“Hal Kerajaan itu seumpama biji sesawi yang ditaburkan di tanah” (Ibr 10:32-39; Mzm 37:3-6; Mrk 4:26-34)

 “ Lalu kata Yesus: "Beginilah hal Kerajaan Allah itu: seumpama orang yang menaburkan benih di tanah, lalu pada malam hari ia tidur dan pada siang hari ia bangun, dan benih itu mengeluarkan tunas dan tunas itu makin tinggi, bagaimana terjadinya tidak diketahui orang itu. Bumi dengan sendirinya mengeluarkan buah, mula-mula tangkainya, lalu bulirnya, kemudian butir-butir yang penuh isinya dalam bulir itu. Apabila buah itu sudah cukup masak, orang itu segera menyabit, sebab musim menuai sudah tiba." Kata-Nya lagi: "Dengan apa hendak kita membandingkan Kerajaan Allah itu, atau dengan perumpamaan manakah hendaknya kita menggambarkannya? Hal Kerajaan itu seumpama biji sesawi yang ditaburkan di tanah. Memang biji itu yang paling kecil dari pada segala jenis benih yang ada di bumi. Tetapi apabila ia ditaburkan, ia tumbuh dan menjadi lebih besar dari pada segala sayuran yang lain dan mengeluarkan cabang-cabang yang besar, sehingga burung-burung di udara dapat bersarang dalam naungannya." Dalam banyak perumpamaan yang semacam itu Ia memberitakan firman kepada mereka sesuai dengan pengertian mereka, dan tanpa perumpamaan Ia tidak berkata-kata kepada mereka, tetapi kepada murid-murid-Nya Ia menguraikan segala sesuatu secara tersendiri” (Mrk 4:26-34), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.
 
Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

• Apa yang hidup di bumi ini: manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan, bermula dari sel yang sangat kecil dan dalam waktu yang relatif tidak lama tumbuh berkembang menjadi besar serta dapat menghasilkan buah yang sangat bermanfaat demi kelangsungan kehidupan. Itulah karya penciptaan agung Allah yang luar biasa. Demikian juga kehidupan beragama, dimana bermula dari satu orang yang menerima tugas pengutusan dari Allah menyampaikan ajaran atau pesan dari Allah, dan tidak begitu lama telah banyak orang mengikutinya. Allah yang meraja dan berkuasa memang bekerja terus-menerus tiada henti: menciptakan dan menganugerahkan pertumbuhan dan perkembangan kepada apa yang telah diciptakan-Nya. Maka dengan ini kami berharap kepada segenap umat beriman, memiliki iman sekecil apapun, kami harapkan terus-menerus mengembangkan dan memperdalam imannya. Pengembangan dan pendalaman iman dapat dilakukan dengan saling bercuhat dengan rekan seiman lain atau membaca dan merenungkan serta mencecap dalam-dalam ajaran agama yang bersangkutan, sebagaimana tertulis di dalam Kitab Suci. Memang dari diri kita dituntut keterbukaan diri yang dijiwai oleh kerendahan hati, siap sedia dan rela berkorban untuk tumbuh dan berkembang terus-menerus. Kita semua dipanggil untuk berpartisipasi dalam karya penciptaan Allah, tidak hanya beranak-cucu sebagaimana dihayati oleh mereka yang hidup berkeluarga sebagai suami-isteri, melainka mengembangkan dan memperdalam kehendak dan perintah Allah, sehingga seluruh dunia seisinya sungguh dirajai atau dikuasai oleh Allah, terutama manusia yang diciptakan sesuai dengan gambar atau citra Allah.

• “Ingatlah akan masa yang lalu. Sesudah kamu menerima terang, kamu banyak menderita oleh karena kamu bertahan dalam perjuangan yang berat, baik waktu kamu dijadikan tontonan oleh cercaan dan penderitaan, maupun waktu kamu mengambil bagian dalam penderitaan mereka yang diperlakukan sedemikian” (Ibr 10:32-33). Kutipan ini kiranya mengingatkan kita semua untuk menghargai sejarah, memang cukup memprihatinkan bahwa di sekolah-sekolah mata pelajaran sejarah kurang memperoleh perhatian yang memadai. Sebagai warganegara Indonesia kami harapkan kita mengenal dengan baik sejarah kemerdekaan Negara kita tercinta ini, dimana para pejuang kemerdekaan yang sungguh cerdas beriman telah berkorban dan mencurahkan tenaga dan darahnya demi kemerdekaan. Kepada para orangtua kami harapkan mewariskan nilai-nilai perjuangan dan pengorbanan yang diketahui maupun telah dihayati kepada anak-anaknya, bukan hanya mewariskan uang atau harta benda saja, yang dalam waktu singkat dapat binasa. Untuk itu jika orangtua sendirian saja tak mampu, baiklah mengalokasikan dana yang memadai untuk mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah. Dengan kata lain marilah kita lebih mengutamakan atau mengedepankan ‘human investment’ bukan ‘material investment’. Di dalam dunia pendidikan kami harapkan lebih mengutamakan agar para peserta didik cerdas beriman atau memiliki kecerdasan spiritual daripada kecerdasan intelektual. Pengalaman menunjukkan bahwa ketika orang memiliki kecerdasan spiritual yang unggul, maka yang bersangkutan dengan mudah dan cepat mengusahakan kecerdasan-kecerdasan lainnya yang perlu untuk hidup dan bekerja.

“Percayalah kepada TUHAN dan lakukanlah yang baik, diamlah di negeri dan berlakulah setia, dan bergembiralah karena TUHAN; maka Ia akan memberikan kepadamu apa yang diinginkan hatimu. Serahkanlah hidupmu kepada TUHAN dan percayalah kepada-Nya, dan Ia akan bertindak; Ia akan memunculkan kebenaranmu seperti terang, dan hakmu seperti siang” (Mzm 37:3-6)

Jumat, 1 Februari 2013

Romo Ignatius Sumarya, SJ