“Ia memanggil domba-dombanya menurut namanya dan menuntunnya ke luar” (Kis 11:1-18; Mzm 42:2-3,43:3-4; Yoh 10:1-10)


 "Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya siapa yang masuk ke dalam kandang domba dengan tidak melalui pintu, tetapi dengan memanjat tembok, ia adalah seorang pencuri dan seorang perampok; tetapi siapa yang masuk melalui pintu, ia adalah gembala domba. Untuk dia penjaga membuka pintu dan domba-domba mendengarkan suaranya dan ia memanggil domba-dombanya masing-masing menurut namanya dan menuntunnya ke luar. Jika “semua dombanya telah dibawanya ke luar, ia berjalan di depan mereka dan domba-domba itu mengikuti dia, karena mereka mengenal suaranya. Tetapi seorang asing pasti tidak mereka ikuti, malah mereka lari dari padanya, karena suara orang-orang asing tidak mereka kenal." Itulah yang dikatakan Yesus dalam perumpamaan kepada mereka, tetapi mereka tidak mengerti apa maksudnya Ia berkata demikian kepada mereka. Maka kata Yesus sekali lagi: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya Akulah pintu ke domba-domba itu. Semua orang yang datang sebelum Aku, adalah pencuri dan perampok, dan domba-domba itu tidak mendengarkan mereka. Akulah pintu; barangsiapa masuk melalui Aku, ia akan selamat dan ia akan masuk dan keluar dan menemukan padang rumput. Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.” (Yoh 10:1-10), demikian kutipan Warta Gembira hari ini
Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:
·   Warta Gembira hari ini sedikit banyak meneruskan atau memperdalam warta gembira kemarin. Perumpamaan periha gembala sebagaimana dikisahkan dalam kutipan di atas hemat saya bagus sekali untuk direnungkan dan dicecap dalam-dalam oleh siapapun yang berprofesi sebagai pemimpin, guru atau pendidik, pendamping dst.. dalam kehidupan bersama apapun. “Cura personalis” (= pemeliharaan atau perawatan secara pribadi), demikian salah satu semangat Ignatian yang kiranya sangat bagus untuk mewujudkan panggilan sebagai gembala baik yang “memanggil domba-dombanya masing-masing menurut namanya dan menuntunnya ke luar. Para orangtua kiranya mengenal cukup baik anak-anak yang dianugerahkan oleh Tuhan bagi mereka, maka kami harapkan dalam semangat cintakasih dan kebebasan Injili mendidik dan mendampingi anak-anak demi kebahagiaan dan kesejahteraan anak-anak di masa depan. Dalam dan dengan semangat cintakasih pula kami dambakan kepada para guru atau pendidik dalam mendidik dan mendampingi para peserta didik, selain itu hendaknya guru atau pendidik juga mengenal dengan baik semua peserta didik yang dipercayakan oleh orangtuanya untuk dididik dan dibina lebih lanjut. Hendaknya juga dihayati motto bapak pendidikan kita Ki Hajar Dewantara, yaitu “ing arso asung tulodho, ing madyo ambangun karso, tut wuri handayani”.  Kepada para pemimpin atau atasan dalam hidup dan kerja bersama dalam bentuk apapun kami harapkan sungguh mengenal para pembantu atau anak buahnya. “Tak kenal tak sayang”, demikian kata sebuah pepatah, yang berarti semakin mengenal akan semakin menyayangi. Marilah kita ‘tuntun’ anak-anak, peserta didik, bawahan atau anggota, menuju ke tempat yang menyuburkan dan menyehatkan kehidupan phisik maupun spiritual.
·   Ketika mereka mendengar hal itu, mereka menjadi tenang, lalu memuliakan Allah, katanya: "Jadi kepada bangsa-bangsa lain juga Allah mengaruniakan pertobatan yang memimpin kepada hidup." (Kis 11:18). Warta Gembira atau karya penyelamatan yang menuntut pertobatan memang tidak terbatas pada suku dan bangsa tertentu, melainkan bagi seluruh umat manusia di bumi ini, tanpa pandang bulu. Maka kepada segenap umat katolik kami harapkan di dalam hidup bermasyarakat dapat menjadi saksi keselamatan atau warta gembira bagi segenap warga masyarakat. Demikian juga kepada para pegawai atau pekerja katolik di perusahaan atau kantor kami harapkan juga dapat  menjadi saksi keselamatan dan warta gembira. Tentu saja kita sendiri senantiasa bertobat terus-menerus, artinya siap sedia untuk terus-menerus diperbaharui sesuai dengan perkembangan tuntutan zaman. Kiranya kita semua dapat belajar atau bercermin pada para misionaris yang dengan penuh pengorbanan serta pelayanan telah meninggalkan tanah tumpah darahnya guna mewartakan kabar baik atau karya penyelamatan ke tempat yang jauh. Memang mewartakan karya penyelamatan butuh pengorbanan dan pelayanan, sebagaimana juga telah dilakukan Sang Penyelamat yang telah melepaskan kebesaranNya (ke –Allah-an-Nya) mendatangi umat manusia di bumi ini. Kami berharap semangat berkorban dan melayani sedini mungkin dididikkan atau dibiasakan pada anak-anak di dalam keluarga dengan teladan konkret dari para orangtua. Saling melayani dan berkorban hendaknya terjadi dalam hidup berkeluarga, dihayati oleh seluruh anggota keluarga.
Seperti rusa yang merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya Allah. Jiwaku haus kepada Allah, kepada Allah yang hidup. Bilakah aku boleh datang melihat Allah?”
(Mzm 42:2-3)

Senin, 30 April 2012  


Romo Ignatius Sumarya, SJ