HOMILI: Hari Minggu Biasa XXXII ( 1Raj 17:10-16; Mzm 146:7.8-9a.9bc-10; Ibr 9:24-28; Mrk 12: 38-44)

"Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan.”
Ketika saya ditahbiskan menjadi imam kurang lebih 29 tahun yang lalu, saya ditawari untuk mempersembahkan Perayaan Ekaristi pertama kali bagi umat paroki saya oleh pastor paroki. Saya ditawari untuk mempersembahkan di gereja induk, paroki Wedi, atau di kapel stasi Gondang, yang sekarang sudah menjadi paroki sendiri. Dan saya cenderung memilih di kapel stasi. Mendengar pilihan ini pastor paroki memberi penjelasan bahwa kondisi kapel stasi Gondang sedang amburadul karena sedang direnovasi. Mendengar penjelasan tersebut saya jawab bahwa tidak apa-apa, toh zaman Yesus dulu ketika mengadakan perjamuan malam terakhir juga di tempat yang sangat sederhana. Pilihan saya disetujui dan kemudian diinformasikan ke umat stasi Gondang pada umumnya dan secara khusus kepada umat wilayah Sumyang, desa asal saya. Sungguh pengalaman yang mengesan bahwa ketika umat wilayah mendengar hal itu, umat kemudian bergotong-royong untuk menyelesaikan renovasi kapel dalam waktu satu minggu (maklum mayoritas umat desa saya bekerja sebagai ‘tukang batu’, buruh bangunan, termasuk bapak saya). Mereka bergotong-royong dari pagi hari sampai malam, yang berarti mereka tidak bekerja selama seminggu, tidak memperoleh pendapatan selama seminggu. Bukankah mereka bagaikan janda miskin, yang dikisahkan dalam warta gembira hari ini, “yang memberi lebih banyak dari semua orang”. Maka kami mengajak anda sekalian untuk merenungkan sabda Yesus di bawah ini.
"Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya." (Mrk 12:43-44)
Persembahan kepada Tuhan dalam bentuk apapun merupakan symbol persembahan diri kepada Tuhan. Maka dengan ini kami mengingatkan dan mengajak anda sekalian untuk meneladan janda miskian di atas, yaitu bukan memberi persembahan dari kelebihan, melainkan dari kekurangan. Memberi dari kelebihan hemat kami bagaikan membuang sampah, dengan kata lain memperlakukan si penerima pemberian sebagai ‘tempat sampah’ alias melecehkan atau merendahkan harkat martabat manusia, melanggar hak azasi manusia. Orang yang memberi persembahan atau sumbangan yang demikian itu berarti orang pelit dan tidak sosial.  
Orang yang bersikap mental ‘memberi dari kelimpahan’ pada umumnya ketika diberi tugas pekerjaan juga tak pernah selesai pada waktunya atau sekiranya selesai pasti selesai pada detik terakhir atau ‘deathline’. Sebagai orang beriman yang berarti mempersembahkan diri seutuhnya kepada Tuhan, marilah kita tanpa syarat sungguh mempersembahkan diri kepadaNya dalam atau melalui cara hidup dan cara bertindak kita sejak sadar bangun pagi sampai menjelang istirahat malam, bahkan selama istirahat atau tidur pun hendaknya juga pasrah diri sepenuhnya kepada-Nya, sehingga dapat tidur nyenyak dan ketika bangun menjadi segar bugar.
Kami berharap kepada orang-orang kaya akan harta benda dan uang tidak pelit dalam hal memberi sumbangan atau persembahan. Ingatlah dan hayati bahwa kekayaan anda tidak pernah terlepas dari orang-orang yang membantu anda dalam berkarya, misalnya para pegawai atau buruh, demikian juga peran konsumen produk usaha anda juga sangat membantu perolehan kekayaan atau uang anda. Sebagai contoh produk mie instant atau rokok, yang pada umumnya konsumennya adalah orang-orang miskin atau pedesaan dan pegunungan. Anda dapat menaikkan harga seenaknya dan para konsumen pun akan tetap membelinya. Maka ingatlah orang-orang miskin, pedesaan dan pegunungan. Demikian juga kami berharap kepada para pejabat atau petinggi pemerintahan, entah yang ada di badan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif untuk mengingat dan menyadari bahwa anda harus melayani rakyat, dan gaji atau imbal jasa yang anda terima berasal dari pemasukan pajak, yang juga tak terlepas dari peran orang-orang miskin, pedesaan, pegunungan yang menjadi konsumen produk aneka usaha. Semoga anda yang duduk atau berkarya dalam pemerintahan tidak melakukan korupsi atau cari enaknya sendiri.
Elia berkata kepadanya: "Janganlah takut, pulanglah, buatlah seperti yang kaukatakan, tetapi buatlah lebih dahulu bagiku sepotong roti bundar kecil dari padanya, dan bawalah kepadaku, kemudian barulah kaubuat bagimu dan bagi anakmu. Sebab beginilah firman TUHAN, Allah Israel: Tepung dalam tempayan itu tidak akan habis dan minyak dalam buli-buli itu pun tidak akan berkurang sampai pada waktu TUHAN memberi hujan ke atas muka bumi." Lalu pergilah perempuan itu dan berbuat seperti yang dikatakan Elia; maka perempuan itu dan dia serta anak perempuan itu mendapat makan beberapa waktu lamanya.Tepung dalam tempayan itu tidak habis dan minyak dalam buli-buli itu tidak berkurang seperti firman TUHAN yang diucapkan-Nya dengan perantaraan Elia.” (1Raj 17:13-16)
Kutipan di atas ini kiranya dapat menjadi inspirasi bagi kita semua dalam hal memberi sumbangan atau persembahan atau dalam kehidupan bersama kita dengan siapapun dan dimana pun. Kita diharapkan senantiasa untuk mendahulukan orang lain maupun memperhatikan para pelayan umat atau gembala umat. Dalam hal ini kami percaya rekan-rekan ibu sebagai perempuan pasti memiliki pengalaman dalam hal mendahulukan yang lain, misalnya anak-anaknya, yang dianugerahkan oleh Tuhan. Saya pribadi memiliki pengalaman yang mengesan terhadap ibu atau ‘simbok’ saya, dimana ketika memperoleh rezeki berupa makanan senantiasa anak-anaknya yang pertama-tama harus menikmatinya atau mengkosumsi, dan jika perlu ibu saya sama sekali tidak mencicipinya alias berpuasa atau matiraga.
Kepedulian atau kepekaan kepada yang lain kiranya perlu dididikkan atau dibiasakan pada anak-anak di dalam keluarga, sehingga ketika mereka tumbuh berkembang menjadi orang dewasa akan menjadi pribadi yang peduli atau peka terhadap orang lain. Jika dicermati dalam hidup sehari-hari kiranya harus diakui bahwa pembinaan kepedulian atau kepekaan kepada orang lain dalam diri anak-anak kurang memperoleh perhatian yang memadai, ada kecenderungan generasi muda masa kini bersikap mental egois, kurang atau tidak peduli pada orang lain maupun lingkungan hidupnya. Hal ini kami cermati juga di antara para seminaris di Seminari Menengah Mertoyudan. Ada kemungkinan hal ini disebabkan oleh korban keluarga berencana, yang difahami secara sempit yaitu pembatasan kelahiran: satu atau dua anak cukup. Jika dalam keluarga hanya ada satu atau dua anak pasti ada kecenderungan untuk memanjakan anak-anak dan kemudian anak-anak tumbuh berkembang menjadi orang yang egois.
Memang pada masa lalu pada umumnya di dalam keluarga tidak hanya satu atau dua anak saja, tetapi empat atau lebih. Memang dalam hal memenuhi kebutuhan fisik atau financial sungguh berat dan penuh dengan tantangan, namun demikian ada suatu pengalaman menarik dan tak terlupakan, yaitu secara otomatis terjadi pembinaan kepedulian atau social pada diri anak-anak, antar kakak-adik. Pengalaman saling memperhatikan antar kakak-adik inilah yang kemudian akan menjadi modal untuk terus diperkembangkan dan diperdalam dalam kehidupan bersama yang lebih luas, di dalam masyarakat maupun tempat kerja.Dan sama seperti manusia ditetapkan untuk mati hanya satu kali saja, dan sesudah itu dihakimi,demikian pula Kristus hanya satu kali saja mengorbankan diri-Nya untuk menanggung dosa banyak orang. Sesudah itu Ia akan menyatakan diri-Nya sekali lagi tanpa menanggung dosa untuk menganugerahkan keselamatan kepada mereka, yang menantikan Dia.” (Ibr 9:27-28). Kutipan ini kiranya dapat menjadi inspirasi bagi siapapun yang beriman keapda Yesus Kristus, yaitu “mengorbankan diri untuk menanggung dosa banyak orang”
“Yang menegakkan keadilan untuk orang-orang yang diperas, yang memberi roti kepada orang-orang yang lapar. TUHAN membebaskan orang-orang yang terkurung, TUHAN membuka mata orang-orang buta, TUHAN menegakkan orang yang tertunduk, TUHAN mengasihi orang-orang benar. TUHAN menjaga orang-orang asing, anak yatim dan janda ditegakkan-Nya kembali, tetapi jalan orang fasik dibengkokkan-Nya. TUHAN itu Raja untuk selama-lamanya, Allahmu, ya Sion, turun-temurun! Haleluya” (Mzm 146:7-10)

Minggu, 11 November 2012


Romo Ignatius Sumarya, SJ