya segala sesuatu yang kita miliki dan kuasai pada saat ini sungguh difungsikan untuk semakin mengenal dan menjadi sahabat-Nya, dengan kata lain memfungsikan segala sesuatu sebagai jalan atau wahana agar kita semakin memuji, memuliakan, menghormati dan mengabdi Tuhan, entah dalam atau melalui ibadat maupun kerja atau pelayanan kita setiap hari.

Kemuliaan, kesejahteraan dan kebahagiaan sejati ada dalam kesatuan dan kebersaman dengan Tuhan, dan memang untuk mengusahakan atau mencapainya kita perlu ‘menghayati salib Yesus Kristus’ alias membaktikan hidup sepenuhnya kepada panggilan, tugas pengutusan maupun kewajiban. Dengan kata lain kami ajak anda sekalian untuk meninggalkan aneka bentuk kemalasan dan hidup seenaknya hanya mengikuti selera atau keinginan pribadi. Dalam hidup dan kerja dimana pun dan kapan pun pasti ada tata tertib atau aturan yang harus kita lakukan atau hayati, maka pertama-tama dalam mengusahakan kemuliaan, kesejahteraan dan kebahagiaan hendaknya setia menghayati atau melaksanakan tata tertib atau aturan yang terkait dengan panggilan dan tugas pengutusan kita masing-masing.

Kami mengajak anda sekalian untuk menyikapi dan menghayati aneka tata tertib dan aturan bukan sebagai beban atau perintah, melainkan sebagai kebutuhan atau sarana dan jalan mengusahakan kemuliaan, kesejahteraan dan kebahagiaan sejati. Hendaknya anak-anak sedini mungkin dididik dan dibina untuk setia melaksanakan tata tertib dan aturan, misalnya tata tertib dan aturan di dalam keluarga, yang kemudian diperdalam dan diperkembangkan di tempat pendidikan formal, mulai dari Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar dst… Ketika anak-anak di dalam keluarga biasa hidup tertib dan teratur, maka percayalah di kemudian hari mereka akan hidup tertib dan teratur dimana pun dan kapan pun. Sekali lagi kami berharap kepada para orangtua untuk dapat menjadi teladan dalam penghayatan atau pelaksanaan tata tertib dan aturan, dan tentu saja anda berdua setia saling mengasihi sebagai suami-isteri sampai mati.

“Ketika TUHAN memulihkan keadaan Sion, keadaan kita seperti orang-orang yang bermimpi. Pada waktu itu mulut kita penuh dengan tertawa, dan lidah kita dengan sorak-sorai. Pada waktu itu berkatalah orang di antara bangsa-bangsa: "TUHAN telah melakukan perkara besar kepada orang-orang ini!" TUHAN telah melakukan perkara besar kepada kita, maka kita bersukacita. Pulihkanlah keadaan kami, ya TUHAN, seperti memulihkan batang air kering di Tanah Negeb! Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai. Orang yang berjalan maju dengan menangis sambil menabur benih, pasti pulang dengan sorak-sorai sambil membawa berkas-berkasnya.” (Mzm 126)

Minggu, 17 Maret 2013


Romo Ignatius Sumarya, SJ