“Jangan kita menjadi batu sandungan bagi mereka” (Ul. 10:12-22; Mzm 147:12-15.19-20; Mat 17:22-27)


“ Pada waktu Yesus dan murid-murid-Nya bersama-sama di Galilea, Ia berkata kepada mereka: "Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia dan mereka akan membunuh Dia dan pada hari ketiga Ia akan dibangkitkan." Maka hati murid-murid-Nya itu pun sedih sekali. Ketika Yesus dan murid-murid-Nya tiba di Kapernaum datanglah pemungut bea Bait Allah kepada Petrus dan berkata: "Apakah gurumu tidak membayar bea dua dirham itu?" Jawabnya: "Memang membayar." Dan ketika Petrus masuk rumah, Yesus mendahuluinya dengan pertanyaan: "Apakah pendapatmu, Simon? Dari siapakah raja-raja dunia ini memungut bea dan pajak? Dari rakyatnya atau dari orang asing?" Jawab Petrus: "Dari orang asing!" Maka kata Yesus kepadanya: "Jadi bebaslah rakyatnya. Tetapi supaya jangan kita menjadi batu sandungan bagi mereka, pergilah memancing ke danau. Dan ikan pertama yang kaupancing, tangkaplah dan bukalah mulutnya, maka engkau akan menemukan mata uang empat dirham di dalamnya. Ambillah itu dan bayarkanlah kepada mereka, bagi-Ku dan bagimu juga." (Mat 17:22-27), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

Berrefleksi atas bacaan-bacaan serta mengenangkan pesta St. Dominikus, imam, hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

· St. Dominikus dikenal sebagai pengkotbah ulung dalam mewartarkan kabar baik atau ajaran-ajaran Yesus. Ia tidak takut terhadap ancaman dan terror pembunuhan, yang diarahkan kepadanya. Dalam hidup dan kerja bersama kita memiliki aneka tata tertib atau aturan yang harus ditaati atau dilaksanakan agar hidup dan kerja bersama berjalan baik, sebagaimana dikehendaki oleh Tuhan, misalnya dalam membayar pajak maupun mengelola atau mengurus pajak. Para pengelola atau pengurus maupun pembayar pajak yang benar pada masa kini sering menerima ancaman atau terror untuk disingkirkan. Para pengelola atau pengurus pajak kebanyakan tidak jujur alias korupsi dan dengan demikian menjadi batu sandungan bagi warga masyarakat untuk membayar pajak dengan jujur. Kami berharap para pejabat atau petugas pemerintahan atau hidup bersama dimanapun dan kapanpan, yang berpengaruh dalam hidup bersama tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain untuk berbuat jahat atau melakukan yang tidak baik dan tidak benar. “Jangan kita menjadi batu sandungan bagi mereka”, demikian sabda Yesus kepada para rasul. Semoga segenap umat Katolik atau Kristen yang beriman kepada Yesus Kristus tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain, sehingga mereka berbuat jahat, melainkan hendaknya menjadi teladan dalam melaksanakan tata tertib hidup bersama seperti membayar pajak. Ingatlah dan sadari bahwa hidup bersama di negara manapun tergantung dari pajak; semakin tertib, jujur, disiplin dalam pengelolaan dan pembayaran pajak akan semakin damai dan sejahtera warga negara yang bersangkutan. Kami berharap kepada mereka yang kaya akan harta benda atau uang menyadari bahwa kekayaan atau uangnya berasal dari rakyat, maka hendaknya juga dikembalikan kepada rakyat antara lain dengan tertib, disiplin dan jujur membayar pajak , tentu saja hal ini juga harus didukung oleh para pengelola atau pengurus pajak, yang mewakili rakyat.

· “Apakah yang dimintakan dari padamu oleh TUHAN, Allahmu, selain dari takut akan TUHAN, Allahmu, hidup menurut segala jalan yang ditunjukkan-Nya, mengasihi Dia, beribadah kepada TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu, berpegang pada perintah dan ketetapan TUHAN yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, supaya baik keadaanmu” (Ul 10:12-13). Sebagai orang beriman kita semua dipanggil untuk “takut akan Tuhan, hidup menurut segala jalan yang ditunjukkanNya, mengasihi Dia, beribadah kepada Tuhan dengan segenap hati dan segenap jiwa, berpegang pada perintah dan ketetapan Tuhan’ , agar keadaan kita senantiasa baik adanya. Saya kira tak seorang pun dari kita yang tidak menghendaki keadaan diri kita baik, kita semuanya mendambakan diri kita senantiasa baik adanya.Maka marilah kita menuntut diri kita masing-masing untuk senantiasa mentaati dan melaksanakan perintah dan ketetapan Tuhan, yang antara lain diterjemahkan kedalam aneka tata tertib yang terkait dengan hidup , panggilan dan tugas pekerjaan kita masing-masing. Melaksanakan atau menghayati tata tertib dengan segenap hati dan segenap jiwa berarti kita sungguh-sungguh menghayati alias tidak bersandiwara, hanya menghayati ketika dilihat orang lain untuk dipuji. Tuhan Maha Tahu dan tak dapat ditipu, maka sebagai orang yang beriman kepada Tuhan hendaknya senantiasa menghayati aneka tata tertib dengan jujur, disiplin dan benar, meskipun tidak dilihat oleh orang lain. Orang yang hanya mencari pujian orang lain berarti orang murahan, tak berkualitas. Entah dilihat atau tidak dilihat orang lain hendaknya kita tetap jujur, disiplin dan benar dalam melaksanakan atau menghayati tata tertib, jika kita mendambakan diri sebagai orang yang cerdas secara spiritual maupun baik adanya kapanpun dan dimanapun. Jangan cari muka atau bersandiwara dalam mentaati dan melaksanakan aneka tata tertib.

“Megahkanlah TUHAN, hai Yerusalem, pujilah Allahmu, hai Sion! Sebab Ia meneguhkan palang pintu gerbangmu, dan memberkati anak-anakmu di antaramu. Ia memberikan kesejahteraan kepada daerahmu dan mengenyangkan engkau dengan gandum yang terbaik. Ia menyampaikan perintah-Nya ke bumi; dengan segera firman-Nya berlari”

(Mzm 147:12-15)


Senin, 8 Agustus 2011


Romo Ign Sumarya, SJ

57 Tahun Gua Maria Kerep Ambarawa

Perayaan Syukur 57 Tahun Gua Maria Kerep Ambarawa akan diselenggarakan besok hari Senin, 15 Agustus 2011 pukul 18.30 bertempat di Gua Maria Ambarawa.
Misa dengan konselebran utama Vikjen KAS Romo Pius Riana Prapdi, Pr

diawali dengan prosesi lilin.

HOMILI: Hari Minggu Biasa XIX (1Raj 19:9a.11-13a; Mzm 85:9ab-10.13-14; Rm 9:1-5; Mat 14:22-33)

"Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?”

“Besi batanganpun jika digosok terus menerus pasti akan menjadi sebatang jarum yang tajam”, demikian salah satu motto Bapak Andrie Wongso, promotor Indonesia. Memang ada syaratnya yaitu keteguhan hati alias tidak bimbang dan ragu selama menggosok besi batangan tersebut. Hidup dan bekerja pada masa kini memang harus menghadapi aneka tantangan, masalah dan kesulitan berat, sehingga dengan mudah orang menjadi bimbang, ragu-ragu, cemas atau bahkan mengundurkan diri dan kemudian mencari jalan pintas yang mudah. Tumbuh berkembang untuk menjadi pribadi yang baik, cerdas secara spiritual butuh perjuangan dan pengorbanan yang tidak sedikit, sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang siap sedia untuk mengarunginya. Tanda atau gejala bahwa orang enggan atau malas berjuang dan berkorban antara lain dengan masih maraknya korupsi yang terus terjadi, dan mereka yang berwenang dan bertugas untuk memberantas korupsi pun takut bertindak. Saat ini ada kesan dari banyak orang bahwa presiden kita, SBY, takut melakukan sesuatu dalam pemberantasan korupsi dan nampaknya hanya cari aman sendiri, maka protes dan kritikan muncul di sana-sini. Aneka protes, saran dan kritikan dari para pengamat dan pemerhati hidup bermasyakat, berbangsa dan bernegara ditanggapi dengan kata-kata “Saya prihatin…”. Sabda Yesus hari ini menghentak dan mengajak kita untuk mawas diri: sejauh mana penghayatan iman kita menjadi nyata dalam cara hidup dan cara bertindak?

"Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?” (Mat 14:31)

Percaya kiranya sama dengan beriman, yang berarti ‘mempersembahkan diri seutuhnya kepada sesuatu, entah yang kelihatan maupun yang tak kelihatan, terutama kepada yang tak kelihatan’. Sebenarnya masing-masing dari kita telah memiliki pengalaman percaya yang cukup banyak dan mendalam, yaitu dalam hal-hal biasa dan sederhana setiap hari, misalnya dalam hal makan dan minum. Bukankah, entah di rumah atau rumah makan atau di dalam pesta/perjamuan bersama, kita tidak pernah bimbang dan ragu perihal makanan dan minuman yang disajikan untuk kita santap atau nikmati? Bukankah kita percaya bahwa penyanji makanan dan minuman tidak akan mencelakakan kita, melainkan membahagiakan kita? Kiranya masih banyak pengalaman lain yang pernah kita alami dalam hidup sehari-hari bahwa dengan mudah kita percaya pada sesuatu.

Tuhan hidup dan berkarya kapan saja dan dimana saja, tidak terikat waktu dan tempat, dan Ia juga hidup dan berkarya dalam hal-hal biasa dan sederhana setiap hari dalam kehidupan dan kerja kita. Marilah kita lihat, imani dan hayati karyaNya dalam hidup kita sehari-hari Karya-Nya antara lain menjadi nyata dalam diri orang-orang yang berkehendak baik; dan kami percaya bahwa orang-orang yang berkehendak baik lebih banyak jumlahnya daripada orang-orang yang berbuat jahat, sedangkan kesan berkehendak jahat sering terjadi karena kesalahfahaman yang disebabkan oleh keterbatasan kita masing-masing

Perjalanan penghayatan hidup dan panggilan kita pada masa kini memang bagaikan sedang berada di dalam perahu di tengah-tengah lautan yang bergelombang, sehingga kita diombang-ambingkan oleh ombak. Ombak itu pada masa kini dapat berupa aneka godaan, tantangan dan hambatan yang memang akan membuat kita mudah ragu-ragu untuk meneruskan perjalanan atau bahkan ada yang tegerak untuk bunuh diri. Hendaknya aneka ‘ombak’ yang mengombang-ambingkan tersebut dihadapi dengan iman atau kepercayaan penuh bahwa Tuhan senantiasa menyertai atau mendampingi perjalanan kita. Godaan-godaan untuk berbuat jahat atau ragu-ragu berasal dari setan atau roh jahat; Tuhan senantiasa dapat mengatasi atau mengalahkan roh jahat, maka bersama dan bersatu dengan Tuhan pasti akan selamat. Kita dapat belajar dari para rasul, yaitu menghadapi godaan dengan berdoa “Tuhan, tolonglah aku”. Berdoalah dengan sepenuh hati dengan kata-kata itu, artinya saya sungguh mengandalkan diri seutuhnya kepada Tuhan. Bersama dan bersatu dengan Tuhan dalam menghadapi godaan, tantangan atau masalah berarti menjadikan godaan, tantangan atau masalah tersebut sebagai wahana pendewasaan kepribadian, keimanan dan kepercayaan kita. Iman dan kepercayaan kita memang selayaknya sering dicobai agar semakin mantap, handal dan kuat.

“Aku mengatakan kebenaran dalam Kristus, aku tidak berdusta. Suara hatiku turut bersaksi dalam Roh Kudus, bahwa aku sangat berdukacita dan selalu bersedih hati. Bahkan, aku mau terkutuk dan terpisah dari Kristus demi saudara-saudaraku, kaum sebangsaku secara jasmani.” (Rm 9:1-3)

Kutipan dari surat Paulus kepada umat di Roma di atas ini kiranya baik menjadi bahan permenungan atau refleksi kita perihal ‘kebenaran’. “Aku mengatakan kebenaran dalam Kristus, aku tidak berdosa”, inilah kata-kata yang hendaknya juga menjadi acuan atau pedoman kita di dalam hidup dan kerja kita setiap hari. Hendaknya kita senantiasa tidak berdusta, melainkan jujur dalam kesibukan, kerja dan pelayanan kita.

“Jujur adalah sikap dan perilaku yang tidak suka berbohong dan berbuat curang, berkata-kata apa adanya dan berani mengakui kesalahan, serta rela berkorban untuk kebenaran” (Prof Dr Edi Sedyawati/edit: Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka – Jakarta 1997, hal 17). Bertindak jujur dan rela membela kebenaran bagaikan mata uang bermuka dua, dapat dibedakan namun tak dapat dipisahkan, dan keutamaan ini kiranya mendesak dan up to date untuk kita hayati dan sebarluaskan pada masa kini, mengingat dan memperhatikan kejujuran maupun kebenaran semakin menjadi langka, bahkan orang jujur menjadi korban kekerasan masyarakat yang tidak suka kejujuran. Dengan kata lain nampaknya masyarakat kita memang sedang menderita sakit kedustaan dan kebohongan.

Pertama-tama dan terutama hendaknya masing-masing dari kita berusaha dengan rendah hati dan bantuan rahmat Tuhan untuk jujur terhadap diri sendiri serta tidak mendustai diri sendiri. Jika kita terhadap diri sendiri senantiasa jujur dan tidak berdusa atau tidak berbohong, maka dengan mudah kita jujur dan tidak berdusta terhadap lingkungan dan masyarakat maupun Tuhan. Tuhan memang tak mungkin kita dustai atau bohongi karena Ia Maha Tahu atau Maha Segalanya. Jujur dan tidak mendustai atau membohongi diri memang tak mudah. Kita sendirian di dalam kamar atau di perjalanan akan tergoda untuk hidup seenaknya sendiri sampai melakukan hal-hal yang tidak baik atau tak berkenan di hati Tuhan misalnya berbuat porno atau amoral, seperti mabuk-mabukan atau pemuasan gairah seksual yang tak wajar.

Kejujuran dan tidak berdusta terhadap masyarakat dan lingkungan yang mudah atau sulit, tergantung dari kita masing-masing, adalah dalam hal masalah harta benda atau uang. Jika terhadap yang kelihatan seperti harta benda atau uang saja kita tak dapat jujur serta berdusta, maka kita tak mungkin dapat jujur dan tidak berdusta dalam hal-hal lainnya, yang tak kelihatan. Pengahayatan kejujuran dan tidak berdusta alias kebenaran dalam hal harta benda atau uang hemat saya merupakan ‘ibu dan benteng hidup beriman atau beragama’. Ingat bahwa orang yang tak mengasihi dan berterima kasih kepada ibu yang telah mengandung, melahirkan, menyusui serta berkorban bagi anaknya, yaitu kita semua, berarti orang yang bersangkutan berdusta alias tak bermoral, tak berbudi pekerti luhur. Jika benteng mulai keropos maka ada bahaya besar apa yang ada di dalam benteng akan hancur berantakan. Maka jika orang sungguh jujur dan benar dalam pengelolaan harta benda atau uang, orang yang bersangkutan boleh atau dapat dikatakan jujur terhadap diri sendiri, lingkungan hidup/masyarakat maupun Tuhan. Kami berharap kejujuran dan kebenaran ini sedini mungkin dibiasakan atau dididikkan pada anak-anak di dalam keluarga dengan teladan konkret dari bapak-ibu atau orangtua.

“Aku mau mendengar apa yang hendak difirmankan Allah, TUHAN. Bukankah Ia hendak berbicara tentang damai kepada umat-Nya dan kepada orang-orang yang dikasihi-Nya, supaya jangan mereka kembali kepada kebodohan? Sesungguhnya keselamatan dari pada-Nya dekat pada orang-orang yang takut akan Dia, sehingga kemuliaan diam di negeri kita. Bahkan TUHAN akan memberikan kebaikan, dan negeri kita akan memberi hasilnya. Keadilan akan berjalan di hadapan-Nya, dan akan membuat jejak kaki-Nya menjadi jalan.”

(Mzm 85:9-10.13-14)

Minggu, 7 Agustus 2011

Romo Ignatius Sumarya, SJ

HOMILI: Pesta Yesus menampakkan kemuliaan-Nya (Dan 7:9-10.13-14 atau 2Ptr 1:16-19; Mzm 97:1-2.5-6.9; Mat 17:1-9)


"Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia." (Mat 17:5b)

· "Vascinosum et tremendum", mempesona dan menghentak itulah dua pengalaman religius/hidup beriman yang kontras. Apa yang mempesona atau menghentak pada umumnya sangat mempengaruhi orang/pribadi yang bersangkutan. Kiranya masing-masing dari kita memiliki atau mengalami dua jenis pengalaman tersebut, sebagaimana dialami oleh para rasul di sebuah gunung yang tinggi, sehingga Petrus atas nama teman-temannya berkata: "Tuhan, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Jika Engkau mau, biarlah kudirikan di sini tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia" . Pengalaman sebagaimana terjadi dalam diri para rasul ini mungkin bagi kita semua juga terjadi ketika sedang menerima baptisan, saling menerimakan sakramen perkawinan, menerima tahbisan imamat atau berkaul hidup membiara, dalam sumpah jabatan atau pengukuhan sebagai sarjana/doktor/professor dst.. Pada masa itu masing-masing dari kita pasti, paling tidak di dalam hati, memiliki dan mencanangkan cita-cita atau janji-janji yang baik, indah dan menyelamatkan serta membahagiakan baik bagi diri kita sendiri maupun orang lain. Maka baiklah ketika di dalam perjalanan hidup, menghayati panggilan atau melaksanakan tugas perutusan kita merasa lelah, tak bergairah, frustrasi dst.., marilah kembali ke pengalaman yang mempesonakan tersebut. Pengalaman yang menghentak kiranya juga dialami oleh banyak orang, misalnya: kematian saudara/pasangan/orangtua/anak, musibah/bencana alam, kegagalan dst.. , sehingga antara lain orang akan menyadari kelemahan dan kerapuhannya serta kemudian tergerak untuk semakin mempersembahkan diri seutuhnya kepada Tuhan.

· “Suara itu kami dengar datang dari sorga, ketika kami bersama-sama dengan Dia di atas gunung yang kudus. Dengan demikian kami makin diteguhkan oleh firman yang telah disampaikan oleh para nabi. Alangkah baiknya kalau kamu memperhatikannya sama seperti memperhatikan pelita yang bercahaya di tempat yang gelap sampai fajar menyingsing dan bintang timur terbit bersinar di dalam hatimu” (2Ptr 1:18-19), demikian kesaksian Petrus atas pengalaman penampakan Yesus dalam KemuliaanNya. Marilah apa yang dikatakan oleh Petrus ini juga menjadi kata-kata kita atau keyakinan iman kita. Suara Tuhan antara lain menggema dalam hati yang jernih dan bersih alias suci, sehingga menjadi suara hati atau dalam aneka ajakan dan kehendak baik dari saudara-saudari kita. Saudara-saudari kita tersebut antara lain orangtua, para guru/pendidik, pastor/pendeta/kyai, orang bijak dst.. , yang sering menyampaikan apa-apa yang baik dan bijak, yang menyinari cara hidup dan cara bertindak kita, sehingga kita dapat berjalan di jalan yang benar. Maka dengan ini kami mengajak anda sekalian untuk mengenangkan aneka nasihat, ajaran, petuah, saran, tegoran dst.. dari orangtua, guru/pendidik, pastor/ pendeta/kyai dst..yang pernah kita terima dalam dan melalui aneka kesempatan. Mengenangkan berarti mengingat-ingat dan mencecap dalam-dalam nasihat, ajaran, petuan, saran dan tegoran tersebut, sehingga menjiwai cara hidup dan cara bertindak kita. Maka mungkin baik jika ada kata-kata yang mengesan dan menyentuh hati kita, hendaknya ditulis dan kemudian pasang saja tulisan tersebut di tempat-tempat dimana setiap hari kita dapat melihatnya. Biarlah kata-kata mutiara yang mengesan dan menyentuh tersebut senantiasa menyinari cara hidup dan cara bertindak kita. Biarlah hati kita senantiasa bersinar, yang menjadi nyata dalam keceriaan dan kegembiraan kita dalam kondisi maupun situasi apapun.

“TUHAN adalah Raja! Biarlah bumi bersorak-sorak, biarlah banyak pulau bersukacita! Awan dan kekelaman ada sekeliling Dia, keadilan dan hukum adalah tumpuan takhta-Nya.Gunung-gunung luluh seperti lilin di hadapan TUHAN, di hadapan Tuhan seluruh bumi.Langit memberitakan keadilan-Nya, dan segala bangsa melihat kemuliaan-Nya” (Mzm 97:1-2.5-6)



Sabtu, 6 Agustus 2011


Romo Ign Sumarya, SJ

“Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya?” (Ul 4:32-40; Mzm 77:12-13.14-16.21; Mat 16:24-28)


“ Lalu Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya. Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya? Sebab Anak Manusia akan datang dalam kemuliaan Bapa-Nya diiringi malaikat-malaikat-Nya; pada waktu itu Ia akan membalas setiap orang menurut perbuatannya. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya di antara orang yang hadir di sini ada yang tidak akan mati sebelum mereka melihat Anak Manusia datang sebagai Raja dalam Kerajaan-Nya." (Mat 16:24-28), demikian kutipan Warta Gembira hari ini

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

· Sikap mental materialistis atau duniawi menjiwai cukup banyak orang pada masa kini, yang antara lain ditandai semakin maraknya korupsi di hampir semua bidang; tidak hanya di kalangan pejabat pemerintah saja korupsi dilakukan tetapi juga di antara wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR, katanya mewakili rakyat namun dalam kenyataannya memperkaya diri sendiri. Ada impian sementara orang, dan beberapa orang telah mampu mewujudkan impian tersebut, yaitu “menumpuk atau mengumpulkan harta benda/uang untuk tujuh turunan”, dengan kata lain yang bersangkutan boleh dikatakan sebagai ‘pengumpul’. Memiliki harta benda atau uang sebanyak apapun ketika meninggal dunia atau dipanggil Tuhan tidak akan terbawa; apalagi ketika ahli waris yang ditinggalkan tidak rukun dan tak dapat kerjasama maka peninggalan harta benda atau uang akan menjadi masalah besar. Maka dengan ini kami mengharapkan kita semua untuk lebih mengutamakan keselamatan jiwa daripada tubuh, lebih berpedoman pada “human investment’ daripada ‘material investment”, lebih mengutamakan pendidikan yang baik bagi anak-anaknya daripada mewariskan harta benda atau uang. Saya pribadi sangat bersyukur dan berterima kasih kepada orangtua atau bapak-ibu saya yang miskin lebih mengutamakan pendidikan kami, anak-anaknya, daripada bangunan rumah atau harta benda lainnya. Kami berharap kepada para orangtua maupun para pengelola, pengurus dan pelaksana pendidikan/sekolah untuk lebih mengutamakan agar anak-anak atau peserta didik tumbuh berkembang menjadi pribadi yang baik, bermoral atau berbudi pekerti luhur daripada pandai alias cerdas otaknya saja. Sabda hari ini mengingatkan dan mengajak kita untuk menhayati atau memfungsikan harta benda atau uang sebagaimana dikehendaki oleh Tuhan yaitu ‘bersifat sosial’; dengan kata lain semakin banyak memiliki harta benda atau uang hendaknya semakin hidup sosial, semakin banyak sahabat, karena juga semakin dikasihi oleh Tuhan maupun sesamanya.

· “ Sebab itu ketahuilah pada hari ini dan camkanlah, bahwa TUHANlah Allah yang di langit di atas dan di bumi di bawah, tidak ada yang lain. Berpeganglah pada ketetapan dan perintah-Nya yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, supaya baik keadaanmu dan keadaan anak-anakmu yang kemudian, dan supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu untuk selamanya.”(Ul 4:39-40).. Apa yang menjadi ‘ketetapan dan perintah Tuhan’ bagi saya hari ini? Semua ketetapan atau perintahNya kiranya dapat dipadatkan atau disimpulkan dalam perintah ‘saling mengasihi sebagai sesama manusia’ sebagai perwujudan terima kasih kita kepada Allah yang telah mengaruniai aneka macam kebutuhan hidup kepada kita. Hemat saya tidak ada ajaran agama di dunia ini yang tidak mengajarkan ‘saling mengasihi satu sama lain’; mengaku beragama tetapi membenci orang lain hemat saya pembohong atau bidaah. Mengasihi maupun dikasihi hemat saya butuh pengorbanan atau penyerahan diri serta keterbukaan. Tanpa pengorbanan, penyerahan diri dan keterbukaan kasih bukanlah kasih, melainkan hanya merupankan upacara liturgis atau formal belaka. Salah satu perwujudan kasih yang tak boleh ditinggalkan adalah ‘boros waktu dan tenaga bagi yang terkasih’, bukan uang atau harta benda. Maka kami mengharapkan anda tidak pelit dalam hal waktu dan tenaga bagi yang anda kasihi. Tentu saja kami mengharapkan hal ini terjadi di dalam keluarga, yaitu suami-isteri saling memboroskan waktu untuk pasangannya, dan bersama-sama sebagai orangtua memboroskan waktu dan tenaga bagi anak-anak yang dianugerahkan Tuhan. Kami berharap kita semua menjauhi ‘ASRI”, yaitu Asyik Sibuk Sendiri. Maklum aneka macam sarana teknologi modern seperti computer yang dapat digunakan untuk internet pada masa kini tanpa sadar telah mendorong orang untuk asyik sibuk sendiri, tidak ada waktu dan tenaga lagi untuk berkomunikasi secara konkret, curhat dengan saudara-saudarinya, bahkan dengan saudara-saudari dalam satu keluarga. Komputer dengan internetnya, BB atau iPad telah membuat banyak orang menjadi begitu egois dan kurang sosial. Saya orang-orang kaya begitu memanjakan anak-anaknya dengan sarana-sarana modern tersebut, sehingga nampak krasan tinggal di rumah, tidak mengganggu orang lain, padahal yang terjadi sesungguhnya adalah proses pengurungan diri untuk menjadi egois. Marilah sedini mungkin anak-anak kita bina untuk siap sedia ‘memboroskan waktu dan tenaga bagi yang terkasih’ alias kita bina kepekaan sosialnya.

“ Aku hendak mengingat perbuatan-perbuatan TUHAN, ya, aku hendak mengingat keajaiban-keajaiban-Mu dari zaman purbakala. Aku hendak menyebut-nyebut segala pekerjaan-Mu, dan merenungkan perbuatan-perbuatan-Mu. Ya Allah, jalan-Mu adalah kudus! Allah manakah yang begitu besar seperti Allah kami? Engkaulah Allah yang melakukan keajaiban; Engkau telah menyatakan kuasa-Mu di antara bangsa-bangsa” (Mzm 77:12-15).

Jumat, 5 Agustus 2011

Romo Ignatius Sumarya, SJ


6 Agustus: Pesta Yesus Menampakkan Kemuliaan-Nya

Gunung Tabor disebut Gunung Kemuliaan karena di atas gunung itulah Yesus menampakkan Kemuliaan-Nya kepada Petrus, Yohanes dan Yakobus. Di depan mata ketiga rasul itu, Yesus berubah: "...Wajah-Nya bercahaya seperti matahari dan pakaianNya menjadi putih bersinar seperti terang" (Mat 17:2). Kemuliaan Yesus sebagai Putera Allah itu diperkuat oleh kehadiran dua orang nabi besar Perjanjian Lama, Musa dan Elia.

Transfigurasi atau perubahan rupa Yesus dimaksudkan untuk meneguhkan hati ketiga rasul inti itu agar mereka tidak goyah imannya apabila menyaksikan kesengsaraan Yesus nanti. Tranfigurasi ini pun menjadi tonggak penghiburan bagi para rasul di saat-saat mereka mengalami kesengsaraan dan kesulitan dan menjadi jaminan kemuliaan dan kebahagiaan yang akan mereka alami di surga, sebagaimana telah dijanjikan Yesus: "Pada waktu itu orang-orang benar akan bercahaya seperti matahari dalam Kerajaan Bapa mereka...."(Mat 13:43).

Kebahagiaan terbesar yang dialami para Rasul di atas gunung itu menjadi tanda kepada kita tentang kebahagiaan surgawi yang akan dianugerahkan Allah kepada semua orang beriman. Santo Paulus melukiskan kebahagiaan itu dengan berkata: "Apa yang tidak dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia" (1Kor 2:9). Pesta ini sudah jauh lebih dahulu dirayakan di kalangan Gereja Timur. Sedangkan untuk seluruh Gereja di seantero dunia, pesta ini baru ditetapkan perayaannya secara resmi pada tahun 1457, untuk mengucapkan syukur kepada Tuhan atas kemenangan Pasukan Kristen terhadap serangan tentara Turki di Belgrado.

Sumber: www.imankatolik.or.id

5 Agustus: Pesta Pemberkatan Gereja Basilika Santa Perawan Maria di Roma

Pada abad ke-4 sewaktu Paus Liberius (352-366) memegang pucuk pimpinan Gereja Kristus, ia merobah dan menjadikan sebuah rumah di bukit Eskuilina menjadi tempat ibadat bagi umat. Gereja ini kemudian dinamakan Basilika Liberiana. Pada abad berikutnya gereja ini diperluas oleh Paus Sixtus III (432-440) dan disebut Basilika Santa Maria Maggiore.

Menurut cerita tindakan Paus Liberius ini didasarkan pada suatu peristiwa penampakan Bunda Maria di halaman rumah itu. Bulan Agustus adalah bulan terpanas di Roma. Pada suatu ketika, dalam bulan itu, halaman rumah itu berselimutkan salju. Tiba-tiba Bunda Maria menampakkan dirinya kepada dua orang saleh yang menghuni rumah itu dan meminta supaya di atas tanah yang bersalju itu dibangun sebuah gereja. Oleh karena itu, gereja itu kemudian lazim juga disebut Basilika Bunda Maria di Salju.


Sumber: www.imankatolik.or.id

“Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya”


Bil 13:1-2a.25 – 14:1.26-29; Mzm 106:6.7a.13-14.21-23; Mat 15:21-28.

“ Setelah Yesus tiba di daerah Kaisarea Filipi, Ia bertanya kepada murid-murid-Nya: "Kata orang, siapakah Anak Manusia itu?" Jawab mereka: "Ada yang mengatakan: Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan: Elia dan ada pula yang mengatakan: Yeremia atau salah seorang dari para nabi." Lalu Yesus bertanya kepada mereka: "Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?" Maka jawab Simon Petrus: "Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!" Kata Yesus kepadanya: "Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di sorga. Dan Aku pun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga." Lalu Yesus melarang murid-murid-Nya supaya jangan memberitahukan kepada siapa pun bahwa Ia Mesias. Sejak waktu itu Yesus mulai menyatakan kepada murid-murid-Nya bahwa Ia harus pergi ke Yerusalem dan menanggung banyak penderitaan dari pihak tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga. Tetapi Petrus menarik Yesus ke samping dan menegor Dia, katanya: "Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali-kali takkan menimpa Engkau." Maka Yesus berpaling dan berkata kepada Petrus: "Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.” (Mat 16:13-23), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

Berrefleksi atas bacaan-bacaan serta mengenangkan pesta St.Yohanes Maria Vianney, imam, hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

· Petrus adalah paus pertama di dalam Gereja yang berfungsi antara lain untuk meneruskan imamat Yesus, Sang Imam Agung. Masa kini Paus dalam melaksanakan tugas pengutusan atau funginya dibantu oleh para uskup dan imam dalam rangka melayani umat; dan hemat saya jumlah yang terbesar adalah imam, yang pada umumnya juga langsung bergaul dengan atau berada di tengah-tengah umat. Hari ini kita mengenangkan St.Yohanes Maria Vianney, pelindung para imam, maka baiklah secara khusus kami mengajak para imam untuk merenungkan sabda Yesus “Di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga”. St.Yohanes Maria Vianney dikenal sebagai pastor suci yang tak kenal lelah mendengarkan pengakuan dosa selama berjam-jam sehari; dan banyak orang bertobat melalui pelayananannya. Maka dengan ini kami mengajak rekan-rekan imam/pastor untuk meneladan St.Yohanes Maria Vianney dalam pelayanan pastoral kepada umat Allah, antara lain meneladan kesuciannya serta menyalurkan kasih pengampunan Allah kepada umat Allah. Hal itu kiranya membutuhkan keutamaan kerendahan hati dan kerja keras dalam pelayanan. Semoga rekan-rekan imam/pastor dapat menjadi teladan kerendahan hati dan semangat melayani bagi umat Allah.

· "Ambillah tongkatmu itu dan engkau dan Harun, kakakmu, harus menyuruh umat itu berkumpul; katakanlah di depan mata mereka kepada bukit batu itu supaya diberi airnya; demikianlah engkau mengeluarkan air dari bukit batu itu bagi mereka dan memberi minum umat itu serta ternaknya." (Bil 20:8), demikian firman Allah kepada Musa, yang memimpin bangsanya menuju ‘tanah terjanji’. Firman ini baik kita renungkan, pertama-tama bagi kita para imam dan kemudian juga bagi segenap umat beriman yang memiliki panggilan imamat umum. Kita dipanggil untuk ‘memberi air kehidupan’ yang menghidupkan dan menyegarkan umat Allah, dengan kata lain cara hidup dan cara bertindak kita dimanapun dan kapanpun diharapkan senantiasa menggairahkan dan menggembirakan orang lain. “Ing madyo ambangun karso” = di tengah-tengah membangun kreativitas alias menggairahkan, demikian salah satu motto Bapak Ki Hajar Dewantoro, yang kiranya cocok sekali untuk kita hayati. Kehadiran kita dimanapun dan kapanpun diharapkan membuat orang lain menjadiaa kreatif dan bergairah, penuh semangat dan harapan. “Air” adalah penyalur tenaga listrik yang utama dan tangguh; memberi ‘air’ kepada orang lain berarti menyalurkan tenaga dan sinar terang yang memberdayakan dan menggairahkan. Untuk itu memang kita harus erat bersahabat dengan Tuhan alias hidup suci, cara bertindak dan cara hidup kita sungguh menggambarkan bahwa kita manusia adalah ‘citra atau gambar Allah’.

“ Masuklah, marilah kita sujud menyembah, berlutut di hadapan TUHAN yang menjadikan kita. Sebab Dialah Allah kita, dan kitalah umat gembalaan-Nya dan kawanan domba tuntunan tangan-Nya. Pada hari ini, sekiranya kamu mendengar suara-Nya! Janganlah keraskan hatimu seperti di Meriba, seperti pada hari di Masa di padang gurun, pada waktu nenek moyangmu mencobai Aku, menguji Aku, padahal mereka melihat perbuatan-Ku”

(Mzm 95:6-9)

Kamis, 4 Agustus 2011


Romo Ignatius Sumarya, SJ

4 Agustus: Santo Yohanes Maria Vianney, Pengaku Iman

Mulanya ia dianggap remeh karena kelambanannya dan kebodohannya. Setelah ditabhiskan menjadi imam, ia tidak diperkenankan uskup melayani sakramen pengakuan dosa karena dianggap tidak mampu memberi bimbingan rohani. Setelah beberapa, ia ditempatkan di paroki Ars, sebuah paroki yang terpencil, dan tak terurus. Di paroki ini Yohanes Maria Vianney mengabdikan dirinya dan menjadikan desa Ars sebuah tempat ziarah bagi umat di segala penjuru.

Yohanes Maria Vianney lahir pada tanggal 8 Mei 1786 di desa Dardilly, Lyon-Prancis. Ayahnya, Mateus Vianney, seorang petani miskin. Ibunya serorang yang taat beragama. Masyarakat setempat kagum dan suka pada mereka karena cara hidup mereka yang benar-benar mencerminkan kebiasaan hidup Kristiani. Semenjak kecil, Yohanes sudah terbiasa dengan kerja keras dan doa yang tekun berkat telandan orangtuanya. Dibandingkan dengan kelima orang saudaranya, ia memang trampil dan rajin bekerja namun lamban dan bodoh. Ia baru bisa membaca pada usia 18 tahun. Meskipun begitu, ia bercita-cita menjadi imam.

Pada umur 20 tahun, ayahnya dengan berat hati mengizinkan dia masuk Seminari di desa tetangganya, Ecully. Hal ini bukan karena ayahnya tidak mengijinkan dia menjadi imam tetapi semata-mata karena kelambanan dan kebodohannya. Pendidikannya sempat tertunda karena kewajiban masuk militer yang berlaku di Prancis pada masa itu. Baru pada tahun 1812, ia melanjutkan lagi studinya. Ia mengalami kesulitan besar sepanjang masa studinya di Seminari. Hampir semua mata pelajaran, terutama bahasa Latin, sangat sulit dipahaminya. Namun ia tidak putus asa. Ia rajin berziarah ke Louveser untuk berdoa dengan perantaraan Santo Fransiskus Regis agar bisa terbantu dalam mempelajari semua bidang studi. Berkat doa-doanya, ia berangsur-angsur mengalami kemajuan hingga menamatkan pendidikan Seminari Menengah Verriores dan masuk Seminari Tinggi. Di jenjang Seminari Tinggi, ia harus berjuang lebih keras lagi agar lolos dari kegagalan. Meskipun begitu ia terus menerus harus mengulangi setiap ujian. Pemimpin seminari sangat meragukan dia, namun mereka pun tidak bisa mengeluarkan dia karena kehidupan rohaninya sangat baik. Ia seorang calon imam yang saleh. Akhirnya Yohanes pun dianggap layak dan ditabhiskan menjadi imam pada tahun 1815.

Setelah menjadi imam, ia belum diperkenankan melayani sakramen pengakuan dosa karena dianggap tidak mampu memberikan bimbingan rohani kepada umat. Kecuali itu, ia dinilai tidak bisa menjadi pastor di paroki-paroki kota. Oleh karena itu ia ditempatkan di paroki Ars. Ars adalah sebuah desa terpencil dan terbelakang di Prancis. Paroki ini dianggap cocok bagi dia karena tingkat pendidikan umatnya tidak seberapa.

Pada 8 Februari 1818, Yohanes mulai menyadari karyanya di Paroki Ars. Di satu pihak ia sungguh menyadari bahwa kemampuannya tidak seberapa bila dibandingkan dengan beratnya tugas mengembalakan umat Allah; tetapi di pihak lain ia pun sadar bahwa dirinya bukanlah pelaku utama karya pengembalaan umat melainkan Allah melalui Roh Kudus-Nya-lah pelaku utama karya besar itu. Kesadaran itu mendorong dia untuk senantiasa mempersembahkan karyanya kepada Tuhan. Tahap demi tahap ia membenahi parokinya dengan coba membangkitkan semangat iman umat. Semangat kerja kerasnya semenjak kecil mendorongnya untuk berkhotbah dan mengajar umat tanpa mengenal lelah.

Yohanes yang dahulu dianggap remeh dan dipandang dengan sebelah mata oleh banyak imam, kini dikagumi dan disanjung. Desa Ars yang dahulu sepi, sekarang menjadi tempat ziarah terkenal bagi umat dari segala penjuru Prancis. Dari mana-mana umat datang ke Ars untuk merayakan Ekaristi dan mendengarkan khotbah pastor desa yang saleh itu. Khotbah-khotbah tajam, keras dan mengena sehingga menggetarkan hati umat terutama para pendosa. Namun di kamar pengakuan, ia ramah dan dengan hati yang ikhlas memberi bimbingan rohani kepada umatnya. Oleh rahmat Allah yang diperkuat dengan keluhuran budi dan kesalehan hidupnya, Yohanes mampu menghantar kembali umat kepada pertobatan dan penghayatan iman yang benar.
Pastor Ars yang saleh ini dikarunia karisma mengetahui berbagai hal sebelum terjadi. Karisma ini dapat dilihat dalam pengalaman Nyonya Pauze dari St. Etienne. Pauze datang mengaku dosanya di gereja paroki. Pastor yang melayani sudah tua, kurus dan lemah. Dialah Yohanes Vianney. Dalam hatinya ia berpikir: "Tentu ini kesempatan terakhir bagiku untuk menerima berkatnya". Namun pastor tua itu tiba-tiba berkata: "Bukan begitu anakku! Tiga minggu lagi kita akan bertemu kembali". Nyonya Pauze terperanjat dan pulang dengan seribu tanda tanya. Ia menceritakan kata-kata pastor itu kepada teman-temannya. Dan persis tiga minggu kemudian, nyonya Pauze meninggal dunia bersamaan dengan pastor tua itu. Mereka bertemu lagi di surga.

Meskipun ia saleh, ia tidak luput dari gangguan setan. Ia sering tidak bisa tidur karena gangguan setan di malam hari. Ia tidak takut karena yakin sesudah kejadian itu selalu akan datang pendosa berat yang mau bertobat. Di samping penyembuhan luka-luka batin umatnya, banyak pula penyembuhan jasmani yang terjadi secara ajaib melalui perantaraannya.

Tugas hariannya yang berat itu sangat menguras tenanganya. Beberapa kali ia meninggalkan Ars untuk beristirahat di sebuah biara. Tetapi ia selalu diseret kembali oleh umatnya di dusun Ars. Ini suatu tanda bahwa umat sungguh mencintainya dan tidak rela kalau pastornya meninggalkan mereka. Yohanes Maria Vianney mendampingi umatnya di Ars sampai maut menjemputnya pada tanggal 3 Agustus 1859. Pada tahun 1925, ia dinyatakan sebagai 'santo' oleh Paus Pius XI (1922-1939) dan diangkat sebagai pelindung surgawi bagi 'para pastor paroki'.

Sumber: www.imankatolik.or.id

“Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang” (Bil 13:1-2a.25 – 14:1.26-29; Mzm 106:6.7a.13-14.21-23; Mat 15:21-28)


“Lalu Yesus pergi dari situ dan menyingkir ke daerah Tirus dan Sidon. Maka datanglah seorang perempuan Kanaan dari daerah itu dan berseru: "Kasihanilah aku, ya Tuhan, Anak Daud, karena anakku perempuan kerasukan setan dan sangat menderita." Tetapi Yesus sama sekali tidak menjawabnya. Lalu murid-murid-Nya datang dan meminta kepada-Nya: "Suruhlah ia pergi, ia mengikuti kita dengan berteriak-teriak." Jawab Yesus: "Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel." Tetapi perempuan itu mendekat dan menyembah Dia sambil berkata: "Tuhan, tolonglah aku." Tetapi Yesus menjawab: "Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing." Kata perempuan itu: "Benar Tuhan, namun anjing itu makan remah-remah yang jatuh dari meja tuannya." Maka Yesus menjawab dan berkata kepadanya: "Hai ibu, besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti yang kaukehendaki." Dan seketika itu juga anaknya sembuh.” (Mat 15:21-28), demikian kutipan Warta Gembira hari ini

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

· Cukup banyak karya-karya pelayanan pendidikan atau kesehatan lebih berpihak kepada mereka yang pandai atau kaya, sedangkan yang bodoh atau miskin kurang mendapat tempat atau perhatian. Sabda Yesus hari ini mengajak dan mengingatkan kita untuk menghayati salah satu opsi hidup beriman atau menggereja, yaitu “preferential option for/with the poor” (=keberpihakan pada/bersama yang miskin dan berkekurangan). “Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang”, demikian sabda Yesus, yang hendaknya juga menjadi pegangan atau acuan kita dalam cara hidup dan cara bertindak kita dalam aneka pelayanan atau kerja kita. Sabda ini kiranya yang menjadi jiwa Ibu Teresa dari Kalkuta, yang meninggalkan gedung sekolah mewah dan pergi ke jalanan untuk mengasihi dan melayani mereka yang miskin, sakit, menderita, terbuang, dst..
Dengan ini kami mengajak dan mengingatkan kita semua, segenap umat beriman dan beragama untuk memperhatikan dan mengasihi mereka ‘yang hilang’, yang kurang memperoleh perhatian, sehingga miskin, menderita, sakit dan berkekurangan dalam berbagai kebutuhan hidup sehari-hari. Saya percaya bahwa di sekitar kita atau di lingkungan hidup, kerja dan pelayanan kita ada yang ‘hilang’, maka kami ajak untuk mencari dan memperhatikan mereka, membantunya sesuai dengan kebutuhannya. Ingatlah dan hayati bahwa mereka kiranya cukup beriman, artinya membuka diri sepenuhnya atas penyelenggaraan Ilahi, yang menjadi nyata dalam aneka kebaikan dan perhatian orang lain. Marilah kita perhatikan anak-anak kita yang nakal, bodoh dan rewel alias menjengkelkan serta kita dekati dalam dan dengan cintakasih serta kerendahan hati.

· “ Katakanlah kepada mereka: Demi Aku yang hidup, demikianlah firman TUHAN, bahwasanya seperti yang kamu katakan di hadapan-Ku, demikianlah akan Kulakukan kepadamu. Di padang gurun ini bangkai-bangkaimu akan berhantaran, yakni semua orang di antara kamu yang dicatat, semua tanpa terkecuali yang berumur dua puluh tahun ke atas, karena kamu telah bersungut-sungut kepada-Ku” (Bil 14:28-29). Kutipan di atas ini terarah kepada bangsa terpilih yang bersungut-sungut, mengeluh dan menggerutu dalam perjalanan menuju ‘tanah terjanji’. Ada kemugkinan kita yang sedang dalam perjalanan melaksanakan tugas pekerjaan atau menghayati panggilan juga bersungut-sungut, mengeluh dan menggerutu karena harus menghadapi aneka tantangan, masalah dan hambatan. Tanpa dihukum mereka yang bersungut-sungut, mengeluh dan menggerutu telah terhukum dengan sendirinya, antara lain mereka akan dijauhi oleh sesamanya atau bahkan mereka sendiri kemudian langsung mengasingkan diri. Bentuk hukuman yang lain antara lain mereka tak berbahagia, mudah terserang penyakit dan kemungkinan juga cepat mati. Kelompok hidup bersama, entah itu keluarga atau masyarakat, dimana anggota-anggotanya bersungut-sungut, mengeluh dan menggerutu, maka secara otomatis hidup bersama akan berantakan. Maka dengan ini kami mengharapkan kita semua: hendaknya jangan bersungut-sungut, mengeluh atau menggerutu ketika dalam perjalanan hidup dan tugas harus menghadapi aneka masalah, tantangan dan hambatan; hadapi saja semuanya itu dengan tenang, gembira dan bergairah, maka jika kita tak mampu sendiri menyelesaikannya pasti banyak orang tergerak mendekati kita dan membantunya. Bukankah keceriaan dan kegairahan serta penuh senyum akan mempesona, menarik dan memikat orang lain? Tidak ada alasan untuk tidak gembira, bergairah dan bersenyum bagi kita yang sungguh beriman, karena Tuha senantiasa menyertai dan mendampingi perjalanan hidup, panggilan dan tugas pengutusan kita.

“Mereka melupakan Allah yang telah menyelamatkan mereka, yang telah melakukan hal-hal yang besar di Mesir: perbuatan-perbuatan ajaib di tanah Ham, perbuatan-perbuatan dahsyat di tepi Laut Teberau. Maka Ia mengatakan hendak memusnahkan mereka, kalau Musa, orang pilihan-Nya, tidak mengetengahi di hadapan-Nya, untuk menyurutkan amarah-Nya, sehingga Ia tidak memusnahkan mereka.”

(Mzm 106:21-23)

Rabu, 3 Agustus 2011

Romo Ign Sumarya, SJ

1 Agustus: Santo Alfonsus Marie de Ligouri, Uskup dan Pujangga Gereja

Alfonsus Maria de Ligouri lahir di sebuah kota dekat Napoli, Italia pada tanggal 27 September 1696. Ia meninggal dunia di Nocera pada tanggal 1 Agustus 1787. Alfonsus berasal dari sebuah keluarga bangsawan Kristen yang saleh. Orangtuanya, Joseph de Ligouri dan Ama Cavalieri mendidik dia dengan baik dalam hal iman dan cara hidup Kristiani. Ayahnya berpangkat Laksamana dalam jajaran militer kerajaan Napoli. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila Alfonsus memperoleh pendidikan ala militer dengan disiplin yang tegas. Maksudnya ialah agar ia terbiasa dengan pola hidup yang keras dan tidak manja.

Sejak kecil Alfonsus sudah menunjukkan bakat-bakat yang luar biasa. Tak terbayangkan bahwa ia dalam usianya yang begitu muda, 16 tahun, sudah memperoleh gelar Doktor Hukum di Universitas Napoli, dengan predikat "Magna cum Laude". Karyanya sebagai seorang Sarjana Hukum dimulainya dengan menjadi advokat/pengacara. Ia selalu menang dalam setiap perkara yang dibelanya. Karena itu ia banyak mendapat tanda penghargaan dari orang-orang yang ditolongnya.

Pada tahun 1723 ia diminta membela satu perkara besar. Untuk itu ia berusaha keras mengumpulkan dan meniliti berbagai data tentang perkara itu. Namun keberuntungan ternyata tidak memihak dia. Karena suatu kesalahan kecil ia akhirnya dikalahkan oleh pengacara lawannya. Dengan muka pucat pasi ia beranjak meninggalkan gedung pengadilan. Ia mengalami shock berat dan selama tiga hari ia mengurung diri dalam biliknya merenungi kekalahannya.

Di satu pihak kekalahannya itu sungguh menekan batinnya tetapi di pihak lain kekalahan itu justru menjadi pintu masuk baginya untuk menjalani kehidupan bakti kepada Tuhan dan sesama. Setelah banyak berdoa dan merenung di depan Tarbenakel, ia menemukan kembali ketenangan batin. Ketenangan batin itu menumbuhkan dalam hatinya suatu hasrat besar untuk menjadi seorang rohaniwan. Ketika sedang melayani orang di rumah sakit sebagaimana biasanya, ia mendengar suatu suara ajaib berkata: "Alfonsus, serahkanlah dirimu kepadaKu". Alfonsus terhentak sejenak karena suara ajaib itu terdengar begitu jelas. Lama kelamaan, ia sadar suara itu adalah panggilan Tuhan. Kesadaran ini mendesak dia untuk menentukan sikap tegas terhadap suara panggilan itu. Ia mengambil keputusan untuk menjadi seorang rohaniwan yang mengabdikan diri seutuhnya kepada Tuhan. Keputusan itu disampaikan kepada orangtuanya. Ayahnya sangat kecewa dan tidak mau lagi bertemu dengan dia. Biara pun berkeberatan menerimanya karena alasan kesehatan. Syukurlah uskup setempat meluluskan niat bekas advokat itu. Semenjak itu ia dengan tekun mempelajari teologi dan mempersiapkan diri sebaik-baiknya agar bisa menjadi seorang imam praja yang baik. Kesungguhan persiapannya itu terutama dilatarbelakangi oleh cara hidup imam-imam masa itu yang kurang mencerminkan keluhuran martabat imamat, dan karenanya umat sering memandang rendah mereka.

Alfonsus kemudian ditabhiskan menjadi imam pada tahun 1726. Imam muda ini begitu cepat terkenal di kalangan umat karena khotbahnya yang menarik dan mendalam. Selain menjadi seorang pengkhotbah ulung, ia pun menjadi bapa pengakuan yang disenangi umatnya. Karyanya sejak awal kehidupannya sebagai imam diabdikannya kepada orang-orang miskin dan pemuda-pemuda gelandangan di kota Napoli. Ia berusaha mengumpulkan mereka untuk memberi pelajaran agama dan bimbingan rohani.

Pada tahun 1729, ia menjadi imam kapelan di sebuah kolose yang khusus mendidik para calon imam misionaris. Di sana ia berkenalan dengan Pater Thomas Falciola, seorang imam yang memberi inspirasi dan dorongan kepadanya untuk mendirikan sebuah institut baru. Kepadanya Pater Thomas Falciola menceritakan tentang para suster binaannya di Scala yang menghayati cara hidup yang keras dalam doa dan matiraga. Terdorong oleh inspirasi dan semangat yang diberikan Pater Thomas Falciola, ia kemudian mendirikan sebuah tarekat religius baru di Scala pada tanggal 9 November 1723. Tarekat ini diberinya nama 'Sanctissimi Redemptoris', dan mengabdikan diri di bidang pewartaan Injil kepada orang-orang desa di pedusunan. Tanpa kenal lelah anggota-anggota tarekat ini berkhotbah di alun-alun, mendengarkan pengakuan dosa dan memberikan bimbingan khusus kepada muda-mudi, pasangan suami-istri dan anak-anak.

Pada umurnya yang sudah tua (66 tahun), ia diangkat menjadi Uskup Agata, kendatipun ia sangat ingin agar orang lain saja yang dipilih. Sebagai uskup, ia berusaha membaharui cara hidup para imamnya dan seluruh umat di keuskupannya. Selain itu, ia menulis banyak buku, diantaranya buku Teologi Moral yang terus dicetak ulang sampai abad ini. Tulisan-tulisannya sangat membantu imam-imam teristimewa dalam bidang perlayanan sakramen Tobat. Dengannya mereka bukan saja mengemban tugas itu dengan penuh kasih sayang, melainkan juga memberikan bimbingan yang tepat kepada umat.
Karena sering jatuh sakit, ia beberapa kali minta boleh mengundurkan diri sebagai uskup, namun permohonannya baru dikabulkan ketika ia berumur 80 tahun. Ia diperbolehkan kembali ke biara. Masa-masa terakhir hidupnya sangatlah berat karena penyakit yang dideritanya dan serangan para musuh terhadap kongregasinya. Akhirnya pada tahun 1787, ketika berusia 91 tahun, ia meninggal dunia dengan tenang di Pagani, dekat Napoli, Italia.


Sumber: www.imankatolik.or.id

Pertemuan FKK Sangkristi

Akan diadakan Pertemuan FKK Sangkristi besok hari Minggu, 7 Agustus 2011 pukul 11.00 bertempat di aula kantor radio SAS FM, Jl Raya Solo Baru AA 19.
Ekaristi Syukur atas ulang tahun Radio SAS FM akan dipersembahkan Romo V. Bondhan Prima Kumbara, Pr. Saudara diundang untuk menghadiri dan bagi semua pendengar Sangkristi diharapkan semuanya hadir.