"Anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus." (Rm 8:28-30; Mzm 13:6ab.6cd; Mat 1:18-23)

"Kelahiran Yesus Kristus adalah seperti berikut: Pada waktu Maria, ibu-Nya, bertunangan dengan Yusuf, ternyata ia mengandung dari Roh Kudus, sebelum mereka hidup sebagai suami isteri. Karena Yusuf suaminya, seorang yang tulus hati dan tidak mau mencemarkan nama isterinya di muka umum, ia bermaksud menceraikannya dengan diam-diam. Tetapi ketika ia mempertimbangkan maksud itu, malaikat Tuhan nampak kepadanya dalam mimpi dan berkata: "Yusuf, anak Daud, janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai isterimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus. Ia akan melahirkan anak laki-laki dan engkau akan menamakan Dia Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka." Hal itu terjadi supaya genaplah yang difirmankan Tuhan oleh nabi: "Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Imanuel" -- yang berarti: Allah menyertai kita." (Mat 1:18-23), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

Berrefleksi atas bacaan-bacaan dalam rangka mengenangkan Pesta Kelahiran SP Maria hari ini, saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

· Anak yang baru dilahirkan pada umumnya mempesona dan menarik, serta siapapun yang hidup dan bertindak dalam kasih pasti akan terpesona dan tertarik, apalagi orangtuanya, khususnya ibunya yang baru saja melahirkannya. Maka baiklah dalam rangka mengenangkan pesta Kelahiran SP Maria ini saya mengajak kita semua untuk mawas diri apakah cara hidup dan cara bertindak kita mempesona dan menarik semua orang alias dikasihi oleh Tuhan maupun sesama manusia. Dalam warta gembira hari ini dikisahkan perihal SP Maria, perawan dan anak dara, yang mengandung karena Roh Kudus, anak yang ada dalam kandungan SP Maria adalah dari Roh Kudus. Kiranya kita semua juga boleh menyadari dan mengakui diri bahwa masing-masing dari kita juga telah dikandung oleh ibu kita masing-masing dari Roh Kudus artinya karena dan dalam cintakasih, anugerah Tuhan. Dengan kata lain Roh Kudus hidup dan berkarya dalam diri kita, orang yang lemah dan rapuh ini. Sekiranya kita hidup dan bertindak dalam dan oleh Roh Kudus, maka cara hidup dan cara bertindak kita pasti menarik dan mempesona orang lain kapanpun dan dimanapun. Cara hidup dan cara bertindak kita akan membahagiakan dan menyelamatkan diri kita sendiri maupun orang lain, terutama keselamatan jiwa. Cara hidup dan cara bertindak kita mencemarkan nama baik sendiri maupun orang lain, yang kena dampak hidup dan cara bertindak kita. Orang yang memiliki nama baik antara lain juga tidak pernah ngrasani atau ngrumpi, yang pada umumnya membicarakan kelemahan dan kekurangan orang lain alias mencemarkan nama baik orang lain alias melanggar cintakasih dan harkat martabat manusia.

· "Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah." (Rm 8:28), demikian kesaksian iman Paulus kepada umat di Roma. Segala sesuatu yang hidup di dunia ini diciptakan oleh Allah dan Allah terus bekarya di dalamnya, dalam manusia, binatang maupun tumbuh-tumbuhan atau tanaman “untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia. Sebagai orang beriman kita juga mengasihi Allah atau membalas kasih Allah yang melimpah ruah, maka baiklah juga kita imani atau hayati bahwa apa yang baik, indah, mulia, luhur, menarik dan mempesona pada diri kita sungguh merupakan kebaikan Allah, demikian juga suasana atau pemandangan yang indah. Kecantikan atau ketampanan, keterampilan, kepandaian, kesehatan dst. ..merupakan kebaikan Allah yang telah kita terima melalui kebaikan sekian banyak orang yang telah mengasihi atau memperhatikan kita. Kiranya tak ada seorang pun di antara kita yang mampu menghitung atau mengingat-ingat berapa jumlah orang yang telah memperhatikan kita, karena begitu banyaknya. Maka kami mengajak kita semua untuk memfungsikan semua yang telah kita terima dari Allah dan saat ini kita miliki, kuasai dan nikmati guna berbuat baik kepada saudara-saudari kita dimanapun dan kapanpun, tentu saja juga demi keselamatan dan kebahagiaan kita sendiri maupun saudara-saudari kita, terutama keselamatan atau kebahagiaan jiwa. Hendaknya kita juga merawat dan mengurus lingkungan hidup kita sebaik mungkin; hendaknya jangan serakah memfungsikan ciptaan lain seperti binatang maupun tanaman/tumbuh-tumbuhan. Maaf karena sikap mental bisnis dan egoisme begitu menguasai dan menjiwai orang berduit dan berkuasa, yang gila akan harta benda/uang, pangkat dan kehormatan duniawi, maka hutan dibabat seenaknya dan ikan-ikan di laut disapu bersih, sementara itu aneka racun (obat) tanaman di sawah maupun ladang telah menghabisi aneka jenis binatang melata maupun ikan, sehingga lingkungan hidup mengancam keselamatan jiwa manusia.

"Kepada kasih setia-Mu aku percaya, hatiku bersorak-sorak karena penyelamatan-Mu. Aku mau menyanyi untuk TUHAN, karena Ia telah berbuat baik kepadaku." (Mzm 13:6)


Kamis, 8 September 2011

Romo Ignatius Sumarya, SJ

Pertemuan II BKSN 2011: Perumpamaan anak yang hilang

“Maka bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya. Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia. Kata anak itu kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa. Tetapi ayah itu berkata kepada hamba-hambanya: Lekaslah bawa ke mari jubah yang terbaik, pakaikanlah itu kepadanya dan kenakanlah cincin pada jarinya dan sepatu pada kakinya. Dan ambillah anak lembu tambun itu, sembelihlah dia dan marilah kita makan dan bersukacita. Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali. Maka mulailah mereka bersukaria. Tetapi anaknya yang sulung berada di ladang dan ketika ia pulang dan dekat ke rumah, ia mendengar bunyi seruling dan nyanyian tari-tarian. Lalu ia memanggil salah seorang hamba dan bertanya kepadanya apa arti semuanya itu. Jawab hamba itu: Adikmu telah kembali dan ayahmu telah menyembelih anak lembu tambun, karena ia mendapatnya kembali dengan sehat. Maka marahlah anak sulung itu dan ia tidak mau masuk. Lalu ayahnya keluar dan berbicara dengan dia. Tetapi ia menjawab ayahnya, katanya: Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku. Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia. Kata ayahnya kepadanya: Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu. Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali."(Luk 15:20-32), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

Dari perumpamaan ‘anak hilang’ tersebut ada tiga tokoh yang layak menjadi permenungan kita:
(1) anak bungsu yang berfoya-foya
(2) anak sulung yang merasa setia pada bapa dan
(3) bapa yang baik hati, penuh belas kasih. Maka kiranya masing-masing dari kita dapat bercermin pada tiga tokoh tersebut:

(1) Anak bungsu/yang hilang: mungkin kita seperti anak bungsu yang telah berfoya-foya memuaskan diri dengan kekayaan yang telah kita miliki misalnya untuk judi, pelacuran, mabuk-mabukan dst.., tetapi mungkin juga telah menghamburkan/boros waktu atau tenaga untuk sesuatu yang kurang berguna bagi kesehatan, keselamatan, kesejahteraan atau kebahagiaan sejati hidup kita, marilah dengan besar hati kita mengaku dosa alias bertobat. Tidak perlu malu-malu minta maaf kepada sesama maupun mengakukan dosa secara pribadi kepada imam yang bertugas. Tidak ada kata terlambat untuk bertobat.

(2) Anak sulung: rasanya kebanyakan dari kita merasa diri seperti ‘anak sulung’ -> nampak dengan setia dan taat dalam bekerja maupun hidup bersama, rajin, baik-baik saja, tetapi mungkin dalam hati sebenarnya yang dicari adalah pujian untuk menyombongkan diri bahwa dirinya orang yang baik dan hebat, tidak merasa dan tidak menghayati bahwa semuanya itu dapat terjadi karena kasih karunia Allah melalui sesama kita, orangtua, kakak-adik, sahabat dan kenalan atau rekan-rekan. Dengan kata lain menjadi seperti ‘anak sulung’ adalah seperti orang Farisi yang tak tahu terima kasih dan syukur dan pada umumnya mengasingkan diri alias kurang pergaulan (hanya bergaul dengan orang-orang tertentu saja). Perasaan dan penghayatan macam itulah yang menjadi akar kesombongan atau dosa; orang sombong memang tidak mau ‘menyatu’ dengan teman-teman atau sahabat-sahabat melainkan menyendiri, sebagaimana dalam perumpamaan Injil hari ini ‘anak sulung’ diminta menggabungkan diri dalam pesta pertobatan adiknya, saudaranya tidak memberi tanggapan, ngambeg, tidak mau bergabung. Orang yang demikian memang sulit menyadari diri sebagai yang berdosa, padahal ‘cara hidup atau cara bertindaknya’ telah menjadi batu sandungan bagi sesamanya, dengan kata lain ia telah menyebabkan orang lain berdosa (antara lain ngrasani atau ngrumpi). Cara hidup atau cara bertindak ini pada umumnya terjadi pada orang dewasa, senior, pemimpin atau atasan, pandai, berkedudukan, berpangkat, kaya dst…

(3) Bapa yang penuh belas kasih: bapa yang penuh belas kasih, dengan gembira, hati dan tangan terbuka menyambut anaknya yang ‘hilang’ pulang kembali memang merupakan gambaran dari Allah yang Maha Kasih dan Maha Pengampun. Sebagai umat beriman, orang yang beriman pada Yesus Kristus, kiranya kita semua dipanggil untuk menjadi ‘gambar Allah Pengasih dan Pengampun’., bukan hanya pada imam/pastor yang berada di dalam kamar pengakuan saja. “Berkat kuasa-Mu juga, cinta mengalahkan kebencian, ampun menaklukkan balas dendam, dan saling kasih mengenyahkan perselisihan” (Prefasi DSA VI) Kasih pengampunan merupakan cirikhas hidup iman Kristiani, iman pada Yesus Kristus, maka marilah kita hayati dan wartakan kasih pengampunan dalam hidup kita sehari-hari di manapun dan kapanpun juga.

“Marahlah anak sulung itu dan ia tidak mau masuk”

Para pendatang pada umumnya lebih sukses dan berhasil dalam usaha dan kerjanya daripada para penduduk asli. Penduduk asli sering merasa diri sebagai yang berkuasa dan terpilih di daerah atau tempat tinggalnya serta ada kecenderungan untuk menjadi sombong. Dengan dan dalam perasaan macam itu penduduk asli juga merasa yang terbaik atau lebih baik daripada pendatang. Perasaan sebagai yang terbaik juga dialami oleh orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, sebagaimana digambarkan sebagai anak sulung dalam perumpamaan ‘anak hilang’, sebagaimana dikisahkan di dalam Warta Gembira hari ini. Warta Gembira hari ini kiranya baik menjadi permenungan atau refleksi bagi siapapun yang bersikap mental Farisi atau merasa diri yang terbaik.

“Bersungut-sungutlah orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, katanya: "Ia menerima orang-orang berdosa dan makan bersama-sama dengan mereka” (Luk 15:2).

Yesus adalah Penyelamat Dunia, yang datang untuk menyelamatkan dunia, maka Ia senantiasa berusaha untuk mencari dan menyelamatkan orang berdosa atau ‘yang hilang’. Ia duduk dan makan bersama dengan para pendosa, yang dalam ‘mind set’ masyarakat waktu itu orang berdosa berarti harus disingkiri dan dijauhkan dari pergaulan bersama. Mungkin sebagian dari kita juga memiliki ‘mind set’ macam itu, sehingga enggan atau tidak bersedia bergaul dengan para pendosa atau mereka yang terbuang. Dalam tampilan SCTV beberapa waktu yang lalu antara lain disiarkan seorang yang berjiwa sosial di Tasikmalaya, Jawa Barat, yang dengan penuh cinta kasih dan pengorbanan merawat dan mengurus saudara-saudarinya yang bernyakit jiwa serta menggelandang. Ia membuat asrama sederhana dan menyisihkan kekayaannya untuk mengurus dan merawat puluhan pasien sakit jiwa. Diceriterakan juga bahwa beberapa temannya berkomentar “Untuk apa kamu mengurus orang-orang macam itu?”. Komentar macam itu rasanya mirip dengan ‘sungut-sungut orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat’ ketika mereka melihat Yesus duduk dan makan bersama para pendosa.

“Maka marahlah anak sulung itu dan ia tidak mau masuk. Lalu ayahnya keluar dan berbicara dengan dia. Tetapi ia menjawab ayahnya, katanya: Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku. Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia” (Luk15:28-30), begitulah gambaran orang-orang Farisi dan ahli Taurat yang diperankan oleh ‘anak sulung’: sombong dan melecehkan orang lain, yang memang lebih jelek dan berdosa. Kepada mereka yang masih bersikap mental Farisi kami ajak untuk bertobat dan belajar rendah hati, sebagaimana dihayati oleh ‘anak hilang’.

“Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa” (Luk 15:21) .

Jika kita jujur mawas diri atau melihat diri sendiri, kiranya kita semua akan menyadari dan menghayati diri sebagai yang berdosa, seperti ‘anak hilang’. Jika kita mengaku tidak pernah berdosa, maka berarti kita berdusta terhadap diri kita sendiri. Berdosa memang memiliki dimensi vertical dan horisontal, ada hubungannya dengan Tuhan dan sesama manusia maupun lingkungan hidupnya.

Kesadaran dan penghayatan diri sebagai yang berdosa identik dengan kesadaran dan penghayatan diri sebagai yang beriman; semakin beriman berarti semakin menyadari dan menghayati diri sebagai yang lemah dan rapuh serta dikasihi oleh Tuhan. Orang-orang terpilih di dalam Gereja Katolik, misalnya para uskup, senantiasa menyatakan diri sebagai yang hina dina dan berdosa, yang dipanggil Tuhan untuk berpartisipasi dalam karya penyelamatanNya, maka selayaknya kita meneladan mereka. Menyadari dan menghayati diri sebagai yang berdosa tidak berarti lalu diam saja, melainkan berarti senantiasa membuka diri untuk ditumbuh-kembangkan alias dibina dan dididik terus menerus. Dengan kata lain orang bersikap mental ‘ongoing formation/ongoing education’ . Orang yang bersikap mental demikian ini pada umumnya juga dapat menjadi pendamai dan pengampun, meneladan ‘bapa yang baik’.

“Lekaslah bawa ke mari jubah yang terbaik, pakaikanlah itu kepadanya dan kenakanlah cincin pada jarinya dan sepatu pada kakinya. Dan ambillah anak lembu tambun itu, sembelihlah dia dan marilah kita makan dan bersukacita. Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali. Maka mulailah mereka bersukaria” (Luk15:22-24).

Sebagai orang beriman kita dipanggil untuk menghayati iman kita antara lain dengan menjadi saksi dan menyebarluaskan kasih pengampunan dan pendamaian, sebagaimana dikatakan Paulus kepada umat di Korintus : ”Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka. Ia telah mempercayakan berita pendamaian itu kepada kami” (2Kor 5:19). Segala kesalahan, pelanggaran dan dosa-dosa kita tidak pernah diperhitungkan atau diingat-ingat lagi oleh Tuhan, dan mungkin juga oleh saudara-saudari kita, maka marilah hal itu kita syukuri dengan menjadi saksi kasih pengampunan dan pendamaian.

Gerakan kasih pengampunan dan pendamaian kiranya sungguh mendesak dan up to date untuk kita hayati dan sebarluaskan pada masa kini, mengingat dan memperhatikan masih maraknya aneka balas dendam dan kemarahan sebagai wujud konkret kesombongan. Marilah kita pro-aktif: dimanapun dan kapanpun kita melihat dan mendengar terjadi permusuhan, balas dendam dan kemarahan, marilah segera kita datangi untuk diajak berdamai. Kita dapat meneladan ‘bapa yang baik’, yang tidak memperhitung-kan serta mengingat-ingat kesalahan, dosa dan kekurangan orang lain, dan ketika ada orang bertobat dan berdamai hendaknya segera kita ajak bersukaria dan bergembira ria. Baiklah saya angkat lagi pesan Perdamaian Paus Yohanes Paulus II dalam rangka memasuki Millenium Ketiga :”There is no peace without justice, there is no justice without forgiveness” (= Tiada perdamaian tanpa keadilan, tiada keadilan tanpa kasih pengampunan). Berbuat adil antara lain menjunjung tinggi, menghormati dan menghargai harkat martabat manusia, sebagai ciptaan Allah terluhur dan termulia di dunia ini, demikian juga mengampuni mereka yang bersalah atau berdosa.

“Aku hendak memuji TUHAN pada segala waktu; puji-pujian kepada-Nya tetap di dalam mulutku. Karena TUHAN jiwaku bermegah; biarlah orang-orang yang rendah hati mendengarnya dan bersukacita.Muliakanlah TUHAN bersama-sama dengan aku, marilah kita bersama-sama memasyhurkan nama-Nya! Aku telah mencari TUHAN, lalu Ia menjawab aku, dan melepaskan aku dari segala kegentaranku” (Mzm 34:2-5).


(Romo Ignatius Sumarya, SJ)

Adrianus Sunarko OFM: Novena yang Menjawab Kerinduan Umat

Pastor Dr Adrianus Sunarko OFM, pengajar di STF Driyarkara, kelahiran Merauke, 7 Desember 1966. Ia berharap, umat mengikuti novena dengan sikap yang tepat, yaitu ada keterbukaan pada kehendak Allah. Berikut petikan lengkap penuturan Provinsial OFM kepada Anton Sumarjana dari HIDUP.

Nilai-nilai apa yang bisa kita teladani dari pribadi St Antonius Padua?

St Antonius Padua, lahir di Lisabon, Portugal, bukan di Padua. Dia, anak orang kaya. Mula-mula ia menjadi biarawan St Agustin, sebelum menjadi imam Fransiskan.

Suatu ketika, dia terkesan melihat iring-iringan yang membawa relikwi para martir OFM yang dibunuh di Maroko. Setelah itu, ia memutuskan masuk OFM, dan menjadi misionaris di Maroko.

Dalam perjalanan ke Maroko, ia sakit keras. Ia terpaksa kembali ke Lisabon, tetapi kapalnya terdampar di Italia. Sejak saat itu ia tinggal di Italia. Ia banyak berkarya di Italia Utara dan Perancis Selatan, khususnya di Padua. Dalam usia 36 tahun ia meninggal dunia. Itulah sebabnya dia dikenal sebagai St Antonius Padua.

Setahun setelah meninggal ia dinyatakan kudus. Sejak itu muncul macam-macam devosi, doa-doa, dan banyak orang merasa doa melalui perantaraannya dikabulkan. Seringkali kalau orang kehilangan sesuatu, lalu memohon melalui dia.

Ia terkenal sebagai pengkhotbah yang menghayati hidup dan melaksanakan ajaran-ajaran-Nya. St Antonius adalah pribadi yang sederhana, rendah hati, dan saleh. Ajakannya menyentuh, lebih-lebih teladan hidupnya. Banyak orang yang tersesat bertobat oleh khotbahnya.

Suatu saat, pada waktu berdoa, ia mendapat penampakan Yesus kecil. Makanya, dalam gambar dan patung-patung St Antonius, digambarkan ia memangku Yesus kecil.

Kapan mulai muncul Novena St Antonius Padua?

Sejak dia meninggal sudah muncul novena ini. Jadi, sudah sejak awal sekali. Biasanya diadakan pada hari Selasa, karena dia meninggal pada hari Selasa. Sedangkan novena seperti sekarang, saya tidak tahu persisnya sejak kapan.

Apa yang membuat novena ini bertahan sampai beratus-ratus tahun?

Pasti macam-macam. Banyak orang merasa doanya dikabulkan. Dalam arti, permintaan itu terpenuhi. Pengalaman-pengalaman konkret seperti ini yang membuat semakin banyak orang berdoa melalui perantaraan St Antonius, dan novena ini semakin populer.

Setiap kali novena begitu banyak yang datang sampai 4.500 orang, fenomena apa ini Romo?

Ada orang-orang yang dari tahun ke tahun selalu hadir. Mereka datang dari mana-mana. Itu gejala yang umum, di kota-kota besar ada kerinduan. Mereka menemukan sesuatu yang khas dalam novena ini, misalnya lagu-lagu, liturgi, dan ritualnya. Bentuk perayaan ini menjawab kerinduan mereka yang datang. Selain itu, mereka mengalami sesuatu, misalnya doa yang terkabul langsung atau beberapa tahun kemudian.

Saran untuk umat yang mengikuti novena ini?

Dalam novena yang dominan adalah permohonan. Saya berharap, umat mengikuti novena ini dengan sikap yang tepat, yaitu ada keterbukaan pada kehendak Allah. Umat tidak memaksakan sudah ikut sembilan kali, harus terkabul sesuai dengan keinginan. Itu bahaya, menjadi seperti jimat. Ikut sembilan kali berarti dikabulkan sesuai dengan yang diinginkan.

Sikap iman yang benar adalah terjadilah menurut kehendak-Mu. Kita boleh mengajukan permohonan ini itu, tetapi tetap terbuka pada kehendak Allah. Jangan lupa bersyukur, karena inti Ekaristi adalah syukur.

(Anton Sumarjana/HidupKatolik.com)

"Berbahagialah hai kamu yang miskin karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah.” (Kol 3:1-11; Mzm 145:2-3.10-13ab; Luk 6:20-26)

“ Lalu Yesus memandang murid-murid-Nya dan berkata: "Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah. Berbahagialah, hai kamu yang sekarang ini lapar, karena kamu akan dipuaskan. Berbahagialah, hai kamu yang sekarang ini menangis, karena kamu akan tertawa. Berbahagialah kamu, jika karena Anak Manusia orang membenci kamu, dan jika mereka mengucilkan kamu, dan mencela kamu serta menolak namamu sebagai sesuatu yang jahat. Bersukacitalah pada waktu itu dan bergembiralah, sebab sesungguhnya, upahmu besar di sorga; karena secara demikian juga nenek moyang mereka telah memperlakukan para nabi. Tetapi celakalah kamu, hai kamu yang kaya, karena dalam kekayaanmu kamu telah memperoleh penghiburanmu. Celakalah kamu, yang sekarang ini kenyang, karena kamu akan lapar. Celakalah kamu, yang sekarang ini tertawa, karena kamu akan berdukacita dan menangis. Celakalah kamu, jika semua orang memuji kamu; karena secara demikian juga nenek moyang mereka telah memperlakukan nabi-nabi palsu." (Luk 6:20-26), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

• Orang miskin pada umumnya tidak ada yang dapat diandalkan apa yang ada di dunia ini kecuali tubuhnya atau pribadinya sendiri; mereka yang miskin dan jujur juga terbuka terhadap aneka macam kemungkinan dan kesempatan serta terbuka terhadap aneka uluran atau ajakan orang lain untuk berbuat baik. Sementara itu orang kaya cenderung mengandalkan diri pada harta benda atau kekayaannya, was-was terhadap kekayaannya, apalagi ketika terjadi gejolak ekonomi yang tidak menentu. Sabda Yesus hari ini mengajak kita semua untuk menghayati semangat miskin, memang untuk itu kita tidak harus miskin. Bersemangat miskin berarti senantiasa membuka diri terhadap aneka sapaan dan sentuhan Tuhan melalui aneka ajakan, suka-duka saudara-saudarinya. Bersemangat miskin juga berarti bersikap mental belajar terus menerus serta menghayati diri sebagai pendosa yang dipanggil Tuhan untuk berpartisipasi dalam karya penyelamatan-Nya: ia sungguh merasa ‘haus dan lapar’ akan sabda dan kasih Tuhan; ia juga rendah hati. Maka dengan ini kami mengajak kita semua umat beriman untuk membangun dan memperdalam semangat miskin dalam cara hidup dan cara bertindak kita setiap hari dimanapun dan kapanpun. Anak kecil pada umumnya juga bersemangat miskin, maka marilah kita bercermin pada atau belajar dari anak-anak kecil, dengan kata lain marilah ‘back to basic’, kembali menghayati semangat miskin ketika kita masih kanak-kanak. Secara khusus kami berharap kepada mereka yang kaya akan harta benda, uang, pengalaman maupun keterampilan untuk bersikap mental miskin atau rendah hati, menghayati aneka kekayaan yang kita miliki, kuasai dan nikmati sampai saat ini adalah anugerah Tuhan, sehingga memfungsikannya sesuai dengan kehendak Tuhan, yaitu sebagai pertolongan untuk mengejar dan mengusahakan keselematan jiwa kita. Selanjutnya marilah kita renungkan atau refleksikan ajakan Paulus di bawah ini.

• “Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi. Sebab kamu telah mati dan hidupmu tersembunyi bersama dengan Kristus di dalam Allah.” (Kol 3:2-3), demikian ajakan Paulus kepada umat di Kolose, kepada kita semua umat beriman, khususnya yang beriman kepada Yesus Kristus. Memikirkan ‘perkara yang di atas’ antara lain berarti senantiasa mengusahakan keselamatan jiwa kita dan dengan demikian berusaha dengan sungguh-sungguh menghayati atau melaksanakan aneka tata tertib sebagai bantuan untuk mengusahakan keselamatan jiwa atau hidup dijiwai oleh Roh Kudus, sehingga memiliki keutamaan-keutamaan seperti “ kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri” (Gal 5:22-23). Memikirkan ‘perkara yang di atas’ juga berarti senantiasa melihat dan mengimani Tuhan yang hidup dan berkarya dalam semua ciptaan-Nya di bumi ini: manusia dengan semua buah karyanya, binatang dan tumbuh-tumbuhan. Melihat dan mengimani Tuhan yang hidup dan berkarya dalam aneka buah karya manusia, antara lain menghargai dan menghormatinya sebagai kasih Tuhan, sehingga mengurus dan merawatnya sebaik mungkin; menggunakan buah karya manusia tidak untuk mencelakakan atau merugikan orang lain, lebih-lebih jiwanya. Memikirkan ‘perkara-perkara yang di atas’ juga identik dengan ‘mati dan hidup bersama Kristus’, meninggalkan aneka dosa dan kejahatan alias tidak melakukan dosa atau berbuat jahat serta senantiasa berusaha untuk berbuat baik kepada sesamanya dimanapun dan kapanpun. Sebagai orang yang telah dibaptis berarti menghayati janji baptis, yaitu hanya mau mengabdi Tuhan saja serta menolak semua godaan setan. Godaan setan dapat menggejala dalam aneka bentuk tawaran dan rayuan kenikmatan duniawi seperti “percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya” (Gal 5:19-21). Marilah kita bekerjasama dan saling membantu dalam melawan godaan-godaan setan, yang sungguh marak dalam kehidupan bersama kita di masa kini.

“Segala yang Kaujadikan itu akan bersyukur kepada-Mu, ya TUHAN, dan orang-orang yang Kaukasihi akan memuji Engkau. Mereka akan mengumumkan kemuliaan kerajaan-Mu, dan akan membicarakan keperkasaan-Mu, untuk memberitahukan keperkasaan-Mu kepada anak-anak manusia, dan kemuliaan semarak kerajaan-Mu. Kerajaan-Mu ialah kerajaan segala abad, dan pemerintahan-Mu tetap melalui segala keturunan. TUHAN setia dalam segala perkataan-Nya dan penuh kasih setia dalam segala perbuatan-Nya” (Mzm 145:10-13)

Rabu, 7 September 2011

Romo Ignatius Sumarya, SJ

"Ia memilih dari antara mereka dua belas orang yang disebut-Nya rasul" (Kol 2:6-15; Mzm 145:8-11; Luk 6:12-19)

"Pada waktu itu pergilah Yesus ke bukit untuk berdoa dan semalam-malaman Ia berdoa kepada Allah. Ketika hari siang, Ia memanggil murid-murid-Nya kepada-Nya, lalu memilih dari antara mereka dua belas orang, yang disebut-Nya rasul: Simon yang juga diberi-Nya nama Petrus, dan Andreas saudara Simon, Yakobus dan Yohanes, Filipus dan Bartolomeus, Matius dan Tomas, Yakobus anak Alfeus, dan Simon yang disebut orang Zelot, Yudas anak Yakobus, dan Yudas Iskariot yang kemudian menjadi pengkhianat. Lalu Ia turun dengan mereka dan berhenti pada suatu tempat yang datar: di situ berkumpul sejumlah besar dari murid-murid-Nya dan banyak orang lain yang datang dari seluruh Yudea dan dari Yerusalem dan dari daerah pantai Tirus dan Sidon. Mereka datang untuk mendengarkan Dia dan untuk disembuhkan dari penyakit mereka; juga mereka yang dirasuk oleh roh-roh jahat beroleh kesembuhan. Dan semua orang banyak itu berusaha menjamah Dia, karena ada kuasa yang keluar dari pada-Nya dan semua orang itu disembuhkan-Nya." (Luk 6:12-19), demikian kutipan Warta Gembira hari ini

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

· Dipilih, dikumpulkan untuk bersama dengan dan mengikuti Yesus serta kemudian disebar-luaskan, itulah jati diri seorang rasul. Jabatan dan fungsi rasul pada masa kini ada pada para gembala/uskup kita, yang dinilai paling baik dan suci di wilayah keuskupannya karena kita imani telah menerima anugerah Roh Kudus secara khusus. Dalam Kitab Hukum Kanonik dikatakan bahwa calon uskup hendaknya memiliki kecakapan-kecakapan seperti: (1) "unggul dalam iman yang teguh, moral yang baik, kesalehan, perhatian pada jiwa-jiwa, kebijaksanaan, kearifan dan keutamaan-keutamaan manusiawi, serta memiliki sifat-sifat lain yang cocok untuk melaksanakan jabatan tersebut, (2) mempunyai nama baik, dst." (KHK kan 378). Sebagai umat beriman, khususnya yang beriman kepada Yesus Kristus, kita juga memiliki tugas rasuli, maka marilah kita juga berusaha untuk memiliki kecakapan-kecakapan di atas. Mungkin yang baik kita usahakan bersama-sama adalah "mempunyai nama baik", artinya dimanapun dan kapanpun kita dikenal sebagai pribadi yang baik. Apa yang disebut baik senantiasa berlaku secara universal, kapan saja dan dimana saja. Hemat saya kita akan menjadi baik jika kita hidup dan bertindak saling mengasihi satu sama lain, tidak pernah saling menyakiti atau melecehkan sedikitpun, melainkan senantiasa saling membahagiakan dan menyelamatkan.

· "Kamu telah menerima Kristus Yesus, Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia. Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur." (Kol 2:6-7). "Hendaklah kamu bertambah dalam iman dan hendaklan hatimu melimpah dengan syukur" inilah yang sebaiknya kita renungkan dan hayati. Iman adalah anugerah Tuhan, maka jika iman kita semakin bertambah, tangguh dan handal serta kuat kiranya tak pernah terlepas dari karya Tuhan. Dari pihak kita dituntut untuk membuka hati, jiwa, akal budi dan tubuh terhadap aneka sentuhan dan sapaan Tuhan melalui aneka macam perbuatan baik dari saudara-saudari kita. Dengan kata lain dari pihak kita dituntut untuk senantiasa siap sedia berubah, bertumbuh dan berkembang; tidak berubah akan ketinggalan zaman. Marilah kita lihat dan hayati aneka pertambahan dan perubahan dalam diri kita menjadi semakin baik, beriman atau suci sebagai anugerah Tuhan. Kita juga dipanggil untuk senantiasa hidup penuh syukur, karena kita telah menerima anugerah Tuhan secara melimpah ruah. "Saat sukses kita bersyukur, saat gagal pun kita bersyukur. Sesungguhnya kekayaan dan kebahagiaan sejati ada di dalam rasa bersyukur" (Andrie Wongso). Yang mungkin sulit dihayati kiranya "saat gagal pun kita bersyukur". Mengapa saat gagal pun kita harus bersyukur? Ketika kita mengalami kegagalan berarti kita diingatkan akan keterbatasan dan kerapuhan kita seraya diajak untuk lebih mengimani Tuhan, lebih mengandalkan diri sepenuhnya kepada Tuhan daripada mengandalkan pada diri sendiri. Bukankah hal itu merupakan pewahyuan khusus dalam kegagalan? Beriman berarti menyadari dan menghayati diri sebagai orang berdosa yang dipanggil Tuhan untuk berpartisipasi dalam karya penyelamatan-Nya, sehingga jika ada yang baik, luhur, mulia dan indah dalam diri kita merupakan anugerah Tuhan yang mendorong dan mengajak kita untuk hidup dengan penuh syukur dan terima kasih. Marilah kita saling bersyukur dan berterima kasih satu sama lain.

"TUHAN itu pengasih dan penyayang, panjang sabar dan besar kasih setia-Nya. TUHAN itu baik kepada semua orang, dan penuh rahmat terhadap segala yang dijadikan-Nya. Segala yang Kaujadikan itu akan bersyukur kepada-Mu, ya TUHAN, dan orang-orang yang Kaukasihi akan memuji Engkau. Mereka akan mengumumkan kemuliaan kerajaan-Mu, dan akan membicarakan keperkasaan-Mu." (Mzm 145:8-11)

Selasa, 6 September 2011


Romo Ign Sumarya, SJ


Note: banyak terima kasih atas doa dan kehadiran anda sekalian dalam pemakamam simbok/ibu saya hari Minggu, 4 September 2011.

Ign Sumarya SJ atas nama dua kakak saya dan adik saya

“Manakah yang diperbolehkan pada hari Sabat” (Kol 1:24 – 2:3; Mzm 62:6-7.9; Luk 6:6-11)

“Pada suatu hari Sabat lain, Yesus masuk ke rumah ibadat, lalu mengajar. Di situ ada seorang yang mati tangan kanannya.Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi mengamat-amati Yesus, kalau-kalau Ia menyembuhkan orang pada hari Sabat, supaya mereka dapat alasan untuk mempersalahkan Dia.Tetapi Ia mengetahui pikiran mereka, lalu berkata kepada orang yang mati tangannya itu: "Bangunlah dan berdirilah di tengah!" Maka bangunlah orang itu dan berdiri.Lalu Yesus berkata kepada mereka: "Aku bertanya kepada kamu: Manakah yang diperbolehkan pada hari Sabat, berbuat baik atau berbuat jahat, menyelamatkan nyawa orang atau membinasakannya?" Sesudah itu Ia memandang keliling kepada mereka semua, lalu berkata kepada orang sakit itu: "Ulurkanlah tanganmu!" Orang itu berbuat demikian dan sembuhlah tangannya. Maka meluaplah amarah mereka, lalu mereka berunding, apakah yang akan mereka lakukan terhadap Yesus”(Lukas 6:6-11), demikian kutipan Warta Gembira hari ini

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

· Hari Sabat adalah hari khusus yang dipersembahkan kepada Tuhan, dan dalam peraturan hari Sabat antara lain orang tidak boleh bekerja dan diharapkan berisirahat menikmati kebersamaan dengan Tuhan dan saudara-saudari sekeluarga atau dekat. Dengan kata lain pada hari Sabat orang diharapkan senantiasa berbuat baik, hidup dan bertindak berdasarkan kaidah moral yang benar. Cukup menarik apa yang dilakukan oleh para ahli Taurat dan orang-orang Farisi: mereka berpikiran jahat terhadap orang lain dan berusaha untuk melihat kesalahan atau kekurangan orang lain, yaitu Yesus. Menanggapi pikiran jahat mereka Yesus menyembuhkan orang sakit sambil berkata:”Manakah yang diperbolehkan pada hari Sabat, berbuat baik atau berbuat jahat, menyelamatkan nyawa orang atau membinasakannya?”.Jawaban yang benar adalah ‘berbuat baik dan menyelamatkan nyawa orang’., maka marilah kita senantiasa berusaha berbuat baik dan menyelamatkan nyawa orang tidak hanya pada hari Sabat/Minggu saja, tetapi setiap hari atau setiap saat dimanapun dan kapanpun. Maka ketika melihat siapapun yang sungguh membutuhkan bantuan marilah segera kita bantu sesuai dengan kebutuhannya dan kemampuan kita. Berbuat baik tidak perlu izin atau minta rekomendasi dari orang lain; sebaliknya kepada para pemimpin atau atasan kami harapkan untuk berterima kasih dan bersyukur ketika bawahan atau anggotanya berbuat baik, meskipun apa yang mereka lakukan nampaknya tidak sesuai dengan aturan atau tatanan hidup. Aturan atau tatanan berada pada ranah norma hukum, sedangkan baik berada ranah norma moral; norma moral berada di atas atau mengatasi norma hukum. Demikian juga nyawa lebih penting dan utama daripada tubuh atau aturan dan tatanan hidup.

· “Sekarang aku bersukacita bahwa aku boleh menderita karena kamu, dan menggenapkan dalam dagingku apa yang kurang pada penderitaan Kristus, untuk tubuh-Nya, yaitu jemaat” (Kol 1:24), demikian kesaksian iman Paulus kepada umat di Kolose, kepada kita semua orang yang beriman kepada Yesus Kristus. Bersukacita dalam penderitaan pelayanan kepada orang lain atau sesama, itulah panggilan dan tugas pengutusan kita semua. Apa yang dikatakan Paulus ini kiranya senada dengan seorang ibu yang bersedia menderita dalam melahirkan anaknya, dan itu dilakukan atau dihayati dalam dan oleh cintakasih. Penderitaan yang lahir dari cintakasih memang merupakan jalan keselamatan atau kebahagiaan sejati. Yesus Kristus telah menderita sengsara dan wafat di kayu salib demi keselamatan seluruh umat manusia, seluruh dunia, dan kita dipanggil untuk meneladan Dia. Menderita karena cintakasih dan kebahagiaan sejati bagaikan mata uang bermuka dua, dapat dibedakan tetapi tak dapat dipisahkan. Untuk membahagiakan orang lain kita harus siap sedia dan rela berkorban maupun menderita karena harus berjuang, dan dalam penderitaan itulah terjadi kebahagiaan sejati. Sebagai contoh kiranya anda dapat mengenangkan sejenak ketika anda masih dalam/sedang dalam masa pacaran atau tunangan. Bukankah selama dalam masa pacaran atau tunangan anda siap sedia untuk menderita dan berkorban bagi yang lain, pacarnya atau tunangannya, dan dengan demikian anda merasa puas, nikmat dan bahagia. Marilah kita sikapi saudara-saudari atau sesama kita bagaikan ‘pacar atau tunangan’ kita, sehingga kita siap sedia dan rela untuk berkorban dan menderita bagi kebahagiaan dan keselamatan sesama kita. Dalam saling menderita dan berkorban juga terjadi saling melengkapi dan menyempurnakan.

“Hanya pada Allah saja kiranya aku tenang, sebab dari pada-Nyalah harapanku.Hanya Dialah gunung batuku dan keselamatanku, kota bentengku, aku tidak akan goyah. Pada Allah ada keselamatanku dan kemuliaanku; gunung batu kekuatanku, tempat perlindunganku ialah Allah.Percayalah kepada-Nya setiap waktu, hai umat, curahkanlah isi hatimu di hadapan-Nya; Allah ialah tempat perlindungan kita” (Mzm 62:6-9).


(Romo Ign Sumarya, SJ)

HOMILI: Hari Minggu Biasa XXIII ( Yeh 33:7-9; Mzm 95:1-2.6-7.8-9; Rm 13:8-10; Mat 18:15-20)

Hari Minggu Biasa XXIII/Kitab Suci Nasional: Yeh 33:7-9; Mzm 95:1-2.6-7.8-9; Rm 13:8-10; Mat 18:15-20

“Di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka."

Jika ada dua atau tiga orang berkumpul pada umumnya mereka kemudian cenderung untuk ngrumpi alias ngrasani daripada curhat, sharing pengalaman. Memang ngrumpi atau ngrasani akan terasa enak dan nikmat, sedangkan sharing pengalaman pribadi akan terasa berat. Demikian juga pegawai di kantor ketika tidak diawasi oleh atasannya juga sering terjebak untuk berkelompok sambil ngrumpi atau ngrasani, tak ketinggalan juga para ibu yang menunggu anaknya sedang belajar di Taman Kanak-Kanak. Dalam hal ngrumpi atau ngrasani pada umumnya wanita lebih tekun, meskipun dengan suara lembut dan berbisik-bisik dari mulut ke mulut, sedangkan pria lebih keras dalam omongan, meskipun jarang ngrasani atau ngrumpi; dengan kata lain baik wanita maupun pria sama saja. Sabda hari ini mengingatkan dan mengajak kita semua untuk ‘berkumpul dalam nama Tuhan’, maka baiklah seraya merayakan Minggu Kitab Suci Nasional, saya mengajak kita semua untuk mawas diri sejauh maka kita ‘berkumpul dalam nama Tuhan’.

“Di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka." (Mat 18:20)

Memang ada kecenderungan hati dan pikiran kita untuk lebih melihat kekurangan dan kelemahan orang lain daripada kebaikan dan kekuatannya. Baiklah jika memang demikian keberadaan kita, hendaknya kita hayati sabda Yesus "Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata” (Mat 18:15). Kita diharapkan untuk melokalisir kesalahan dan kekurangan orang lain, memperkecil bukan memperbesar; hendaknya jangan menceriterakan kesalahan orang lain tanpa izin dari yang bersangkutan, dan pertama-tama tunjukkan dengan rendah hati kesalahan orang tersebut secara langsung di hadapannya, tanpa ada orang ketiga alias ‘empat mata’.

Sebagai orang beriman kita semua dipanggil untuk hidup dan bertindak ‘dalam nama Tuhan’ dimanapun dan kapanpun; dalam nama Tuhan berarti dikuasai oleh Tuhan, sehingga mau tak mau harus melaksanakan kehendak atau perintah Tuhan. Kehendak atau perintah Tuhan antara lain tertulis di dalam Kitab Suci, maka hendaknya rajin membaca dan merenungkan apa yang tertulis di dalam Kitab Suci. Setiap hari dengan rendah hati saya kutipkan perikop dari Kitab Suci sesuai dengan Kalendarium Liturgi serta refleksi sederhana dan singkat, dengan harapan dapat membantu anda dalam membaca dan merenungkan sabda Tuhan sebagaimana tertulis di dalam Kitab Suci. Maka dengan senang hati saya tidak berkeberatan jika apa yang saya kutipkan dan refleksikan dibacakan dan direnungkan kembali, entah secara pribadi atau bersama-sama, misalnya di dalam keluarga, lingkungan atau stasi.

‘Berkumpul dalam nama Tuhan’ juga dapat berarti bersama-sama saling tukar pengalaman atau sharing pengalaman iman, pengalaman hidup dan bersatu dengan Tuhan dalam hidup sehari-hari alias menceriterakan apa-apa yang baik, menyelamatkan dan membahagiakan, terutama keselamatan dan kebahagiaan jiwa. Kami percaya masing-masing dari kita lebih memiliki pengalaman yang baik daripada pengalaman yang buruk, yang menggairahkan daripada yang membuat loyo atau frustrasi. Kebiasaan untuk saling berbagi pengalaman iman, apa yang baik, menyelamatkan dan membahagiakan ini hendaknya sedini mungkin dididikkan pada anak-anak di dalam keluarga dengan teladan konkret dari orangtua. Maka baiklah jika di dalam keluarga diusahakan seoptimal mungkin dapat berkumpul bersaman setiap hari bagi seluruh anggota keluarga, misalnya pada sore hari seraya makan bersama. Selama makan bersama ini kiranya dapat saling curhat perihal pengalaman baik sepanjang hari. Selesai makan bersama baiklah diadakan doa/ibadat bersama singkat antara lain dibacakan dan didengarkan bersama sabda Tuhan pada hari yang bersangkutan, sesuai dengan petunjuk dari Kalendarium Liturgi. Dalam doa/ibadat bersama ini hendaknya juga diadakan doa-doa spontan: permohonan, syukur dan terima kasih kepada Tuhan. Ingat dan hayati sabda-Nya “Aku berkata kepadamu: Jika dua orang dari padamu di dunia ini sepakat meminta apa pun juga, permintaan mereka itu akan dikabulkan oleh Bapa-Ku yang di sorga. Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.” (Mat 18:19-20)

“Janganlah kamu berhutang apa-apa kepada siapa pun juga, tetapi hendaklah kamu saling mengasihi. Sebab barangsiapa mengasihi sesamanya manusia, ia sudah memenuhi hukum Taurat. Karena firman: jangan berzinah, jangan membunuh, jangan mencuri, jangan mengingini dan firman lain mana pun juga, sudah tersimpul dalam firman ini, yaitu: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri! Kasih tidak berbuat jahat terhadap sesama manusia, karena itu kasih adalah kegenapan hukum Taurat” (Rm 13:8-10)

Kita semua dipanggil untuk hidup dan bertindak saling mengasihi serta ‘jangan berzinah, jangan membunuh, jangan mencuri’. Ngrumpi atau ngrasani hemat saya merupakan tindakan lembut atau halus dari membunuh, karena berarti menghendaki apa yang saya ceriterakan tidak ada; tindakan membunuh yang paling lembut ialah mengeluh atau menggerutu. Bukankah mengeluh atau menggerutu juga berarti merusak hidup saling mengasihi alias berlawanan dengan perintah saling mengasihi? Seluruh apa yang tertulis di dalam Kitab Suci hemat saya ditulis dalam dan oleh cintakasih dengan harapan siapapun yang membaca dan merenungkannya akan hidup saling mengasihi; seluruh isi Kitab Suci hemat saya juga dapat dipadatkan dalam perintah untuk saling mengasihi. “Kasih adalah kegenapan hukum Taurat”, demikian kata Paulus, maka kasih juga kegenapan aneka macam tata tertib atau aturan. Berzinah, membunuh dan mencuri merupakan pelanggaran tata tertib, dan dengan demikian juga melawan kasih sejati. Berzinah, entah dengan diri sendiri atau dengan orang lain, merupakan pelecehan terhadap harkat martabat manusia, yang diciptakan sesuai dengan gambar atau citra Allah, demikian juga membunuh maupun mencuri. Pencurian pada umumnya dilakukan secara diam-diam, demikian juga perzinahan; korupsi juga merupakan salah satu bentuk pencurian yang sungguh merugikan. Ingat korupsi yang telah dilakukan oleh Nazarudin telah menyita waktu dan tenaga para elite politik maupun pemerintahan untuk saling membenarkan diri alias mencari keuntungan diri sendiri dan kurang memperhatikan kepentingan atau kebutuhan rakyat. Berbulan-bulan waktu dan tenaga tercurahkan pada kasus korupsi Nazarudin, sehingga orang lupa akan hidup saling mengasihi.

“Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri”, demikian perintah kasih dari Tuhan yang diangkat kembali oleh Paulus. Saya yakin tak ada seorangpun di antara kita yang suka disakiti atau dilecehkan, sebaliknya dambaannya adalah dihormati, dipuji dan dijunjung tinggi, maka baiklah agar kita dihormati, dipuji dan dijunjung tinggi, marilah kita juga menghormati, memuji dan menunjung tinggi orang lain. Dengan kata lain marilah kita saling menghormati, memuji dan menunjung tinggi, sebagai ciptaan terluhur dan termulia di bumi ini. Hendaknya kita tidak saling menyakiti, melecehkan atau mengecewakan. Marilah kita renungkan peringatan Yeheskiel di bawah ini.

“Jikalau engkau memperingatkan orang jahat itu supaya ia bertobat dari hidupnya, tetapi ia tidak mau bertobat, ia akan mati dalam kesalahannya, tetapi engkau telah menyelamatkan nyawamu” (Yeh 33:9). Mengingatkan orang berdosa agar bertobat, itulah panggilan dan tugas pengutusan kita semua sebagai orang beriman. Maka baiklah jika ada saudara-saudari kita yang melakukan apa yang tidak baik atau tak bermoral, hendaknya sesegera mungkin diperingatkan, dan jangan ditunda-tunda. Dengan kata lain jika kita melihat apa yang tidak baik, hendaknya segera diperbaiki, apa yang tak teratur segera kita atur , dst..

“Masuklah, marilah kita sujud menyembah, berlutut di hadapan TUHAN yang menjadikan kita. Sebab Dialah Allah kita, dan kitalah umat gembalaan-Nya dan kawanan domba tuntunan tangan-Nya. Pada hari ini, sekiranya kamu mendengar suara-Nya! Janganlah keraskan hatimu seperti di Meriba, seperti pada hari di Masa di padang gurun, pada waktu nenek moyangmu mencobai Aku, menguji Aku, padahal mereka melihat perbuatan-Ku.” (Mzm 95:6-9)


Minggu, 4 September 2011

Romo Ignatius Sumarya SJ

Mohon doa, ibu saya Agata Sutareja tadi pagi pk 06.20 dipanggil Tuhan dalam usia 88 tahun. Dimakamkan hari Minggu pk 11.00 Misa Requiem di desa Sumyang, Jogonalan Klaten

Berita Duka

Telah berpulang ke Rumah Bapa di Surga ibu Agata Sutareja (ibu Romo Ign Sumarya, SJ) tadi pagi (Sabtu, 3 September 2011) pk 06.20 dipanggil Tuhan dalam usia 88 tahun. Dimakamkan hari Minggu, 4 September 2011 pk 11.00 Misa Requiem di desa Sumyang, Jogonalan Klaten

Semoga jiwanya berbahagia disurga dan keluarga diberi ketabahan dan kekuatan iman. Sugeng tindak Ibu Agata Suterejo. Tuhan senantiasa memberkati.

"Di manakah kita akan membeli roti supaya mereka ini dapat makan?" (Kol 1:21-23; Mzm 54:3-4.6.8; Luk 6:1-5)

“Pada suatu hari Sabat Yesus dan murid-murid-Nya berjalan di ladang gandum. Para murid memetik bulir gandum dan memakannya, sementara mereka menggisarnya dengan tangannya. Tetapi beberapa orang Farisi berkata: "Mengapa kamu berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan pada hari Sabat?" Lalu Yesus menjawab mereka: "Tidakkah kamu baca apa yang dilakukan oleh Daud, ketika ia dan mereka yang mengikutinya lapar, bagaimana ia masuk ke dalam Rumah Allah dan mengambil roti sajian, lalu memakannya dan memberikannya kepada pengikut-pengikutnya, padahal roti itu tidak boleh dimakan kecuali oleh imam-imam?" Kata Yesus lagi kepada mereka: "Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat." (Luk 6:1-5), demikian kutipan Warta Gembira hari ini

Berrefleksi atas bacaan-bacaan serta mengenangkan peringatan wajib St. Gregorius Agung, Paus dan Pujangga Gereja, hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

• Paus adalah penerus Yesus, Gembala Utama, yang bertugas untuk menggembalakan seluruh umat Allah di dunia. Sebagaimana dihayati oleh Yesus, yang minta bantuan para murid-Nya dalam melaksanakan tugas pengutusan-Nya, demikian juga Paus dibantu para kardinal, uskup, imam, biarawan-biarawati, kaum awam, dst... dalam menggembalakan umat Allah. Maka marilah kita semua ,yang terpanggil untuk membantu fungsi penggembalaan Paus, menanggapi sabda Yesus “Di manakah kita akan membeli roti, supaya mereka ini dapat makan?”. Di lingkungan hidup maupun kerja kita kiranya masih cukup banyak orang yang lapar dan haus, entah secara phisik maupun spiritual, maka marilah kita dengan besar hati berkorban untuk membantu mereka; marilah kita bagikan kekayaan kita kepada mereka. Bagi yang kaya akan harta benda atau uang hendaknya menyisihkan sebagian kekayaannya untuk disumbangkan bagi mereka yang sungguh membutuhkan, sedangkan bagi yang kaya akan nilai-nilai atau keutamaan-keutamaan, keterampilan atau pengetahuan, hendaknya berani meluangkan waktu dan tenaga untuk membagikannya kepada mereka yang lapar dan haus akan nilai, keutamaan, keterampilan maupun pengetahuan. Pada dasarnya sebagai manusia, kita adalah makhluk sosial, ‘to be man or woman with/for others’, maka marilah kita hayati dan wujudkan jati diri kita ini dengan bermurah hati dan berbelas-kasih bagi mereka yang lapar dan haus. Jauhkan aneka bentuk egois yang akan mencelakakan kita, dan hendaknya anak-anak sedini mungkin di dalam keluarga dibina dan dididik untuk sosial terhadap saudara-saudarinya atau teman-temannya, dengan teladan konkret dari orangtua masing-masing.

• “Kamu harus bertekun dalam iman, tetap teguh dan tidak bergoncang, dan jangan mau digeser dari pengharapan Injil, yang telah kamu dengar dan yang telah dikabarkan di seluruh alam di bawah langit, dan yang aku ini, Paulus, telah menjadi pelayannya.” (Kol 1:23), demikian saran Paulus kepada umat di Kolose. Marilah saran ini kita renungkan atau refleksikan. Sebagai orang beriman kita diharapkan ‘bertekun dalam iman, tetap teguh dan tidak bergoncang’. Memang pada masa kini cukup banyak rayuan atau tawaran berupa kenikmatan-kenikmatan duniawi, yang menggerogoti iman kita serta dapat melumpuhkan iman kita. Sebagai contoh adalah rayuan atau tawaran berupa uang; kiranya cukup banyak orang menjadi rapuh atau lemah imannya karena uang. Uang memang dapat menjadi jalan ke neraka atau jalan ke sorga, dan sebagai umat beriman kita diharapkan memfungsikan uang sebagai jalan ke sorga. Maka baiklah kita jujur dan transparan dalam menggunakan uang, sesuai dengan pedoman ‘intentio dantis’ (=maksud pemberi), tentu saja maksud di sini adalah maksud yang baik dan menyelamatkan jiwa manusia. Secara khusus kami berharap kepada mereka yang bertugas untuk mengurus atau mengelola uang dalam berorganisasi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, untuk ‘tetap teguh dan tidak tergoncang’ dalam menghadapi aneka rangsangan, rayuan atau tawaran untuk korupsi. Kami berharap kepada mereka yang berkarya di lingkungan Departemen Agama maupun Departemen Pendidikan dapat menjadi teladan dalam keteguhan dan ketekunan iman, sehingga tidak melakukan korupsi sedikitpun. Kemerosotan moral yang masih terus terjadi di hampir semua bidang kehidupan bersama masa kini hemat saya antara lain disebabkan kerapuhan iman mereka yang berkarya di dalam lingkungan Departemen Agama maupun Departemen Pendidikan. Ingat dan sadari bahwa para koruptor pernah bersekolah dan mengaku beragama, yang berarti terjadi kerapuhan iman dalam pengelolaan atau pengurusan sekolah maupun agama.

“Ya Allah, selamatkanlah aku karena nama-Mu, berilah keadilan kepadaku karena keperkasaan-Mu! Ya Allah, dengarkanlah doaku, berilah telinga kepada ucapan mulutku! Sesungguhnya, Allah adalah penolongku; Tuhanlah yang menopang aku” (Mzm 54:3-4.6)


Sabtu, 3 September 2011


Romo Ignatius Sumarya, SJ

Pertemuan I BKSN 2011: Perumpamaan orang Samaria yang baik hati


Pengantar Singkat

Awal Bulan Kitab Suci Nasional adalah keprihatinan Gereja bahwa umat kurang akrab dengan kitab suci. Tahun 1975 Lembaga Biblika Indonesia menyarankan agar tiap paroki mengadakan misa Syukur dalam bulan Agustus untuk menyambut terbitnya Alkitab ekumenis. Di tahun 1976 ditentukan Minggu Kitab Suci yang tahun itu jatuh pada tanggal 24/25 Juli 1976. Selanjutnya sidang MAWI 1977 menetapkan hari minggu pertama bulan September sebagai Hari Minggu Kitab Suci Nasional (HMKSN). Dalam perkembangannya satu minggu dalam setahun dirasakan kurang, maka ditetapkanlah bulan September sebagai Bulan Kitab Suci Nasional, yang diisi dengan pelbagai kegiatan bersangkutan dengan Kitab Suci. Hal ini masih berlangsung sampai sekarang.

Pada tahun 2011 ini ada empat perumpamaan yang dipilih untuk dijadikan bahan renungan serta pembelajaran bersama dalam Bulan Kitab Suci ini, yaitu:

1. Orang Samaria Yang Baik Hati (Luk.10:25-37)
2. Anak Yang Hilang (Luk 15:1-32)
3. Lalang di Ladang Gandum (Mat. 13:24-30)
4. Pengampunan (Mat. 18:21-35).

Kedua perumpamaan yang pertama hanya terdapat di dalam Injil Lukas, sedang kedua perumpamaan terakhir hanya terdapat di dalam Injil Matius. Pemilihan keempat perumpamaan tersebut didasari oleh isinya yang relevan untuk situasi kita bersama saat ini. Kita mencoba bersama-sama menggali pesan-pesan perumpamaan dalam bentuk sharing, berbagi pengalaman dan berbagi pendapat. Bulan September ini kita memasuki bulan Kitab Suci, marilah setiap hari kita membaca dan merenungkan apa yang tertulis dalam Kitab suci, aktif mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada di lingkungan, wilayah maupun Sarasehan Kitab Suci yang diselenggarakan di Paroki dan kiranya juga dapat memanfaatkan tulisan-tulisan renungan yang ada di blog ini.

Pertemuan I. Perumpamaan orang Samaria yang baik hati


INJIL Lukas 10:25-37

Pada suatu ketika, seorang ahli kitab berdiri hendak mencobai Yesus, "Guru, apakah yang harus kulakukan untuk memperoleh hidup yang kekal?" Jawab Yesus kepadanya, "Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?" Jawab orang itu, "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hati dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu. Dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." Kata Yesus kepadanya, "Benar jawabmu itu. Perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup." Tetapi untuk membenarkan dirinya orang itu berkata lagi, "Dan siapakah sesamaku manusia?" Jawab Yesus, "Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho. Ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi juga memukulnya, dan sesudah itu meninggalkannya setengah mati. Kebetulan ada seorang imam turun melalui jalan itu. Ia melihat orang itu, tetapi ia melewatinya dari seberang jalan. Demikian juga seorang Lewi datang ke tempat itu. Ketika melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan. Lalu datanglah ke tempat itu seorang Samaria yang sedang dalam perjalanan. Ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasih. Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya. Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya, 'Rawatlah dia, dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya waktu aku kembali.' Menurut pendapatmu siapakah di antara ketiga orang ini adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?" Jawab orang itu, "Orang yang telah menunjukkan belas kasih kepadanya." Yesus berkata kepadanya, "Pergilah, dan lakukanlah demikian!"

***


Meskipun tidak jelas-jelas disebutkan, kisah orang Samaria yang baik hati dalam Luk 10:25-37 adalah sebuah perumpamaan. Yesus menampilkannya dalam pembicaraan dengan seorang ahli Taurat. Marilah kita simak latar perumpamaan ini.

HIDUP KEKAL = DASAR DIALOG IMAN?

Apa yang mesti dilakukan untuk memperoleh kehidupan kekal? Masalah yang diungkapkan ahli Taurat kepada Yesus ini menyuarakan pertanyaan dalam diri banyak orang. Orang merasa adanya kaitan antara kehidupan sekarang dan nanti. Bila orang dapat membiasakan diri menerima kehadiran Yang Mahakuasa, tentunya nanti dalam kehidupan selanjutnya ia akan diingat olehNya. Bila orang berusaha berbuat baik kepada orang lain, rasa-rasanya juga tidak akan terlantar bila sudah pindah ke dunia sana nanti. Meski tidak ada jaminan yang pasti, keyakinan seperti ini menjadi dasar iman dalam arti yang paling umum yang diajarkan tiap agama. Bila begitu, mengapa dialog antar iman yang kerap dilakukan di banyak tempat di negeri kita ini jarang menyentuh dasar yang paling umum dari iman sendiri? Sedemikian lumrah sehingga terabaikan? Pokok ini bisa juga menjadi dasar dialog iman tanpa segera mengarah pada perbedaan agama seperti bacaan hari ini.

Baik Yesus maupun ahli Taurat mempunyai jawaban yang sama bagi pertanyaan bagaimana memperoleh kehidupan kekal tadi. Memang disebutkan bahwa sang ahli Taurat bermaksud "mencobai" Yesus. Maksudnya untuk menguji apa guru dari kalangan bukan resmi ini juga paham apa masalahnya. Yesus menggulirkan pertanyaannya kembali kepadanya. Tentu ahli Taurat itu senang mendapat kesempatan mengutarakan tesis baru mengenai soal iman tadi. Begitulah dalam ayat 27 ("Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hati, dengan segenap jiwamu, dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akalbudimu"), ia merumuskan kembali Ul 6:5 ("Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap kekuatanmu") dan menggabungkannya dengan Im 19:8 ("Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri."). Kedua perintah itu diketahui dan dipercaya orang, tetapi gabungan antara keduanya sebagai jalan emas untuk mencapai kehidupan kekal belum biasa terdengar di antara orang Yahudi. Lagipula apa hubungan antara keduanya, yang satu mewujudkan yang lain, atau dua hal terpisah dijalankan bersama?

DARI PERSPEKTIF PERJANJIAN LAMA

Perintah mengasihi Tuhan itu bagian dari ungkapan "Syema' Israel" ("Dengarkanlah hai Israel!") yakni ungkapan kepercayaan atau syahadat mereka, "Dengarkanlah hai Israel, Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu esa!" (Ul 6:4) dan dalam ayat selanjutnya (Ul 6:5) dilanjutkan dengan kata-kata yang dikutip ahli Taurat tadi, yakni "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu." Teks ini menyebut tiga unsur yang dijelaskan dengan kata "segenap". Ahli Taurat tadi menambahkan hal keempat, yakni "segenap akalbudi" (Luk 10:27; Yesus juga menyebutkannya dalam Mrk 12:30 juga dalam Mat 22:37, walaupun Matius tidak menyebutkan "dan dengan segenap kekuatanmu"). Masalah teks ini tidak sukar dijelaskan. Dalam alam pikiran Ibrani, "hati" aslinya ialah tempat bernalar, jadi sama dengan akalbudi. Namun kemudian "hati" juga dimengerti sebagai tempat afeksi, termasuk iba hati, yang dulu-dulunya dibayangkan bertempat di perut. Beriba hati diungkapkan dengan "rahimnya tergetar", "isi perutnya terpilin-pilin", tergerak hatinya, seperti orang Samaria dalam Luk 10:33. Karena perkembangan itu maka dalam penerusan ayat tadi sering ditambahkan penjelasan mengenai yang sesungguhnya dimaksud dengan "segenap hati" tadi, yakni "seluruh akalbudi". Penjelasan ini ditaruh pada akhir ayat sehingga tidak memecah rumusan asli.

Mengasihi Tuhan dengan segenap hati maksudnya ialah memikirkannya dengan sungguh, mencari tahu sampai ke dasar-dasarnya, mempelajari siapa Dia itu, mencoba mengerti kebesaranNya, juga dengan filsafat. Dengan "segenap jiwa" artinya tidak berpura-pura, di luar tampaknya penuh perhatian tapi di dalamnya tak peduli, atau ada udang di balik batu, ada agenda tersembunyi. Orang sekarang akan merumuskannya dengan gagasan "integritas". Akhirnya, "segenap kekuatan" berarti kekayaan, harta, kedudukan, kepandaian, ketrampilan, apa saja yang dimiliki yang dapat membuat orang jadi terpandang. Semua hal yang ada pada manusia itu, hati/budi, integritas, kemampuan dapat diamalkan sehingga ungkapan "mengasihi Tuhan" makin berarti. Jadi mengasihi Tuhan itu sama dengan menjadi manusia yang makin utuh.

TASIR MENGASIHI SESAMA

Bagian kedua dari kutipan ahli Taurat tadi merujuk kepada Im 19:18, yakni mengasihi sesama "seperti dirimu sendiri". Apa artinya? Mengasihi orang lain dengan cara seperti layaknya kita memperhatikan diri kita sendiri, seperti yang ada dalam petuah emas "lakukan kepada orang lain seperti apa yang kauinginkan terjadi padamu"? Memang sering ditafsirkan demikian. Namun kalimat itu sebenarnya lebih sederhana: kasihilah sesamamu mengingat sesama itu ya seperti kamu-kamu juga. Sama-sama butuh keselamatan, sama-sama mau mendapat kebahagiaan dalam hidup kekal nanti. Jadi di sini ada ajakan menumbuhkan solidaritas di antara orang-orang yang berkemauan baik.

MENENGOK INJIL MARKUS

Apa arti penggabungan perintah mengasihi sesama dalam Im 19:18 dengan perintah mengasihi Tuhan dalam Ul 6:5 tadi? Inilah pokok masalah yang sebenarnya ingin diajukan ahli Taurat tadi. Ia ingin tahu apa Yesus paham perkaranya. Apa bagi Yesus perintah yang pertama belum cukup dan harus digabung dengan yang kedua? Atau yang pertama itu mengharuskan yang kedua? Atau yang pertama itu bisa dilaksanakan dengan yang kedua, jadi yang kedua itu bentuk nyata dari yang pertama? Ahli Taurat itu mau tahu apa Yesus memiliki kemampuan berteologi atau hanya tahu abece katekismus saja.

Hal ini sudah pernah muncul dalam Mrk 12:28-34 (lihat juga Mat 22:34-40). Seorang ahli Taurat bertanya kepada Yesus manakah perintah yang utama. Jawab Yesus dalam Mrk 12:29-31 sama dengan kata-kata ahli Taurat dalam Luk 10:27 tadi. Dalam Mrk 12:32-33 sang ahli Taurat membenarkan Yesus dengan mengulang kedua perintah itu sambil menambahkan "[mengasihi Tuhan] dan mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri jauh lebih utama daripada semua kurban bakaran dan kurban lainnya." Pernyataan "lebih utama" itu jelas terlihat dalam teks aslinya dimaksud sebagai predikat "mengasihi sesama..." Ini pernyataan yang amat berani. Ahli Taurat dalam Mrk 12:33 tadi menandaskan bahwa beragama itu intinya mengasihi sesama manusia - ini lebih utama dari pada semua praktek yang langsung meluhurkan dan mengasihi Tuhan, yakni segala macam kurban, segala macam upacara. Markus mencatat bahwa Yesus melihat ahli Taurat itu menjawab dengan bijaksana dan menyatakan bahwa ia tidak jauh dari Kerajaan Allah (Mrk 12:34).

Di kalangan orang Yahudi menjelang zaman Yesus ada pelbagai aliran kebatinan yang menekankan kesatuan antara kedua perintah tadi sambil menegaskan bahwa mengasihi sesama adalah jalan yang paling membuat orang sungguh mengasihi Tuhan. Pengajaran Yesus sendiri juga ada dalam arah itu. Nanti dalam ajaran mistik Yahudi dalam Abad Pertengahan, manusia kerap digambarkan sebagai percikan api yang asalnya dari Tuhan. Artinya dalam diri manusia ada secercah terang yang membawanya kembali kepadaNya, tanpa susah-susah, asal diterima. Jadi terimalah sesama karena ia juga mempunyai recikan keilahian yang sama, karena ia itu sesama itu gambar dan rupa ilahi. Sering ada ketegangan dengan mereka yang lebih melihat kedua perintah itu sebagai dua hal, bukan satu hal. Yesus mengatakan dalam Mrk 12:34 bahwa ahli Taurat yang bijaksana itu tidak jauh dari Kerajaan Allah, maksudnya, pemikiran ahli Taurat tadi amat dekat dengan warta Yesus sendiri. Pembicaraan dalam Luk 10:25-28 yang mendahului perumpamaan orang Samaria yang baik hati itu cerminan Mrk 12:28-34. Lukas mengolahnya dengan kisah orang Samaria yang baik hati.

ORANG SAMARIA

Ahli Taurat dalam Luk 10:25-37 itu mau tahu apakah Yesus paham di sini ada perkara teologis yang hanya bisa dipecahkan dengan kebijaksanaan seperti dalam Markus tadi. Apa Yesus itu orang yang hanya asal percaya huruf atau bisa dianggap kolega yang pintar berusaha mengerti ayat-ayat? Jawaban Yesus yang mengiakan itu memberi kesan seakan-akan ia tidak melihat apa yang diarah ahli Taurat tadi. Aha! Makin jelas perkaranya nih, begitu pikir sang ahli Taurat girang. Makin empuk mendekat ke pemecahan. Lalu kata Lukas yang sebenarnya memoderatori seminar antar pakar agama itu, ahli Taurat tadi bertanya lagi "untuk membenarkan dirinya" (ayat 28), dan mengungkapkan pokok masalah kedua: "Siapakah sesamaku manusia itu?"

Dengan bercerita mengenai orang Samaria yang baik hati itu Yesus menuntun ahli Taurat tadi sampai pada kebenaran. Tapi caranya khas. Ia dibawa ke arah yang berlawanan dan baru pada akhir orang dihadapkan pada jawaban sesungguhnya. Ahli Taurat itu mau tahu siapa sesama manusia dan perumpamaan itu pasti membuatnya mengira bahwa Yesus mau mengatakan bahwa sesama manusia ialah orang yang malang yang tak ditolong oleh kaumnya sendiri itu. Seolah-olah mau diajarkan bahwa pemuka Yahudi mestinya sadar bahwa mengasihi sesama itu mengasihi orang yang kena malang. Namun mereka sudah tahu. Pada akhir cerita itu (ayat 36) Yesus bertanya dan membuat orang sadar akan arah yang semestinya dipikirkan. Siapakah dari antara ketiga orang itu adalah sesama bagi orang malang itu? Tak bisa lagi dielakkan, sesama manusia bagi orang malang itu ialah orang Samaria tadi.

Orang dituntun beralih dari bertanya "Siapakah sesamaku?" menuju ke pemeriksaan diri "Aku ini sesama bagi siapa?" Kejujuran, kebaikan hati, kemauan menolong tidak menjadi pusat perhatian. Semua ini diandaikan ada. Yang mesti ditanyakan, semua ini kupunyai untuk siapa? Dengan semua ini aku bisa menjadi sesama bagi siapa? Lebih maju lagi, dengan menjadi "sesama" ini, bisakah aku makin menjadi jalan bagi sesama itu untuk tahu apa itu "mengasihi Tuhan dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap kekuatan dan segenap akalbudi"? Bila orang sampai ke situ, boleh dibayangkan Yesus juga akan menyapanya dengan penuh pengertian, "Sana, jalankanlah!".

Salam hangat,

Romo. A. Gianto, SJ


(sumber renungan: www.mirifica.net)

“Anggur yang baru harus disimpan dalam kantong yang baru pula” (Kol 1:15-20; Mzm 100:2-5; Luk 5:33-39)

“Orang-orang Farisi itu berkata pula kepada Yesus: "Murid-murid Yohanes sering berpuasa dan sembahyang, demikian juga murid-murid orang Farisi, tetapi murid-murid-Mu makan dan minum." Jawab Yesus kepada mereka: "Dapatkah sahabat mempelai laki-laki disuruh berpuasa, sedang mempelai itu bersama mereka? Tetapi akan datang waktunya, apabila mempelai itu diambil dari mereka, pada waktu itulah mereka akan berpuasa." Ia mengatakan juga suatu perumpamaan kepada mereka: "Tidak seorang pun mengoyakkan secarik kain dari baju yang baru untuk menambalkannya pada baju yang tua. Jika demikian, yang baru itu juga akan koyak dan pada yang tua itu tidak akan cocok kain penambal yang dikoyakkan dari yang baru itu. Demikian juga tidak seorang pun mengisikan anggur yang baru ke dalam kantong kulit yang tua, karena jika demikian, anggur yang baru itu akan mengoyakkan kantong itu dan anggur itu akan terbuang dan kantong itu pun hancur. Tetapi anggur yang baru harus disimpan dalam kantong yang baru pula. Dan tidak seorang pun yang telah minum anggur tua ingin minum anggur yang baru, sebab ia akan berkata: Anggur yang tua itu baik." (Luk 5:33-39), demikian kutipan Warta Gembira hari ini

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

• “Demenyar = demen sing anyar” (suka yang baru), demikian bunyi peribahasa Jawa, yang menggambarkan orang yang senantiasa suka pada apa-apa yang baru, maka yang bersangkutan ketika ada barang baru senantiasa membeli atau mengusahakan. Memang pada umumnya orang bergairah untuk mendapatkan sesuatu yang baru, namun lemah atau kurang dalam merawat atau memelihara yang baru, yang diperolehnya tersebut. “Anggur yang baru harus disimpan dalam kantong yang baru pula”, demikian sabda Yesus. Sabda ini kiranya mengajak dan memanggil kita untuk senantiasa memperbaha-rui diri, sesuai dengan motto “ecclesia semper reformanda est” (=Gereja harus selalu diperbaharui). Yang dimaksudkan dengan Gereja adalah kita semua yang beriman kepada Yesus Kristus khususnya, tetapi bolehlah saya juga mengenakan pada seluruh umat beriman. Secara konkret ajakan atau panggilan tersebut antara lain dapat dihayati: (1) sebagai yang telah dibaptis hendaknya hidup dan bertindak sesuai dengan janji baptis, (2) sebagai suami-isteri hendaknya hidup dan bertindak sesuai dengan janji perkawinan, yang berarti laki-laki dan perempuan telah menjadi satu dan bukan dua lagi, maka hendaknya senantiasa diusahakan kesatuan dalam berbagai hal, (3) sebagai anggota lembaga hidup baik, biarawan dan biarawati, hendaknya hidup dan bertindak sesuai dengan karisma pendiri, (4) sebagai imam hendaknya setia menjadi penyalur rahmat Tuhan bagi sesamanya, dst.. Untuk itu semua kiranya dibutuhkan matiraga alias pengendalian nafsu anggota tubuh agar bergerak atau berfungsi sesuai dengan kehendak Ilahi. Hari-hari ini semangat baru, dalam merayakan Idul Fitri, kiranya masih menggema, maka kami berharap semangat tersebut terus diperkembangkan dan diperdalam dalam hidup sehari-hari di kemudian hari.

• “Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan, karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia” (Kol 1:15-16). Yang dimaksudkan dengan ‘Ia’ disini adalah Yesus Kristus. Kita semua yang beriman kepada-Nya dipanggil untuk meneladan-Nya, maka marilah kita mawas diri apakah kita layak menjadi ‘gambar Allah yang tidak kelihatan’. Baiklah kita sadari bahwa masing-masing dari kita diciptakan oleh Allah sesuai dengan gambar atau citra-Nya, namun kiranya dalam perjalanan waktu hal tersebut mengalami erosi atau kemerosotan karena kelalaian atau kesambalewaan kita. Marilah ‘back to basic’, kembali ke jati diri kita yang sejati sebagai gambar atau citra Allah, dan memang untuk itu butuh matiraga. Menjadi gambar atau citra Allah antara lain berarti siapapun yang bertemu, bergaul dan bercakap-cakap dengan kita tergerak untuk semakin mempersembahkan dirinya kepada Allah, semakin suci, semakin beriman. Allah adalah kasih, maka sebagai gambar atau citra Allah berarti hidup dan bertindak dalam serta oleh kasih, yang antara lain menjadi nyata dalam “sabar, murah hati, tidak cemburu, tidak memegahkan diri dan tidak sombong, tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri, tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain, tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran, menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu” (1Kor 13:4-7).

“Beribadahlah kepada TUHAN dengan sukacita, datanglah ke hadapan-Nya dengan sorak-sorai! Ketahuilah, bahwa TUHANlah Allah; Dialah yang menjadikan kita dan punya Dialah kita, umat-Nya dan kawanan domba gembalaan-Nya. Masuklah melalui pintu gerbang-Nya dengan nyanyian syukur, ke dalam pelataran-Nya dengan puji-pujian, bersyukurlah kepada-Nya dan pujilah nama-Nya! Sebab TUHAN itu baik, kasih setia-Nya untuk selama-lamanya, dan kesetiaan-Nya tetap turun-temurun” (Mzm 100:2-5)


Jumat, 2 September 2011


Romo Ign Sumarya, SJ

"Jangan takut mulai dari sekarang engkau akan menjala manusia." (Kol 1:9-14; Mzm 98:2-6; Luk 5:1-11)


“ Pada suatu kali Yesus berdiri di pantai danau Genesaret, sedang orang banyak mengerumuni Dia hendak mendengarkan firman Allah. Ia melihat dua perahu di tepi pantai. Nelayan-nelayannya telah turun dan sedang membasuh jalanya. Ia naik ke dalam salah satu perahu itu, yaitu perahu Simon, dan menyuruh dia supaya menolakkan perahunya sedikit jauh dari pantai. Lalu Ia duduk dan mengajar orang banyak dari atas perahu. Setelah selesai berbicara, Ia berkata kepada Simon: "Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan." Simon menjawab: "Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa, tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga." Dan setelah mereka melakukannya, mereka menangkap sejumlah besar ikan, sehingga jala mereka mulai koyak. Lalu mereka memberi isyarat kepada teman-temannya di perahu yang lain supaya mereka datang membantunya. Dan mereka itu datang, lalu mereka bersama-sama mengisi kedua perahu itu dengan ikan hingga hampir tenggelam. Ketika Simon Petrus melihat hal itu ia pun tersungkur di depan Yesus dan berkata: "Tuhan, pergilah dari padaku, karena aku ini seorang berdosa." Sebab ia dan semua orang yang bersama-sama dengan dia takjub oleh karena banyaknya ikan yang mereka tangkap; demikian juga Yakobus dan Yohanes, anak-anak Zebedeus, yang menjadi teman Simon. Kata Yesus kepada Simon: "Jangan takut, mulai dari sekarang engkau akan menjala manusia." Dan sesudah mereka menghela perahu-perahunya ke darat, mereka pun meninggalkan segala sesuatu, lalu mengikut Yesus.” (Luk 5:1-11), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

• Hidup terpanggil menjadi imam, bruder atau suster maupun aneka jabatan atau fungsi dalam hidup dan kerja bersama hemat saya merupakan pengembangan dan pendalaman aneka bakat dan keterampilan alias anugerah Tuhan yang kita terima dalam kehidupan masa kanak-kanak dan remaja kita di dalam keluarga maupun masyarakat. Mereka yang pada masa dewasanya menjadi imam, bruder atau suster ataupun pejabat dan pegawai rajin, tekun, bekerja keras, disiplin, cermat, kreatif, proaktif, dst…pada umumnya sifat-sifat tersebut telah dididikkan atau dibiasakan oleh orangtua maupun lingkungan hidupnya. Itulah yang terjadi dalam diri para rasul dari penjala ikan ditingkatan menjadi penjala manusia. Sabda hari ini mengingatkan dan mengajak kita semua untuk senantiasa mengutamakan atau mengedepankan keselamatan jiwa manusia dalam cara hidup dan cara bertindak kita dimanapun dan kapanpun. Maka marilah kita fungsikan bakat, keterampilan serta kecerdasan kita untuk hidup dan bekerja demi keselamatan jiwa manusia. Kepada para pengusaha atau mereka yang mempekerjakan manusia kami harapkan sungguh memperhatikan keselamatan jiwa mereka; ingatlah dan hayati bahwa semakin mereka, para pekerja, semakin selamat dan sejahtera hidupnya berarti akan semakin sukses pula usaha anda. Hendaknya aneka macam usaha dan kesibukan senantiasa lebih mengutamakan keselamatan jiwa manusia daripada aneka macam sarana-prasarana lainnya. Dekati dan sikapi setiap manusia secara manusiawi serta cinta dengan segenap hati, jiwa, akal budi dan tenaga/kekuatan.

“Ia telah melepaskan kita dari kuasa kegelapan dan memindahkan kita ke dalam Kerajaan Anak-Nya yang kekasih; di dalam Dia kita memiliki penebusan kita, yaitu pengampunan dosa.” (Kol 1:13-14). Kutipan ini kiranya mengingatkan kita semua yang telah dibaptis, yaitu telah dipersatukan dengan Yesus Kristus alias menjadi sahabat-sahabat Yesus Kristus, hidup dan bertindak dengan menghayati sabda-sabda serta meneladan cara hidup dan cara bertindak-Nya. Dengan kata lain kita diharapkan hidup dalam ‘terang’, yang antara lain memiliki cirikhas jujur, transparan, terbuka, disiplin, tertib, teratur dst.. ; kemanapun kita pergi atau dimanapun kita berada senantiasa menerangi saudara-saudari kita, menjadi fasilitator bagi mereka, dst.. Maka marilah kita mawas diri apakah kita sungguh hidup dalam ‘terang’, senantiasa berbuat baik kepada sesama, serta tidak pernah mengewakan mereka. Hidup dalam terang juga berarti hidup dijiwai oleh Roh Kudus, sehingga kita memiliki dan menghayati keutamaan-keutamaan seperti “kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri” (Gal 5:22-23), sedangkan hidup dalam kegelapan berarti dijiwai oleh roh jahat atau setan, sehingga suka melakukan apa yang jahat, seperti “percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya” (Gal 5:19-21). Kami harapkan hidup dalam ‘terang’ sedini mungkin dibiasakan atau dididikkan bagi anak-anak di dalam keluarga dengan teladan konkret dari orangtua atau bapak-ibu.

“TUHAN telah memperkenalkan keselamatan yang dari pada-Nya, telah menyatakan keadilan-Nya di depan mata bangsa-bangsa.Ia mengingat kasih setia dan kesetiaan-Nya terhadap kaum Israel, segala ujung bumi telah melihat keselamatan yang dari pada Allah kita.Bersorak-soraklah bagi TUHAN, hai seluruh bumi, bergembiralah, bersorak-sorailah dan bermazmurlah! Bermazmurlah bagi TUHAN dengan kecapi, dengan kecapi dan lagu yang nyaring, dengan nafiri dan sangkakala yang nyaring bersorak-soraklah di hadapan Raja, yakni TUHAN!” (Mzm 98:2-6)


Kamis, 1 September 2011



Romo Ign Sumarya, SJ

Romo Josephus Wiharjono SJ, Spesialis Pelayanan Pastoral Pedesaaan


oleh Mathias Hariyadi


JAM baru menunjukkan pukul 11.00 menjelang tengah hari, ketika Toyota Hilux yang gagah perkasa menerobos masuk jalanan becek sempit ke kampung Taom, sebuah stasi udik sekitar 60 km dari Siem Reap, Kamboja. Perbincangan Sesawi.Net dengan Romo Stephanus “Panus” Winarta SJ –sang sopir Hilux—menghangat ketika berbincang mengenai Gereja Paroki St. Isidorus di Sukorejo, Weleri—tempat Romo Panus pernah berkarya selama 3 tahun sebelum akhirnya menjadi “misionaris” di Kamboja.

Salah satu bahan perbincangan tentu saja menyangkut hal-ikhwal Romo Josephus Wiharjono SJ yang pernah dikenal penulis ketika mengunjungi Paroki Sukorejo tahun 1985 untuk sebuah penelitian pastoral. Pun pula Romo Panus yang selalu mengingat Paroki Sukorejo –terutama Stasi Gemuh—yang berlokasi di dalam hutan dimana Suzuki Katana pastoran pernah berjalan tertatih-tatih menerobos jalanan super sempit agar tak masuk jurang.

Tentang Paroki St. Isidorus di Sukorejo di Kabupaten Kendal itulah, kami berdua lantas membicarakan Romo Josephus Wiharjono, pastur Yesuit berperawakan mungil pun murah senyum yang selalu mendapat tugas pelayanan pastoral spesialis permukiman udik.

“Ngrasani” romo yang akan meninggal

Ternyata 10 jam kemudian usai perbincangan di Taom, Siem Reap, Romo Wiharjono SJ diberitakan baru saja meninggal dunia karena sakit di RS Elizabeth Semarang. Pengalaman sama juga dicurahkan oleh Romo Ignatius Sumarya SJ, Rektor Seminari Menengah Mertoyudan. Sesaat setelah menyebut almarhum Romo Dr. Ignatius Wibowo SJ dalam doa umat di Kapel Kolese Kanisius beberapa bulan silam, demikian ‘isi curhatan’ Romo Maryo, ternyata beberapa menit kemudian romo spesialis studi China itu meninggal dunia.

“Selesai kotbah, saya mengaja umat ikut mendoakan Romo Bowo (saat itu tengah sakit keras) dan tiba-tiba saja kepada saya disodorkan secarik kertas oleh koster Kanisius. Beritanya mengejutkan: Romo Bowo baru saja dipanggil Tuhan. Waktunya kurang lebih sama ketika saya mendoakannya,” tulis Romo Maryo di milis intern eks Jesuit Indonesia.

Selasa (30/8) malam 2011, sambung Romo Maryo, bersama empat orang Nostri (para yesuit) yang berkarya di Seminari Mertoyudan mereka lagi ngrasani para rekan yesuit yang lagi terbaring sakit. “Salah satu orang yang kami bicarakan adalah Romo Wiharjono yang banyak penyakit yang besar kemungkinan tidak bisa disembuhkan,” tuturnya dalam milis Sesawi.

“Selesai makan malam, saya membuka email dan ternyata muncul berita lelayu: Romo Wiharjono dipanggil Tuhan persis ketika kami selesai membicarakannya di kamar makan,” tulis Romo Maryo.

Kenangan lama

20 tahun silam adalah perjalanan waktu sangat lama. Namun, kata Heri Siswanto, kisah kenangan lama itu sepertinya baru terjadi kemarin sore. Saat itu, kata Heri yang asli Kendal ini, almarhum Romo Wiharjono datang menengok ayahnya yang lagi sakit keras. Kedatangan Romo Wi –begitu romo spesialis pelayanan pastoral di pedesaaan ini biasa dipanggil—untuk memberi Sakramen Perminyakan Suci kepada ayahnya.

“Yesus datang ke dunia untuk menengok anak-anakNya yang lagi berziarah di Bumi. Pada saat Ia kembali ke Surga, Ia menyiapkan kamar abadi untuk kita sesuai dengan nama masing-masing agar di saat kita pulang, kita tidak tersesat,” demikian kata Romo Wi di depan ayahnya yang sakit keras.

Malam harinya, tambah Heri Siswanto, ayahnya membisiki dia. “Le, aku wis siap; kabeh cekelan, jimat wis ucul kabeh. Ora ono anakku sing marisi. Saiki gur Gusti sing dadi nggon sumelehe bapakmu,” kata Heri mengenang kata-kata akhir sebelum ayahnya meninggal.

Pagi dini harinya, ayahnya meninggal dengan wajah tersenyum.

“Saya ingat betul. Tidak ada kesedihan di hatiku. Karena aku percaya, ada kamar di rumahNya yang telah disediakan untuk ayahku. Kini, satu kamar di surga terisi lagi oleh jiwa putera Sang Inigo,” tulis Heri Siswanto di milis Sesawi.

“Selamat jalan Romo Wi. Salam saya untuk Bapak. Romo pasti ketemu dia, karena ia menyambut untuk mengucapkan terima kasih atas Sakramen Minyak Sucimu. Aku berdoa dari sini. Dalam jarak dan waktu yang berbeda.. Namun disatukan oleh kasihNya yang melampaui ruang dan waktu,” tulis Yulis Heri Siswanto mengenang almarhum Romo Josephus Wiharjono SJ.

Jejak harum mewangi

Romo Wi memang jauh dari pemberitaan. Pun pula tak banyak orang mengenal Romo Wi, selain orang-orang desa di permukiman udik seperti Gereja Paroki St. Isidorus Sukorejo di Weleri, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Namun, harum semerbak bunga mewangi yang ditaburkan almarhum Romo Wi tidak hanya tercium di Sukorejo. Jejak-jejak langkah Romo Wi menabur bunga harum dan kasih juga membekas kuat di Pulau Buru, Maluku dimana Romo Wi bertahun-tahun merintis berdirinya Paroki Katolik di Namlea, Pulau Buru bersama para tahanan politik G30S/PKI.



Jejak-jejak karya pastoral almarhum Romo Wi tercium harum di Namlea, ketika Sesawi.Net tinggal menetap di Namlea, Pulau Buru, tahun 1996. “Dia tak hanya sekedar pastur untuk para umat dan tahanan politik di Pulau Buru. Lebih dari itu, Romo Wi adalah bapak untuk kami-kami semua,” tutur Yuli Setyawati, perempuan muda katolik di Namlea waktu itu.

Setelah lama berkarya di Keuskupan Amboina di Maluku, jejak-jejak harum Romo Wi juga tercium di Papua dimana Serikat Yesus memulai karya pastoralnya di Bumi Papua. Sebagai pionir merintis karya, maka Romo Wi menjadi andalan utama Serikat Jesus untuk menyiapkan jalan pastoral itu.

Tak berkibar di panggung nasional tentu saja bukan masalah bagi almarhum Romo Wi. Karena yang beliau hayati di kehidupan fana ini tak lain adalah melayani Tuhan dan sesama dengan semangat pengorbanan dan cinta kasih. Romo Wi dalam usianya 62 tahun telah menoreh jejak-jejak harum itu demi semangat AMDG (ad maiorem Dei gloriam).

Kamis, 1 September 2011 pukul 10.00, jenazah Romo Josephus Wiharjono SJ akan didoakan dalam misa requiem di Gereja Paroki Stanislaus Girisonta, Karangjati, Ungaran. Jejak-jejak harum almarhum Romo Wi akan dimateraikan di pusara Getsemani Emmaus Girisonta. Requiescat in pace.

Mathias Hariyadi, penulis dan anggota Redaksi Sesawi.Net.