HOMILI: Hari Raya St Yusuf Suami St Perawan Maria (2Sam 7:4-5a,12-14a,16; Mzm 89:2-3,4-5,27,29; Rm 4:13,16-18,22; Mat 1:16,18-21,24a)

"Yusuf, anak Daud, janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai isterimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus” .

Yusuf adalah keturunan Daud, orang sederhana dan hidup sebagai tukang kayu. Sebagaimana tukang kayu pada umumnya memang harus hidup sederhana, pendapatan atau imbal jasa yang diterimanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sangat tergantung dari orang yang lain akan memberi pekerjaan. Maka cirikhas seorang tukang kayu yang baik adalah senantiasa menggantungkan diri pada kebaikan dan kemurahan hati Allah melalui orang-orang yang memberi tugas atau pekerjaan kepadanya. Seorang tukang kayu yang baik juga senantiasa berusaha mengerjakan tugas atau pesanan sebaik mungkin, agar hasil karya atau kerjanya memuaskan dan membahagiakan orang lain dan kemudian orang yang bersangkutan akan memberi pekerjaan kepadanya lagi atau mungkin akan menceriterakan kepada teman dan kenalannya perihal sang tukang kayu yang baik tersebut serta menganjurkan untuk ‘memakai’ tukang kayu tersebut jika memiliki kebutuhan yang terkait dengan kayu. Yusuf juga dikenal sebagai orang baik, suci dan mulia, antara lain tidak pernah mengecewakan atau mencemarkan nama baik orang lain. Sebagai keturunan Daud ia dipilih oleh Allah untuk berpartisipasi dalam pemenuhan janji-Nya, yaitu menyelamatkan dunia; ia dipanggil untuk mengambil Maria, sebagai isterinya, yang telah mengandung karena atau dari Roh Kudus. Maka dalam rangka mengenangkan pesta St Yusuf hari ini saya mengajak anda sekalian untuk mawas diri dengan cermin St.Yusuf.

"Yusuf, anak Daud, janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai isterimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus.” (Mat 1:20).

Allah telah berjanji kepada Raja Daud bahwa kerajaannya akan kekal dan menjadi besar serta akan sangat berpengaruh di dunia. Janji yang dimaksudkan tidak lain adalah bahwa Allah akan mendatangi manusia dengan menjadi manusia seperti kita kecuali dalam hal dosa, yaitu Pribadi Kedua, Allah Putera, yang diutus untuk memenuhi janji-Nya. Allah telah memilih Maria, gadis sederhana, untuk menjadi pekerjasama dalam pemenuhan janji-Nya dengan mengandung seorang anak dari Roh Kudus. Maria tidak termasuk dalam keturunan Daud, maka Allah minta Yusuf, keturunan Daud, untuk mengambil Maria sebagai isterinya, dan dengan demikian anak yang dikandung Maria menjadi ‘keturunan Daud’ secara yuridis.

Yesus, Sang Penyelamat Dunia, yang lahir dari rahim Maria, adalah manusia dan sekaligus juga Allah, secara yuridis Ia adalah keturunan Daud, tetapi de facto Ia dikandung Maria karena Roh Kudus, maka Ia juga tetap Allah. Memang apa yang terjadi sulit dipahami oleh pikiran atau otak kita yang serba terbatas dan hanya dapat diimani. Sebagai orang beriman kita dipanggil untuk meneladan Yusuf, yang tidak takut mengambil Maria sebagai isterinya, alias memasukkannya dalam kalangan kaum terpilih oleh Allah. Kita dipanggil untuk menarik dan mengajak saudara-saudari kita bergabung ke dalam paguyuban umat beriman, berpartisipasi dalam aneka kegiatan umat beriman.

Hendaknya kita jangan takut untuk mendekati, mengajak dan merangkul saudara-saudari kita yang kurang atau tidak beriman menjadi semakin beriman. Secara konkret hal itu berarti mendekati saudara-saudari kita yang berdosa untuk diajak bertobat atau memperbaharui diri. Kesatuan atau kebersamaan hidup umat beriman atau beragama tidak diikat oleh suku, ras atau keturunan melainkan oleh iman atau ajaran agamanya. Marilah kita ingat dan kenangkan bahwa agama-agama muncul melalui seorang di suatu tempat atau suku tertentu, namun dalam kenyataan saat ini pengikut agama tertentu terdiri dari aneka suku dan bangsa. Marilah kita dalam dan dengan semangat iman hidup bermasyarakat, berbangsa, bernegara; kita hayati aneka aturan dan tata tertib hidup bersama dalam dan dengan iman. Aneka tata tertib dan aturan hemat saya dibuat dan diberlakukan atau diundangkan dengan maksud atau tujuan agar siapapun yang setia melaksanakan aturan atau tata tertib tersebut semakin beriman, semakin membaktikan diri seutuhnya kepada Allah, semakin suci, semakin dikasihi oleh Allah dan sesamanya.

“Karena itulah kebenaran berdasarkan iman supaya merupakan kasih karunia, sehingga janji itu berlaku bagi semua keturunan Abraham, bukan hanya bagi mereka yang hidup dari hukum Taurat, tetapi juga bagi mereka yang hidup dari iman Abraham. Sebab Abraham adalah bapa kita semua, -- seperti ada tertulis: "Engkau telah Kutetapkan menjadi bapa banyak bangsa" -- di hadapan Allah yang kepada-Nya ia percaya, yaitu Allah yang menghidupkan orang mati dan yang menjadikan dengan firman-Nya apa yang tidak ada menjadi ada. Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Abraham berharap juga dan percaya, bahwa ia akan menjadi bapa banyak bangsa, menurut yang telah difirmankan: "Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu." (Rm 4:16-18)

Sebagai orang beriman kita semua adalah keturunan Abraham, bapa umat beriman, bukan secara fisik melainkan secara spiritual, bukan karena usaha atau jerih payah kita melainkan karena kasih karunia Allah. “Sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Abraham berharap dan percaya”, demikian dikatakan perihal bapa Abraham. Harapan dan percaya merupakan keutamaan umat beriman, yang harus dihayati dan disebarluaskan.

Apa yang menjadi harapan memang tak kelihatan atau belum jelas, kalau kelihatan dan sudah jelas berarti bukan harapan atau tidak dapat menjadi harapan lagi. Sebagai contoh: dari jauh dan ada di depan kelihatan seorang gadis berbaju merah, maka sang jejaka tergerak untuk mendekatinya dengan harapan gadis tersebut pasti cantik, mempesona dan menarik. Namun begitu didekati ternyata hanya baju merahnya yang menarik, sedangkan wajah dan postur tubuh sang gadis tersebut ternyata tak cantik dan tak mempesona. Anda semua kiranya memiliki harapan yang menggairahkan, maka hendaknya kerja keras tanpa kenal lelah mewujudkan apa yang menjadi harapan agar menajadi kenyataan. Secara konkret kami berharap kepada para pelajar atau mahasiwa untuk belajar sungguh-sungguh, agar sukses dalam belajar, demikian juga para pekerja sungguh bekerja keras agar sukses dalam kerja.

Percaya juga berarti mengandalkan diri pada apa yang belum kita lihat atau saksikan dengan mata kepada sendiri. Dalam hal percaya ini kiranya kita semua mempunyai banyak pengalaman konkret, misalnya ketika masih anak-anak kita diberi ceritera oleh orangtua atau ibu kita dengan mudah kita mempercayai apa yang ia ceriterakan, kita percaya kepada apa yang diajarkan atau diberitahukan oleh para guru/pendidik/dosen/pengarjar, meskipun kita belum melihat apa yang diajarkan atau diberitahukan, kita percaya pada petunjuk jalan, dst… Maka hendaknya kita juga percaya pada Penyelenggaran Ilahi, itulah jati diri hidup beriman.

Percaya, harapan dan cinta itulah tiga keutamaan yang utama, yang tak dapat dipisahkan. Orang yang berharap dan percaya pada umumnya secara otomatis akan mencinta, hidup dan bertindak saling mencintai. Cinta itu bebas alias tidak terbatas, maka sebagai orang beriman kami ajak untuk hidup dan bertindak saling mencintai tanpa pandang bulu. Sekali lagi saya angkat bahwa laki-laki dan perempuan berbeda satu sama lain namun saling tertarik, terpesona dan terpikat untuk saling mendekat dan mencintai. Maka hendaknya aneka perbedaan antar kita menjadi daya tarik, daya pesona dan daya pikat untuk saling mendekat dan mencintai.

“Aku hendak menyanyikan kasih setia TUHAN selama-lamanya, hendak memperkenalkan kesetiaan-Mu dengan mulutku turun-temurun.Sebab kasih setia-Mu dibangun untuk selama-lamanya; kesetiaan-Mu tegak seperti langit. Engkau telah berkata: "Telah Kuikat perjanjian dengan orang pilihan-Ku, Aku telah bersumpah kepada Daud, hamba-Ku: Untuk selama-lamanya Aku hendak menegakkan anak cucumu, dan membangun takhtamu turun-temurun” (Mzm 89:2-5)

Senin, 19 Maret 2012



Romo Ignatius Sumarya, SJ