HOMILI: Hari Minggu Palma (Yes 50:4-7; Mzm 22:8-9.17-18a.19-20.23-24; Flp 2:6-11; Mrk 14:1 – 15:47 (Mrk 15:1-39))

“Dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib

Oleh karena itu, aku mengharapkan supaya kalian dengan rajin dan tekun memperdalam dan melatih diri untuk memandang Kristus Tuhan dalam setiap Pembesar. Hendaklah kalian mempersembahkan hormat serta taat dengan khidmat yang besar kepada kedaulatan ilahi melalui Pembesar. Apakah itu sesuatu yang aneh? Tidak!. Perhatikanlah saja perintah rasul untuk pembesar-pembesar, bahkan kepada pembesar duniawi dan kufur sekali pun, seperti kepada Kristus, asas segala wewenang yang teratur baik” (St.Ignatius Loyola, Surat kepada para Yesuit di Portugal, 26 Maret 1533, art. 4). Ada kecenderingan umum sejak dahulu sampai sekarang bahwa orang-orang pandai dan cerdas otaknya ada kemungkinan hidup dan bertindak menurut kemauan, keinginan atau selera pribadi, dengan mengandalkan keunggulan manusiawinya, keccmerlangan otaknya. Ignatius Loyola mengajak para pengikutnya untuk setia menjadi sahabat-sahabat Yesus. Selama Minggu/Pekan Suci ini kita semua yang beriman kepada Yesus Kristus diajak dan dipanggil untuk semakin mengenal dan bersahabat dengan Yesus Kristus, maka marilah kita awali Minggu Suci ini dengan merenungkan ajakan rasul Paulus kepada umat di Filipi.

“Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Flp 2:5-8).

Saya percaya bahwa tidak ada seorangpun di dunia ini yang ingin hidup sendirian, kccuali mereka yang bermasalah atau sedang menghadapi masalah serta kemudian untuk sementara menyepi guna bermeditasi. Di dalam meditasi pun sebenarnya juga tidak sendirian, melainkan secara spiritual dalam kebersamaan dengan sesamanya dan Tuhan. Paulus mengingatkan dan mengajak kita semua agar di dalam hidup bersama “menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus”, yang rendah hati dan taat kepada kehendak Allah sampai mati, “bahkan sampai mati di kayu salib”.

Hidup bersama yang paling konkret hemat kami terjadi di dalam keluarga, antara suami dan isteri, suami-isteri dan anak-anak, anggota keluarga dan para pembantunya, serta kemudian diperluas dalam kehidupan bersama dalam satu rukun tetangga (RT). Maka kami berharap keluarga-keluarga yang dibangun dan dihidupi oleh cintakasih dapat menjadi teladan dalam hidup bersama. Cintakasih berarti saling mengasihi dan hemat saya masa kini yang sering dilupakan dan sulit dihayati adalah dikasihi bukan mengasihi. Banyak orang bersedia mengasihi tetapi tak bersedia dikasihi. Marilah kita kenangkan bahwa kasih tidak senantiasa nikmat di hati, tetapi juga sering menyakitkan hati, misalnya ketika kita ditegor keras atau dimarahi oleh orangtua atau guru/pendidik. Bukankah tegoran dan kemarahan tersebut merupakan wujud kasih mereka kepada kita, dan kita merasa sakit karenanya?

Yesus “telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba”. Nasib seorang hamba yang baik hemat kami harus siap sedia untuk menderita karena kesetiaan dan ketaatannya. Seorang hamba yang baik senantiasa berusaha dengan rendah hati dan kerja keras untuk membahagiakan tuan-tuanya atau mereka yang harus dilayani. Sebagai murid-murid atau pengikut Yesus kita dipanggil untuk hidup dan bertindak saling melayani, saling membahagiakan dan saling menyelamatkan. Marilah kita kerahkan atau persembahkan hati, jiwa, akal budi dan tenaga atau kekuatan kita untuk melayani, membahagiakan dan menyelamatkan orang lain, dan hendaknya dijauhkan aneka cara hidup dan cara bertindak yang hanya mementingkan kepentingan pribadi, kelompok atau saudara sedarah dan sedaging saja.

“Ketika itu tabir Bait Suci terbelah dua dari atas sampai ke bawah. Waktu kepala pasukan yang berdiri berhadapan dengan Dia melihat mati-Nya demikian, berkatalah ia: "Sungguh, orang ini adalah Anak Allah!” (Mrk 15:38-39)

Mereka yang disebut tentara atau pasukan pada umumnya memiliki kesehatan tubuh prima, dan memang kesehatan tubuhnya merupakan andalan pokok atau utama dalam melaksanakan tugas atau kewajibannya. Maka pada tentara akan membanggakan kesehataan dan kekuatan tubuhnya dan ada kecenderungan untuk menjadi sombong. Maka cukup menarik dan mengesan apa yang terjadi di dekat salib Yesus, ketika Yesus mati di kayu salib, dimana kepala pasukan yang menyaksikan-Nya dengan rendah hati berkata: “Sungguh, orang ini adalah Anak Allah!”, pengakuan iman bahwa Yesus adalah Allah yang menjadi Manusia, Penyelamat Dunia yang dinanti-nantikan kedatanganNya oleh banyak orang.

Anak Allah” berarti orang yang menunjukkan melalui cara hidup dan cara bertindaknya ada hubungan khusus dengan Allah, sehingga melalui cara hidup dan cara bertindaknya orang dapat menyaksikan Allah hidup dan berkarya di dalam dirinya. Sebagai orang beriman kita sering disebut sebagai ‘Umat Allah’, dengan kata lain memiliki hubungan khusus dengan Allah. Kita semua tak mungkin terlepas dari Allah, hidup, pertumbuhan dan perkembangan kita tergantung dari Allah, maka hendaknya tidak pernah melupakan sedikitpun peran Allah dalam cara hidup dan cara bertindak kita setiap hari dimana pun dan kapan pun.

Tuhan ALLAH telah memberikan kepadaku lidah seorang murid, supaya dengan perkataan aku dapat memberi semangat baru kepada orang yang letih lesu. Setiap pagi Ia mempertajam pendengaranku untuk mendengar seperti seorang murid. Tuhan ALLAH telah membuka telingaku, dan aku tidak memberontak, tidak berpaling ke belakang. Aku memberi punggungku kepada orang-orang yang memukul aku, dan pipiku kepada orang-orang yang mencabut janggutku. Aku tidak menyembunyikan mukaku ketika aku dinodai dan diludahi.” (Yes 50:4-6), demikian kesaksian iman Yesaya. Marilah sebagai umat beriman atau umat Allah kita belajar dari atau meneladan Yesaya. Kegiatan yang paling banyak kita lakukan adalah berkata dan mendengarkan: dalam berkata-kata kita diharapkan memberi semangat baru kepada yang letih lesu dan kita diharapkan juga menjadi pendengar yang baik, tidak menjadi pemberontak.

Ada pepatah bahwa lidah itu lebih tajam dari pada sebilah pedang, kata-kata yang keluar sering lebih pedas dari aneka jenis lombok, menusuk hati sehingga sakit hati dan sulit disembuhkan. Kita semua diharapkan mengeluarkan kata-kata yang memberi semangat atau menggairahkan mereka yang letih lesu dan putus asa. Maka hendaknya berkata-kata dengan cintakasih, rendah hati dan lemah lembut atau dalam bahasa Indonesia sering dikatakan berbudi halus. “Lidah pun adalah api; ia merupakan suatu dunia kejahatan dan mengambil tempat di antara anggota-anggota tubuh kita sebagai sesuatu yang dapat menodai seluruh tubuh dan menyalakan roda kehidupan kita, sedang ia sendiri dinyalakan oleh api neraka.Semua jenis binatang liar, burung-burung, serta binatang-binatang menjalar dan binatang-binatang laut dapat dijinakkan dan telah dijinakkan oleh sifat manusia, tetapi tidak seorang pun yang berkuasa menjinakkan lidah; ia adalah sesuatu yang buas, yang tak terkuasai, dan penuh racun yang mematikan. Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah” (Yak 3:6-9). Kita semua diharapkan memiliki lidah yang senantiasa memuji Tuhan melalui saudara-saudari kita. Maka marilah kita saling memuji satu sama lain di dalam kehidupan sehari-hari kita.

“Anjing-anjing mengerumuni aku, gerombolan penjahat mengepung aku, mereka menusuk tangan dan kakiku. Segala tulangku dapat kuhitung; mereka menonton, mereka memandangi aku. Mereka membagi-bagi pakaianku di antara mereka, dan mereka membuang undi atas jubahku. Tetapi Engkau, TUHAN, janganlah jauh; ya kekuatanku, segeralah menolong aku” (Mzm 22:17-20)

Minggu, 1 April 2012

Romo Ignatius Sumarya, SJ