Seandainya aku mengerti


Sapaan seorang sahabat,

Masalah penyalagunaan liturgi akhir-akhir ini sepertinya semakin meningkat. Di satu, pihak para imam yang ditahbiskan untuk menjadi “alter Christus” atau “persona Christi” tidak atau memang sengaja mengeluarkan Kristus dari diri, kata dan sikapnya selama merayakan Ekaristi, sementara di lain pihak, umat pun mempunyai pengetahuan yang baik dan lengkap tentang liturgi, sehingga mengukur bahkan menilai kelayakan sang imam dalam merayakan perayaan Ekaristi yang kudus itu dari kata, gerak dan sikap yang nampak darinya .

Karena itu, tulisan pendek ini lebih sebagai sebuah refleksi seorang imam tentang peranannya dalam merayakan Ekaristi kudus.


SAAT ITU….

Bila kusadari maka Kristus sendirilah Yang merayakan Ekaristi itu ketika roti dan anggur berada di dalam tanganku yang hina dina ini….apalagi hatiku yang tak luput dari noda dan dosa…

Tapi, sungguh tak kumengerti bahwa Ia menguatkanku untuk berkata ketika hosti yang fana itu kuangkat; “Inilah Tubuh-Ku,” dan ketika anggur itu kuangkat aku harus kukatakan; “Inilah Darah-Ku”. Siapakah “KU”? Ya, “KU” adalah Kristus sendiri, tapi karena tahbisan imamatku maka aku diizinkan untuk menjadi Diri-Nya sendiri…mengucapkan kata-kata yang sama seperti apa yang pernah terucap lembut dari mulut-Nya “Inilah Tubuh-Ku dan Inilah Darah-Ku.”

Kata-kata indah ini mengingatkanku akan apa yang Bunda-Nya sendiri katakan kepada Santa Catalina;

“Aneh bagimu melihatku berdiri sedikit di belakang Monsignor, bukankah begitu? Demikianlah seharusnya…

Sekalipun begitu besar kasih Putraku kepadaku, Ia tidak memberiku martabat seperti yang Ia berikan kepada seorang imam, yakni dapat mendatangkan Putraku dalam tangan-tanganku setiap hari, seperti yang dilakukan tangan-tangan para imam-Nya.

Karena itulah, aku merasakan hormat mendalam bagi seorang imam dan bagi segala mukjizat yang Tuhan selenggarakan melalui seorang imam, yang membuatku berlutut di sini.”


Menyadari akan betapa besar, dalam, tinggi dan lebarnya cinta Tuhan kepadaku sebagai seorang imam, maka aku menemukan yang satu ini bahwa aku harus merayakan Ekaristi sesuai dengan iman bunda Gereja kudus-Nya. Mengapa? Karena Ekaristi bukanlah masalah aku dengan umat, bukan masalah hatiku dan hati-Nya semata, melainkan masalah kita dengan Tuhan kita, masalah jiwa kita dengan jiwa-Nya yang bersatu dalam sebuah perjamuan abadi surgawi yang sementara dirayakan di dunia ini, di dalam gereja-Nya, dan lagi, aku sebagai imam-Nya dipercayakan sepenuhnya untuk menghadirkan Misteri Agung, hosti dan anggur berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus yang diperuntuhkan bagi umat demi keselamatan jiwa mereka.

Karena itu, bila memang aku sampai pada kesadaran seperti ini, maka setiap kali kurayakan Ekaristi, akan selalu kusadari bahwa perkataan, gerak gerik dan sikapku, serta segalanya yang nampak dariku adalah tindakan Kristus yang Ilahi yang melekat erat dalam kemanusiaanku. Aku lemah dan rapuh tapi Kristuslah yang memampukan aku untuk melakukan mujizat yang agung dan mulia itu. Jika itulah yang terjadi maka tidak akan kuizinkan sesuatu pun dari kata, mimiek, gerak dan tingka lakuku selama misa dirayakan melenceng dari iman bunda gereja yang menghambat pertemuan jiwa umat dengan Tuhan mereka.

Seperti Yohanes Pembaptis, akhirnya, aku hanya berharap bahwa lewat kata, tindakan, gerak dan segala yang nampak dari tubuhku saat Ekaristi dirayakan, aku akan menunjuk kepada umat; “Lihatlah…Anak Domba Allah, yang menghapus dosa-dosa dunia sedang datang kepadamu. Jemputlah Dia...biarlah aku semakin kecil dan Dia semakin besar dalam pikiran, hati dan jiwamu.”


Goresan hati seorang imam akan keluhuran Ekaristi Kudus.


Salam dan doa dari seorang sahabat untuk para sahabatnya,



Sumber: Duc in Altum - Facebook Gereja Katolik