“Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Ul 6:2-6; Mzm 18:2-4; Ibr 7:23-28; Mrk 12:28b-34)



Entah ada berapa undang-undang, peraturan pemerintah, aturan pelaksanaan peraturan atau undang-undang dst.. kiranya tidak semua hafal, dan mungkin hanya segelintir orang yang hafal. Memang orang dengan mudah membuat dan mengundangkan aneka aturan dan tata tertib, namun apakah yang membuat dan mengundangkannya juga menghayati atau melaksanakannnya, kiranya boleh dipertanyakan. Kalau yang  membuat dan mengundangkan saja tidak menghayati atau tidak melaksanakan, apalagi warga masyarakat. Para pembuat tata tertib dan aturan itu hemat saya seperti orang-orang Farisi dan Saduki yang mencobai Yesus: tahu perihal tata tertib atau aturan tetapi tak pernah melaksanakan atau menghayatinya. Maka marilah kita hayati atau laksanakan hukum sebagaimana diwartakan hari ini.
 
“Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini.” (Mat 12:30-31)
 
Ajaran perihal saling mengasihi hemat saja diajarkan oleh semua agama atau orang beriman. Kutipan di atas ini mengajak dan mengingatkan kita semua hendaknya dalam saling mengasihi dengan ‘segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi dan segenap kekuatan’. Segenap berarti secara utuh atau total, dan kalau tidak genap berarti ganjil alias yang bersangkutan sedang menderita sakit, yaitu sakit hati, sakit jiwa, sakit akal budi atau sakit kekuatan atau tubuhnya. Orang yang sedang menderita sakit memang akan mengalami kesulitan dalam saling mengasihi, seperti orang Farisi dan Saduki hemat saya juga sedang menderita sakit, paling tidak sakit hati, dan sakit hati memang sulit disembuhkan atau bahkan dibawa sampai mati. 
 
Perintah atau ajaran perihal kasih di atas hemat saya paling kentara atau dapat dilihat dalam diri suami-isteri yang sungguh saling mengasihi baik dalam untung maupun malang, sehat maupun sakit. Bukankah para suami-isteri telah saling mengasihi dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi dan segenap kekuatan atau tubuh, yang antara lain memuncak dalam pengalaman yang sangat mengesan, yaitu dalam persetubuhan atau hubungan seksual. Dalam saling mengasihi keduanya dalam keadaan telanjang bulat tiada malu sedikitpun. Maka marilah kita meneladan kasih macam itu, yaitu dalam ‘ketelanjangan’ artinya dalam kejujuran dan ketulusan hati, sehingga tiada sedikitpun dari diri kita yang disembunyikan, tetapi semuanya dibuka secara jelas dan total. 
 
Jika kita sebagai manusia dapat saling mengasihi maka kiranya dengan mudah kita akan mengasihi Tuhan alias bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan dalam dan melalui cara hidup dan cara bertindak kita setiap hari dimana pun dan kapan pun. Kita semua telah menerima kasih Tuhan secara melimpah ruah melalui sekian banyak orang yang mengasihi dan memperhatikan kita, maka mengasihi Tuhan hemat saya berarti lebih bersyukur dan berterima kasih kepadaNya. Mengasihi Allah dan mengasihi sesama manusia hemat saya tidak banyak bedanya atau bahkan tak mungkin dipisahkan, maka jika kita benar-benar mengasihi Allah berarti juga mengasihi manusia, demikian juga ketika kita dalam hidup sehari-hari sungguh mengasihi manusia berarti juga mengasihi Allah. Itulah artinya hidup beriman atau beragama tak mungkin dapat dipisahkan, maka mereka yang memisahkan atau membedakan hemat saya adalah orang munafik.
 
Panggilan untuk mengasihi sasama masa kini hemat saya sungguh mendesak dan up to date untuk kita hayati  dan sebarluaskan, mengingat dan memperhatikan aneka bentuk permusuhan, pertentangan dan tawuran masih marak di sana-sini dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan permusuhan dan kebencian dalam keluarga, antar suami-isteri, kakak-adik dst.. juga masih terjadi. Kami juga mengajak dan mengingatkan mereka yang pakar dalam hal tata tertib dan aturan dapat menjadi teladan dalam pelaksanaan atau penghayatan saling mengasihi, karena tata tertib maupun aturan dibuat dan diberlakukan demi kasih. Dekati dan sikapi aneka tata tertib dan aturan dalam dan oleh kasih, karena dengan demikian akan enak dan nikmat mentaati dan melaksanakan tata tertib atau aturan. 
 
“Dan dalam jumlah yang besar mereka telah menjadi imam, karena mereka dicegah oleh maut untuk tetap menjabat imam. Tetapi, karena Ia tetap selama-lamanya, imamat-Nya tidak dapat beralih kepada orang lain. Karena itu Ia sanggup juga menyelamatkan dengan sempurna semua orang yang oleh Dia datang kepada Allah. Sebab Ia hidup senantiasa untuk menjadi Pengantara mereka.” (Ibr 7:23-25)
Yesus adalah Imam Agung, “menyelamatkan dengan sempurna semua orang yang oleh Dia datang kepada Allah”. Maka marilah sebagai umat beriman kita senantiasa dengan rendah hati berusaha menghadap Allah, dan tentu saja kita hendaknya dalam keadaan baik, suci dan tidak berdosa. Kepada mereka yang masih dalam keadaan dosa atau tidak bersih kami ajak untuk membersihkan diri, minta kasih pengampunan dari Allah maupun saudara-saudari kita yang telah kita lukai dengan dosa-dosa atau kata-kata dan tindakan yang tidak baik.
 
Ketika kita telah menerima kasih pengampunan alias menjadi bersih atau suci kembali, maka kita diutus untuk menjadi ‘pengantara Allah dan manusia’, yang berarti dari pihak Allah menjadi penyalur rahmat atau berkat Allah kepada manusia, dan sebaliknya menjadi penyalur dambaan, kerinduan, doa, cita-cita manusia kepada Allah. Cirikhas pengantara atau penyalur antara lain: jujur, disiplin, cekatan, serta pada waktunya melaporkan apa yang telah dikerjakan atau dilakukan. Yang tidak kalah penting adalah cirikhas ‘tidak menyeleweng atau berselingkuh’. Marilah kita menjadi pribadi yang menarik, mempesona dan memikat orang, sehingga yang bersangkutan tergerak untuk menghadap Allah, membaktikan diri sepenuhnya kepada Allah.
 
Maka dengarlah, hai orang Israel! Lakukanlah itu dengan setia, supaya baik keadaanmu, dan supaya kamu menjadi sangat banyak, seperti yang dijanjikan TUHAN, Allah nenek moyangmu, kepadamu di suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya.Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan” (Ul 6:3-6). Yang dimaksudkan dengan ‘Israel’ di sini tidak lain adalah ‘orang pilihan dan kekasih Allah’. Kita semua sebagai orang beriman adalah ‘pilihan atau kekasih Allah’, maka marilah kita senantiasa mengasihi-Nya ‘dengan segenap hati, segenap jiwa dan segenap kekuatan’. Hal ini kiranya dapat kita hayati ketika kita sedang berdoa, maka ketika sedang berdoa hendaknya sungguh berdoa dengan khusuk atau berkonsentrasi, lebih ketika berpartisipasi dalam ibadat bersama atau bagi orang Katolik dalam Perayaan Ekaristi.
 
Berdoa adalah berhubungan dengan Allah dalam kasih, dan karena Allah ‘maha segalanya’, maka berhubungan atau berrelasi dengan-Nya mau tak mau kita pasti akan dikuasai atau dirajai-Nya, dengan kata lain mau tak mau harus melaksanakan semua perintah dan kehendak Allah dalam dan melalui cara hidup dan cara bertindak kita setiap hari dimana pun dan kapan pun. Karena Allah hadir di mana-mana, maka kapan saja dan dimana saja kita dapat berdoa. Kepada mereka yang akan mengadakan perjalanan kami harapkan berdoa lebih dahulu agar selamat di perjalanan dan akhirnya sampai ke tujuan. Hidup kita juga merupakan perjalanan, maka kami harapkan begitu bangun pagi, dan dalam keadaan bugar, kami harapkan berdoa singkat sejenak untuk bersyukur dan berterima kasih kepada Allah, yang telah menganugerahi kehidupan. 
 
"Aku mengasihi Engkau, ya TUHAN, kekuatanku!Ya TUHAN, bukit batuku, kubu pertahananku dan penyelamatku, Allahku, gunung batuku, tempat aku berlindung, perisaiku, tanduk keselamatanku, kota bentengku!Terpujilah TUHAN, seruku; maka aku pun selamat dari pada musuhku” (Mzm 18:2-4)
 
Minggu, 4 November 2012     
 
Romo Ignatius Sumarya, SJ