HOMILI: Hari Minggu Biasa XXXI (Mal. 1:14b - 2:2b,8-10; Mzm. 131:1,2,3; 1Tes.2:7b-9,13; Mat. 23:1-12)

“ Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu.”

Kerajaan Allah berbeda atau bertolak bertolak belakang dengan Kerajaan Dunia. Para raja, presiden, perdana menteri atau kepala Negara di dunia ini pada umumnya gila harta benda, kedudukan/jabatan dan kehormatan duniawi dan jika perlu melakukan KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme). Mungkin yang melakukan korupsi bukan pemimpin yang bersangkutan, melainkan isterinya/suaminya, anak-anaknya atau kerabat dekatnya. Ketika mereka ketahuan melakukan korupsi maka pemimpin yang bersangkutan berusaha melindungi dan menutup-nutupi dengan berbagai cara dan usaha. Mereka juga tak segan-segan menyingirkan orang-orang yang menghalangi cita-cita atau dambaannya, yang hanya mencari keuntungan pribadi, keluarga atau kerabat/kelompoknya. Berbeda dengan pemimpin agama yang sejati dan baik, dimana dalam menghayati fungsi kepemimpinannya dengan semangat melayani atau mengabdi, sebagaimana diusahakan oleh para pemimpin Gereja Katolik (Paus dan para Uskup), yang menyatakan diri sebagai hamba yang hina dina, tidak gila harta benda, kedudukan/jabatan dan kehormatan duniawi. Sabda Yesus hari ini mengajak dan mengingatkan kita semua umat beriman atau beragama, terutama para pemimpinnya di tingkat dan bidang kehidupan bersama macam apapun, untuk hidup dan bertindak dengan semangat melayani atau mengabdi.

Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu.” (Mat 23:11).

Berrefleksi perihal melayani kiranya kita dapat bercermin pada pelayan yang baik entah di dalam keluarga/komunitas biara atau pastoran atau tempat kerja. Cirikhas pelayan yang baik antara lain datang/bangun lebih lebih awal dan pulang/istirahat lebih kemudian daripada anggota keluarga/komunitas atau para pekerja di tempat kerja, imbal jasa kecil, senantiasa ceria, tanggap dan cekatan, berusaha membahagiakan yang dilayani dst.. Jika pelayan tidak memiliki cirikhas tersebut diatas pada umumnya langsung dipecat tanpa pesangon, karena yang bersangkutan tidak layak menjadi pelayan.

Berusaha membahagiakan yang dilayani itulah yang kiranya baik kita refleksikan atau renungkan serta hayati. Maka pertama-tama kami mengajak dan mengingatkan siapapun yang merasa ‘terbesar’ dalam kehidupan dan kerja bersama untuk senantiasa berusaha membahagiakan orang lain yang harus dilayani atau yang membantu tugas dan fungsinya. Cirikhas pemimpin yang baik dan sukses dalam melaksanakan fungsinya ialah semua yang dipimpinnya atau menjadi bawahannya hidup dalam damai sejahtera baik lahir maupun batin, phisik maupun spiritual. Tugas membahagiakan orang lain juga menjadi tugas semua umat beriman atau beragama, maka marilah kita hidup dan bertindak saling membahagiakan dan menyelamatkan terutama kebahagiaan atau keselamatan jiwa.

Megingat dan memperhatikan bahwa mayoritas dari kita adalah hidup berkeluarga alias menjadi orangtua dari anak-anak yang dianugerahkan oleh Tuhan, maka dengan ini kami mengingatkan dan mengajak semua orangtua untuk senantiasa berusaha membahagiakan anak-anaknya. Kebahagiaan sejati orangtua terkait dengan anak-anaknya hemat saya adalah ketika anak-anak tumbuh berkembang menjadi orang yang sehat dan cerdas beriman. Pelayan senantiasa mengasihi yang dilayani dengan memboroskan waktu dan tenaga mereka bagi yang dilayani. Maka kami berharap kepada orangtua untuk dengan rela dan besar hati memboroskan tenaga dan waktu bagi anak-anaknya, terutama bagi anak-anak selama masa balita.

Pemborosan waktu dan tenaga sebagai wujud kasih pelayanan kiranya juga baik untuk dihayati oleh para pemimpin di dalam kehidupan atau kerja dimanapun dan kapanpun. Sekali lagi kami ajak dan ingatkan hendaknya para pemimpin karya atau hidup bersama ‘turba’/turun ke bawah untuk menyapa dan memberi perhatian kepada anggota atau bawahannya, tidak duduk manis di kamar ambil minum-minum atau melamun. Marilah meneladan Yesus “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia” (Fil 2:6-7). Kami juga mengingatkan para guru atau pendidik di sekolah-sekolah untuk mendidik dan mendampingi para peserta didik dalam hal semangat melayani, misalnya sering mengajak peserta didik untuk hidup dan bekerja sama dengan para pemulung, ‘live in’, mengunjungi panti asuhan dst..

Sama seperti seorang ibu mengasuh dan merawati anaknya. Demikianlah kami, dalam kasih sayang yang besar akan kamu, bukan saja rela membagi Injil Allah dengan kamu, tetapi juga hidup kami sendiri dengan kamu, karena kamu telah kami kasihi” (1 Tes 2:7b-8)

Apa yang dikatakan oleh Paulus kepada umat di Tesalonika di atas ini hendaknya juga menjadi kata-kata yang menjadi tindakan bagi para pemimpin atau atasan dalam hidup dan kerja bersama dimanapun dan kapanpun, serta dalam bentuk apapun. Para ibu yang pernah atau sedang ‘mengasuh dan merawati anaknya” kiranya dapat mensharingkan pengalamannya kepada siapapun yang berfungsi sebagai pemimpin atau atasan. Ada lagu yang menggambarkan kasih ibu kepada anak-anaknya, yaitu “Kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa, hanya memberi tak harap kembali, bagaikan sang surya menyinari dunia”.

Bagai sang surya menyinari dunia”, itulah yang kiranya baik kita renungkan, refleksikan dan hayati. Surya atau matahari yang menyinari dunia selain memberi terang juga menghidupi dan menggairahkan apa yang disinari. Kedatangan atau kehadiran kita dimanapun dan kapanpun sebagai umat beriman atau beragama hendaknya ‘menerangi, menghidupi dan menggairahkan, maka marilah kita saling menerangi, menghidupi dan menggairahkan satu sama lain. Untuk itu kiranya masing-masing dari kita hendaknya bagaikan ‘orang gila/sinting’ yang senyum-senyum terus dan tidak pernah menyakiti sesamanya; siapapun kiranya akan terhibur dengan kedatangannya.

Bukankah kita sekalian mempunyai satu bapa? Bukankah satu Allah menciptakan kita? Lalu mengapa kita berkhianat satu sama lain dan dengan demikian menajiskan perjanjian nenek moyang kita” (Mal 2:10). Apa yang dikatakan oleh nabi Maleaki ini kiranya baik menjadi permenungan atau refleksi kita. Kita semua tanpa pandang bulu ‘mempunyai satu bapa, satu Allah menciptakan kita’, maka selayaknya kita semua bersaudara atau bersahabat dengan siapapun. Persaudaraan atau persahabatan sejati masa kini sedang mengalami erosi karena dirongrong oleh sekelompok orang yang radikal dan vocal. Marilah kita hadapi mereka dengan persaudaraan atau persahabatan sejati. Ingat dan sadari bahwa kita baru saja mengenangkan hhari Sumpah Pemuda: satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Semoga apa yang telah diikrarkan oleh sekelompok pemuda sekian tahun yang lalu itu terus merasuk hati sanubari kita serta menggema dalam cara hidup dan cara bertindak kita setiap hari dimanapun dan kapanpun.

TUHAN, aku tidak tinggi hati, dan tidak memandang dengan sombong; aku tidak mengejar hal-hal yang terlalu besar atau hal-hal yang terlalu ajaib bagiku. Sesungguhnya, aku telah menenangkan dan mendiamkan jiwaku; seperti anak yang disapih berbaring dekat ibunya, ya, seperti anak yang disapih jiwaku dalam diriku. Berharaplah kepada TUHAN, hai Israel, dari sekarang sampai selama-lamanya!” (Mzm 131)

Minggu, 30 Oktober 2011


Romo Ignatius Sumarya, SJ