“Tidak dapat menjadi murid-Ku” (1Kor 2:1-10a; Mzm 37:3-6; Luk 14:25-33)

“ Pada suatu kali banyak orang berduyun-duyun mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya. Sambil berpaling Ia berkata kepada mereka: "Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku. Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku. Sebab siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu? Supaya jikalau ia sudah meletakkan dasarnya dan tidak dapat menyelesaikannya, jangan-jangan semua orang yang melihatnya, mengejek dia, sambil berkata: Orang itu mulai mendirikan, tetapi ia tidak sanggup menyelesaikannya. Atau, raja manakah yang kalau mau pergi berperang melawan raja lain tidak duduk dahulu untuk mempertimbangkan, apakah dengan sepuluh ribu orang ia sanggup menghadapi lawan yang mendatanginya dengan dua puluh ribu orang? Jikalau tidak, ia akan mengirim utusan selama musuh itu masih jauh untuk menanyakan syarat-syarat perdamaian.Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku” (Luk 14:25-33), demikian kutipan Warta Gembira hari ini
Berrefleksi atas bacaan-bacaan dalam rangka mengenangkan pesta St.Yohanes dari Salib hari ini, saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:
·   Salib adalah panji-panji para murid atau pengikut Yesus Kristus, maka barangsiapa percaya kepadaNya harus berani meneladanNya, yaitu siap sedia menderita sengsara dan kalau perlu mati karena setia pada iman dalam cara hidup dan cara bertindak setiap hari. Bagi yang beriman kepada Yesus Kristus, khususnya yang beragama Katolik sering membuat tanda salib dengan menepuk dahi/kepala, dada dan bahu seraya berkata “Dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus”. Hal itu berarti mau hidup dan bertindak dengan cara berpikir Yesus Kristus, berjiwa Yesus Kristus dan meneladan cara bertindakNya. Maka pertama-tama dan terutama saya mengajak anda sekalian untuk mawas diri: apa yang ada di dalam hati kita saat ini, dan apa yang sedang saya pikirkan. Apa yang ada dalam hati dan pikiran atau otak kita itulah yang akan menentukan cara hidup dan cara bertindak kita. Kami berharap kita semua senantiasa memikirkan keselamatan jiwa manusia, sebagaimana juga dipikirkan oleh Tuhan Allah. Hendaknya keselamatan jiwa manusia menjadi tolok ukur atau barometer keberhasilan hidup dan bertindak kita. Hemat saya jika kita sungguh mengutamakan keselamatan jiwa, maka kita pasti akan menghadapi banyak tantangan, masalah dan hambatan, mengingat dan memperhatikan sikap mental materialistis begitu menjiwai cara hidup dan cara bertindak kebanyakan orang masa kini. Dengan kata lain orang harus siap sedia untuk menderita dan sengsara, namun ingatlah dan sadarilah serta hayati bahwa penderitaan dan kesengsaraan yang lahir dari kesetiaan pada iman kepercayaan adalah jalan menuju ke keselamatan sejati, bahagia dan damai sejahtera sejati dan selamanya.
·   Demikianlah pula, ketika aku datang kepadamu, saudara-saudara, aku tidak datang dengan kata-kata yang indah atau dengan hikmat untuk menyampaikan kesaksian Allah kepada kamu. Sebab aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan.Aku juga telah datang kepadamu dalam kelemahan dan dengan sangat takut dan gentar.” (1Kor 2:1-3), demikian sharing iman Paulus kepada umat di Korintus, kepada kita semua khususnya yang beriman kepada Yesus Kristus. Sharing Paulus ini kiranya dapat menjadi bahan refleksi atau permenungan kita. “Aku tidak datang dengan kata-kata yang indah atau dengan hikmat untuk menyampaikan kesaksian Allah kepada kamu”, inilah kiranya yang juga harus menjadi acuan hidup kita, sebagai orang beriman. Hendaknya kita senantiasa lebih mengutamakan atau mengedepankan tindakan atau periaku daripada kata-kata atau omongan yang indah. Keunggulan hidup beriman terletak dalam perilaku atau tindakan, bukan dalam wacana atau omongan. Semoga cara bertindak atau perilaku kita dimana pun dan kapan pun baik adanya, artinya tidak pernah mengecewakan, melecehkan dan merendahkan orang lain, melainkan membahagiakan dan menyelamatkan, terutama keselamatan jiwa manusia, entah jiwa kita sendiri maupun jiwa orang yang kena dampak cara bertindak atau perilaku kita. Kutipan di atas juga mengingatkan dan mengajak kita semua bahwa dalam rangka ‘berdakwah’ atau melaksanakan tugas missioner lebih mengutamakan tindakan atau perilaku, bukan wacana atau omongan. Dengan kata lain kesaksian atau keteladanan hidup beriman sungguh penting dan mutlak dalam rangka melaksanakan tugas missioner.
Percayalah kepada TUHAN dan lakukanlah yang baik, diamlah di negeri dan berlakulah setia, dan bergembiralah karena TUHAN; maka Ia akan memberikan kepadamu apa yang diinginkan hatimu. Serahkanlah hidupmu kepada TUHAN dan percayalah kepada-Nya, dan Ia akan bertindak;Ia akan memunculkan kebenaranmu seperti terang, dan hakmu seperti siang” (Mzm 37:3-6)
Jumat, 14 Desember 2012

Romo Ignatius Sumarya, SJ