HOMILI: Hari Minggu Prapaskah II (Kej. 15:5-12,17-18; Mzm. 27:1,7-9abc,13-14; Flp. 3:17-4:1; Luk. 9:28b-36)

"Guru, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Baiklah kami dirikan sekarang tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia”

Di dalam perjalanan hidup dan tugas pengutusan kita sehari-hari kiranya kita sering mengalami sungguh bergairah atau lesu, gembira atau sedih, bersemangat atau frustrasi dst.. alias pengalaman hiburan rohani atau kesepian rohani, yang dalam psikologi agama disebut sebagai pengalaman “fascinosum” dan “tremendum” (=mempesona dan menghentak). Selama masa Prapaskah sekiranya kita sungguh menanggapi ajakan gembala kita/uskup kita sebagaimana tertulis di dalam ‘Surat Gembala Prapaskah, yang secara nasional bertema “Makin Beriman, Makin Bersaudara, Makin Berbela Rasa”, dan untuk KAS dengan tema “Semakin Beriman Dengan Bekerja Keras dan Menghayati Salib Tuhan”, kita pasti akan mengalami hal-hal tersebut diatas, dan ada kemungkinan lebih banyak hiburan rohani daripada kesepian rohani, pengalaman bergairah daripada lesu, bersemangat daripada frustrasi. Dalam pengalaman terhibur, bergairah dan bersemangat biasanya orang memiliki cita-cita, harapan atau kehendak yang luar biasa dan indah, sebagaimana dialami para rasul di atas gunung sedang menemani Yesus untuk berdoa.

"Guru, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Baiklah kami dirikan sekarang tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia." Tetapi Petrus tidak tahu apa yang dikatakannya itu. Sementara ia berkata demikian, datanglah awan menaungi mereka. Dan ketika mereka masuk ke dalam awan itu, takutlah mereka. Maka terdengarlah suara dari dalam awan itu, yang berkata: "Inilah Anak-Ku yang Kupilih, dengarkanlah Dia."(Luk 9:33-35)

Ketika mengalami hiburan atau kesepian rohani kita diharapkan dengan rendah hati dan membuka diri untuk mendengarkan suara atau kehendak Allah. Maka baiklah saya kutipkan apa yang tertulis dalam Latihan Rohani St. Ignatius Loyola perihal hiburan dan kesepian rohani. “Yang kumaksud hiburan, ialah keadaan sewaktu dalam jiwa timbul gerak batin, yang membuat jiwa jadi berkobar dalam cinta kepada Pencipta dan Tuhannya…Akhirnya juga kunamakan hiburan rohani setiap tambahnya iman, harapan dan cinta..” (St Ignatius Loyola, LR no 316). “Yang kumaksudkan kesepian rohani, ialah semua yang berbalikan (dari hiburan rohani), misalnya kegelapan jiwa, kekacauan batin, dan gerak hati ke arah yang serba hina dan duniawi, bingung menghadapi berbagai bujuk dan godaan yang menyeret orang ke arah hilangnya kepercayaan, harapan, cinta..” (ibid..no 317)

Kami berharap selama masa Prapaskah, Retret Agung umat, kita lebih banyak mengalami hiburan rohani daripada kesepian rohani, dengan kata lain “dalam jiwa timbul gerak batin, yang membuat jadi berkobar dalam cinta kepada Pencipta dan Tuhan, semakin beriman, semakin berharap dan semakin mencinta”, sebagaimana dicanangkan dalam tema APP tahun 2013, dalam Tahun Iman ini. Maka kami berharap di dalam refleksi selama masa Prapaskah ini anda menerima pencerahan yang mendorong anda untuk tergerak melakukan pembaharuan atau peningkatan hidup beriman, berharap dan mencinta, dengan gerakan-gerakan konkret, entah secara pribadi atau bersama (dalam keluarga, komunitas atau tempat kerja, atau dalam lingkungan/wilayah/paroki).

Di dalam refleksi kiranya masing-masing dari kita menerima pencerahan yang berbeda satu sama lain, maka hendaknya kemudian saling berbagai pengalaman, menceriterakan dan mendengar-kan, perihal pencerahan yang telah diterimanya. “Inilah Anak-Ku yang Kupilih, dengarkanlah Dia”, inilah kiranya sabda yang dapat menjadi acuan kita dalam saling berbagi pengalaman pencerahan. 
 
Setelah menerima pencerahan di bukit atau gunung, para rasul diajak turun oleh Yesus. Hal ini bagi kita merupakan ajakan atau peringatan agar pencerahan yang kita terima kemudian dihayati atau dilakukan, jangan hanya tinggal dalam kenangan manis dalam pikiran atau semangat, melainkan menjadi nyata dalam cara hidup atau cara bertindak. Kita ‘daratkan’ segala niat dan kehendak baik yang kita terima dalam permenungan menjadi cara bertindak atau berperilaku.

“Kewargaan kita adalah di dalam sorga, dan dari situ juga kita menantikan Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruselamat, yang akan mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga serupa dengan tubuh-Nya yang mulia, menurut kuasa-Nya yang dapat menaklukkan segala sesuatu kepada diri-Nya” (Fil 3:20-21)

Kutipan di atas ini kiranya mengingatkan kita semua bahwa pada suatu saat kita akan mati atau dipanggil Tuhan, kapan waktunya tidak ada seorang pun dari kita yang mengetahuinya. Dengan kata lain hidup kita ini juga merupakan saat-saat penantian, yaitu menantikan dipanggil Tuhan, dimana Tuhan “mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga serupa dengan tubuh-Nya yang mulia”. Kita semua kiranya mendambakan hidup berbagia dan mulia selamanya di sorga, setelah dipanggil Tuhan atau meninggal dunia, maka marilah kita hidup dan bertindak sebagai orang yang memiliki dambaan atau kerinduan mulia, luhur dan indah. Dengan kata lain sebagaimana kami angkat di atas hendaknya kita hidup dan bertindak dijiwai oleh iman, harapan dan cintakasih.

Allah adalah kasih sejati, maka menantikan panggilan Allah alias kematian kita yang tidak kita ketahui kapan, sebagaimana orang menantikan yang terkasih, pada umumnya orang sungguh mengadakan pembersihan diri maupun lingkungan hidupnya. Selama mawas diri dalam masa Prapaskah ini kami harapkan masing-masing dari kita mengetahui dengan jelas dalam hal apa saja kita perlu mengadakan pembersihan alias pembaharuan hidup. Adakah anggota-anggota tubuh kita yang membuat diri kita terhina karena melakukan dosa, hal-hal yang tak sesuai dengan kehendak dan perintah Allah? Mungkin yang sering kita lakukan adalah berpikiran jelek atau jahat terhadap orang lain alias dengan mudah melihat dan mengangkat kekurangan atau kesalahan orang lain, dan ada kemungkinan juga menjadi nyata dalam omongan melalui mulut kita.

Ada empat unsur dalam diri kita, yaitu: jiwa, hati, akal budi dan tubuh, maka mungkin baik jika kita mawas diri keempat unsur tersebut. Dalam hal hati atau jiwa kiranya yang mengetahui dengan jelas dan benar tentang isi hati atau isi jiwa/semangat kita adalah saya sendiri, maka kami harapkan masing-masing dari kita sungguh jujur dalam mawas diri. Secara khusus kami berharap terjadi keterbukaan antar anggota keluarga, antar suami dan isteri, antar kakak-adik, antar orangtua dan anak-anak, karena apa yang terjadi dan dialami di dalam keluarga akan sangat bermanfaat dalam perjalanan ke dalam kebersamaan hidup yang lebih luas, entah di dalam masyarakat, tempat tugas/kerja dst.. Bukankah antar suami-isteri memiliki keterbukaan luar biasa, yaitu ketika sedang memadu kasih alias berhubungan seks dalam rangka saling mengasihi dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi dan segenap kekuatan atau tubuh? Semoga keterbukaan yang sama, dalam arti secara spiritual, juga dihayati dalam pergaulan dengan sesamanya, dan dengan demikian hidup bersama sungguh bersih, menarik dan mempesona.

"TUHAN adalah terangku dan keselamatanku, kepada siapakah aku harus takut? TUHAN adalah benteng hidupku, terhadap siapakah aku harus gemetar? Dengarlah, TUHAN, seruan yang kusampaikan, kasihanilah aku dan jawablah aku! Hatiku mengikuti firman-Mu: "Carilah wajah-Ku"; maka wajah-Mu kucari, ya TUHAN. Janganlah menyembunyikan wajah-Mu kepadaku, janganlah menolak hamba-Mu ini dengan murka; Engkaulah pertolonganku, janganlah membuang aku dan janganlah meninggalkan aku, ya Allah penyelamatku!  Sesungguhnya, aku percaya akan melihat kebaikan TUHAN di negeri orang-orang yang hidup! Nantikanlah TUHAN! Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu! Ya, nantikanlah TUHAN!" (Mzm. 27:1,7-9abc,13-14)

Minggu, 24 Februari 2013

Romo Ignatius Sumarya, SJ