HOMILI: Hari Minggu Biasa XXVIII (Yes 25:6-10a, Mzm 23:1-3a,3b-4,5,6; Flp 4:12-14,19-20; Mat 22:1-14)

“Undanglah setiap orang yang kamu jumpai di sana ke perjamuan kawin itu”.

Dalam menghadiri undangan pesta perkawinan pada umumnya orang berapakaian atau berpenampilan sedemikian rupa, sehingga laki-laki nampak tampan dan menawan sedangkan perempuan nampak cantik dan mempesona. Ada semacam lomba penampilan diri dengan berbagai jenis asesori maupun aneka jenis wewangian/deodorant yang disemprotkan ke tubuh atau aneka jenis lipstick yang menghiasi bibir kaum perempuan. Pendek kata orang berusaha seoptimal mungkin menghadirkan atau menampilkan diri agar menawan dan mempesona bagi yang lain, paling tidak secara phisik, sedangkan secara spiritual mungkin menjadi pertanyaan alias diragukan. Sepasang pengantin berpakaian sedemikian rupa bagaikan seorang raja dan permaisuri serta menjadi perhatian dari semua undangan yang hadir. Semua yang ada atau hadir dalam perjamuan perkawinan pada umumnya juga nampak gembira , ceria, seolah-olah tidak memiliki masalah kehidupan lagi, padahal sebenarnya mereka memiliki aneka masalah kehidupan yang mungkin masih tersimpan di hati. Yesus mengajarkan dengan perumpamaan bahwa ‘Kerajaan Sorga seumpama seorang raja, yang mengadakan perjamuan kawin untuk anaknya’. Kerajaan Sorga tidak sama dengan kerajaan dunia; yang layak untuk hadir ke dalam atau masuk ‘Kerajaan Sorga’ adalah mereka yang menawan dan mempesona sebagai pribadi yang cerdas beriman, alias hati, jiwa, akal budi dan tubuhnya bersih, cemerlang tanpa dosa atau cacat cela sedikitpun.

“Ia berkata kepadanya: Hai saudara, bagaimana engkau masuk ke mari dengan tidak mengenakan pakaian pesta? Tetapi orang itu diam saja. Lalu kata raja itu kepada hamba-hambanya: Ikatlah kaki dan tangannya dan campakkanlah orang itu ke dalam kegelapan yang paling gelap, di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi. Sebab banyak yang dipanggil, tetapi sedikit yang dipilih.” (Mat 22:12-14)

Kerajaan Sorga atau Kerajaan Allah yang berarti ‘Allah yang meraja atau menguasai’ harus mulai, telah dan terus terlaksana di dalam kehidupan kita, entah secara pribadi atau bersama-sama. Bumi seisinya adalah ciptaan Allah dan hanya dapat hidup, tumbuh berkembang dalam dan oleh karena Allah yang terus berkarya di dalam ciptaan-ciptaan-Nya, lebih-lebih dan terutama dalam diri manusia yang juga diberi kuasa atau perintah : ”Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi." (Kej1:28). Hidup dirajai atau dikuasai oleh Allah atau melaksanakan perintah Allah ini berarti ‘berbudaya kehidupan’ , dimana cara hidup dan cara bertindak kita dimanapun dan kapanpun senantiasa menghidupkan, memberdayakan dan menggirahkan serta menyelamatkan diri kita sendiri maupun yang lain. Untuk itu hidup kita harus suci atau layak disebut sebagai orang beriman, yang sepenuhnya mempersembahkan diri kepada Allah.

“Banyak yang dipanggil, tetapi sedikit yang dipilih”, demikian sabda Yesus, yang berarti lebih banyak yang tidak layak atau mangkir karena berbagai alasan antara lain “ada yang pergi ke ladangnya, ada yang pergi mengurus usahanya, dan yang lain menangkap hamba-hambanya itu, menyiksanya dan membunuhnya“ alias ‘sibuk mengurus harta kekayaan sendiri, bisnis atau usahanya serta menolak sapaan-sapaan atau sentuhan-sentuhan Roh Kudus/ajakan untuk berbuat baik’. Mereka yang mangkir ini ketika memperoleh undangan khusus untuk masuk ke dalam “Kerajaan Sorga”, alias dipanggil Tuhan untuk beralih dari hidup fana di dunia ke hidup abadi, pasti tidak siap sedia, meronta-ronta, teriak-teriak, dan dengan demikian mereka ‘dicampakkan ke dalam kegelapan yang paling gelap dan di sanalah terdapat ratap tangis dan kertak gigi’ alias masuk ke sengsara abadi di neraka. Maka marilah kita senantiasa siap sedia untuk menerima panggilan Tuhan.

Disposisi diri yang senantiasa siap sedia dipanggil Tuhan berarti memang berbudaya kehidupan, yaitu hidup dari dan oleh Roh sehingga menghasilkan buah-buah seperti “kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri.”(Gal 5:22-23). Pada masa kini rasanya yang cukup mendesak dan up to date untuk dihayati adalah kesetiaan dan kesabaran, mengingat dan memperhatikan cukup banyak orang tidak setia dan tidak sabar. “Setia adalah sikap dan perilaku yang menunjukkan keterikatan dan kepedulian atas perjanjian yang telah dibuat; ini diwujudkan dalam perilaku tetap memilih dan mempertahankan perjanjian yang telah dibuat dari godaan-godaan lain yang lebih menguntungkan ”, sedangkan “sabar adalah sikap dan perilaku yang menunjukkan kemampuan mengendalikan gejolak diri dan tetap bertahan seperti keadaan semula dalam menghadapi berbagai rangsangan atau masalah; ini diwujudkan dalam perilaku dan sikap yang tenang dalam menghadapi dan menerima apa pun; perilaku ini diwujudkan dalam hubungannya dengan diri sendiri” (Prof Dr. Edi Sedyawati/edit: Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka- Jakarta 1997, hal 24).

“Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan. Dalam segala hal dan dalam segala perkara tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku; baik dalam hal kenyang, maupun dalam hal kelaparan, baik dalam hal kelimpahan maupun dalam hal kekurangan. Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku. Namun baik juga perbuatanmu, bahwa kamu telah mengambil bagian dalam kesusahanku“ (Flp 4:12-14)

Kesaksian Paulus kepada umat di Filipi ini rasanya baik sekali untuk menjadi permenungan atau refleksi kita. “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku”, kata-kata inilah yang hendaknya menjadi permenungan dan pegangan hidup kita. Kiranya ada tiga perkara besar yang harus kita hadapi dan geluti selama hidup di dunia ini, yaitu “ kekayaan, umur panjang dan nyawa musuh”:

1) Kekayaan berarti segala sesuatu yang ada padaku, kumiliki dan kukuasai, misalnya: tubuh yang seksi, tampan, gagah, wajah cantik, kesehatan, sakit, derita, bahagia, keterampilan, kecerdasan, aneka jenis harta benda dan uang, dst.. Menghayati budaya kehidupan berarti merawat, merasakan, menikmati dan memfungsikan kekayaan-kekayaan tersebut dalam Tuhan yang memberi kekuatan kepadaku, sehingga aku semakin cerdas beriman, suci, semakin dikasihi oleh dan mengasihi Tuhan maupun sesama dan saudara-saudari kita

2) Umur panjang juga merupakan perkara (perhatikan dan refleksikan bahwa tambah usia/umur berarti tambah dosanya, yang berarti tidak dapat mengurus pertambahan umur dengan baik), yang memang harus kita tanggung dalam Tuhan. Jika kita sungguh menanggung pertambahan umur dalam Tuhan, maka tambah usia, semakin tua berarti semakin suci, sebagaimana dikatakan dalam pepatah “Tua-tua keladi makin tua makin berisi”.

3) Nyawa musuh berarti apa-apa atau siapa saja yang tidak sesuai dengan selera pribadi atau keinginan pribadi, entah itu makanan atau minuman, manusia, pekerjaan, suasana, lingkungan hidup, pekerjaan dst.. Marilah kita hadapai ‘nyawa musuh’ dalam kasih dan pengampunan, sebagaimana diajarkan oleh Yesus : ”Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” (Mat 5:44).

Jika kita mampu menanggung segala perkara dalam Tuhan, kiranya kita juga dapat berseru: "Sesungguhnya, inilah Allah kita, yang kita nanti-nantikan, supaya kita diselamatkan. Inilah TUHAN yang kita nanti-nantikan; marilah kita bersorak-sorak dan bersukacita oleh karena keselamatan yang diadakan-Nya!” (Yes 25:9)



“TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya. Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku. Engkau menyediakan hidangan bagiku, di hadapan lawanku; Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak; pialaku penuh melimpah.” (Mzm 23:1-5)



Romo Ignatius Sumarya, SJ