"Kembali sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring." (Tit 3:1-7; Mzm 23:1-4; Luk 17:11-19)

"Dalam perjalanan-Nya ke Yerusalem Yesus menyusur perbatasan Samaria dan Galilea. Ketika Ia memasuki suatu desa datanglah sepuluh orang kusta menemui Dia. Mereka tinggal berdiri agak jauh dan berteriak: "Yesus, Guru, kasihanilah kami!" Lalu Ia memandang mereka dan berkata: "Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam-imam." Dan sementara mereka di tengah jalan mereka menjadi tahir. Seorang dari mereka, ketika melihat bahwa ia telah sembuh, kembali sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring, lalu tersungkur di depan kaki Yesus dan mengucap syukur kepada-Nya. Orang itu adalah seorang Samaria. Lalu Yesus berkata: "Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah menjadi tahir? Di manakah yang sembilan orang itu? Tidak adakah di antara mereka yang kembali untuk memuliakan Allah selain dari pada orang asing ini?" Lalu Ia berkata kepada orang itu: "Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau."(Luk 17:11-19), demikian kutipan Warta Gembira hari ini
   
Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

· Yesus termasuk orang Yahudi, dan orang Yahudi pada umumnya memandang rendah orang-orang Samaria, karena orang-orang Yahudi merasa diri sebagai bangsa yang terpilih oleh Allah. Dalam warta gembira hari ini dikisahkan orang-orang Samaria yang mohon belas kasih Yesus guna penyembuhan mereka dari sakit. Dengan belas kasih Yesus menanggapi mereka dan karena iman mereka, maka mereka pun menjadi sembuh. Cukup menarik bahwa ada sepuluh orang yang disembuhkan dan hanya satu orang yang kembali kepada Yesus dan bersembah sujud kepada-Nya kuntuk menghaturkan terima kasih dan syukur, dan kepadanya Yesus bersabda: "Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau". Hal ini kiranya menjadi pelajaran bagi kita semua, segenap umat beriman: bersyukur dan berterima kasih ketika kita menerima sesuatu yang membuat diri kita semakin beriman, hidup sejahtera, segar-bugar dst.. Pertama-tama marilah kita sadari dan hayati bahwa jika kita sungguh dapat beriman tidak lain karena anugerah Allah, maka hendaknya kita senantiasa hidup penuh syukur dan terima kasih. Hendaknya syukur dan terima kasih ini dididikkan atau dibiasakan pada anak-anak di dalam keluarga, tentu pertama-tama anak-anak harus bersyukur dan berterima kasih kepada orangtua, khususnya ibu yang telah mengandung dan melahirkan, menyusui dan mengasihi kita tanpa batas. Kami percaya bahwa ketika kita menerima sesuatu dari orang lain secara singkat dan sederhana kita mengatakan terima kasih, maka semoga hal itu tidak hanya menjadi basa-basi atau formalitas belaka, melainkan sungguh menjiwai cara hidup dan cara bertindak kita dimana pun dan kapan pun; hidup dan bertindak dijiwai oleh terima kasih.

· "Ingatkanlah mereka supaya mereka tunduk pada pemerintah dan orang-orang yang berkuasa, taat dan siap untuk melakukan setiap pekerjaan yang baik. Janganlah mereka memfitnah, janganlah mereka bertengkar, hendaklah mereka selalu ramah dan bersikap lemah lembut terhadap semua orang. Karena dahulu kita juga hidup dalam kejahilan: tidak taat, sesat, menjadi hamba berbagai-bagai nafsu dan keinginan, hidup dalam kejahatan dan kedengkian, keji, saling membenci." (Tit 3:1-3). Kita semua diingatkan agar jangan saling memfitnah dan bertengkar, melainkan hendaknya saling bersikap ramah dan lemah lembut dalam cara hidup dan cara bertindak kita dimana pun dan kapan pun. Dalam hal ramah dan lemah lembut ini kami percaya bahwa para ibu memiliki pengalaman mendalam, yaitu ramah dan lemah lembut kepada anak-anak yang telah dikandung dan dilahirkannya. Maka dengan ini kami berharap pengalaman tersebut terus diperdalam dan diperkembangkan serta disebarluaskan, pertama-tama kepada segenap anggota keluarga dan kemudian meluas ke siapapun yang dijumpai dalam hidup dan kerja sehari-hari. Konon ada keyakinan bahwa orang-orang Jawa pada umumnya ramah dan lemah lembut, tetapi sejauh saya ketahui ternyata hal itu merupakan didikan atau binaan para raja, dimana ketika raja lewat maka warga harus menunduk, tak boleh menengadah sebagai tanda keramahan dan kelemah-lembutan kepada sang raja. Dalam kenyataan sehari-hari ternyata semua manusia, suku dan bangsa sama saja: ramah dan lemah lembut ketika menerima sesuatu yang menyenangkan, tetapi ketika menerima sesuatu yang tidak menyenangkan mudah menjadi kasar dan kejam. Hemat saya keramahan dan kelemah-lembutan perlu dilatih dan dibiasakan terus-menerus, tidak hanya dalam acara resmi atau adat dan formal belaka. Para pemimpin atau siapapun yang berpengaruh dalam hidup bersama kami harapkan dapat menjadi teladan dalam hidup ramah dan lemah-lembut.

"TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya. Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku." (Mzm 23:1-4)


Rabu, 14 November 2012



Romo Ignatius Sumarya, SJ