Romo Josephus Wiharjono SJ, Spesialis Pelayanan Pastoral Pedesaaan


oleh Mathias Hariyadi


JAM baru menunjukkan pukul 11.00 menjelang tengah hari, ketika Toyota Hilux yang gagah perkasa menerobos masuk jalanan becek sempit ke kampung Taom, sebuah stasi udik sekitar 60 km dari Siem Reap, Kamboja. Perbincangan Sesawi.Net dengan Romo Stephanus “Panus” Winarta SJ –sang sopir Hilux—menghangat ketika berbincang mengenai Gereja Paroki St. Isidorus di Sukorejo, Weleri—tempat Romo Panus pernah berkarya selama 3 tahun sebelum akhirnya menjadi “misionaris” di Kamboja.

Salah satu bahan perbincangan tentu saja menyangkut hal-ikhwal Romo Josephus Wiharjono SJ yang pernah dikenal penulis ketika mengunjungi Paroki Sukorejo tahun 1985 untuk sebuah penelitian pastoral. Pun pula Romo Panus yang selalu mengingat Paroki Sukorejo –terutama Stasi Gemuh—yang berlokasi di dalam hutan dimana Suzuki Katana pastoran pernah berjalan tertatih-tatih menerobos jalanan super sempit agar tak masuk jurang.

Tentang Paroki St. Isidorus di Sukorejo di Kabupaten Kendal itulah, kami berdua lantas membicarakan Romo Josephus Wiharjono, pastur Yesuit berperawakan mungil pun murah senyum yang selalu mendapat tugas pelayanan pastoral spesialis permukiman udik.

“Ngrasani” romo yang akan meninggal

Ternyata 10 jam kemudian usai perbincangan di Taom, Siem Reap, Romo Wiharjono SJ diberitakan baru saja meninggal dunia karena sakit di RS Elizabeth Semarang. Pengalaman sama juga dicurahkan oleh Romo Ignatius Sumarya SJ, Rektor Seminari Menengah Mertoyudan. Sesaat setelah menyebut almarhum Romo Dr. Ignatius Wibowo SJ dalam doa umat di Kapel Kolese Kanisius beberapa bulan silam, demikian ‘isi curhatan’ Romo Maryo, ternyata beberapa menit kemudian romo spesialis studi China itu meninggal dunia.

“Selesai kotbah, saya mengaja umat ikut mendoakan Romo Bowo (saat itu tengah sakit keras) dan tiba-tiba saja kepada saya disodorkan secarik kertas oleh koster Kanisius. Beritanya mengejutkan: Romo Bowo baru saja dipanggil Tuhan. Waktunya kurang lebih sama ketika saya mendoakannya,” tulis Romo Maryo di milis intern eks Jesuit Indonesia.

Selasa (30/8) malam 2011, sambung Romo Maryo, bersama empat orang Nostri (para yesuit) yang berkarya di Seminari Mertoyudan mereka lagi ngrasani para rekan yesuit yang lagi terbaring sakit. “Salah satu orang yang kami bicarakan adalah Romo Wiharjono yang banyak penyakit yang besar kemungkinan tidak bisa disembuhkan,” tuturnya dalam milis Sesawi.

“Selesai makan malam, saya membuka email dan ternyata muncul berita lelayu: Romo Wiharjono dipanggil Tuhan persis ketika kami selesai membicarakannya di kamar makan,” tulis Romo Maryo.

Kenangan lama

20 tahun silam adalah perjalanan waktu sangat lama. Namun, kata Heri Siswanto, kisah kenangan lama itu sepertinya baru terjadi kemarin sore. Saat itu, kata Heri yang asli Kendal ini, almarhum Romo Wiharjono datang menengok ayahnya yang lagi sakit keras. Kedatangan Romo Wi –begitu romo spesialis pelayanan pastoral di pedesaaan ini biasa dipanggil—untuk memberi Sakramen Perminyakan Suci kepada ayahnya.

“Yesus datang ke dunia untuk menengok anak-anakNya yang lagi berziarah di Bumi. Pada saat Ia kembali ke Surga, Ia menyiapkan kamar abadi untuk kita sesuai dengan nama masing-masing agar di saat kita pulang, kita tidak tersesat,” demikian kata Romo Wi di depan ayahnya yang sakit keras.

Malam harinya, tambah Heri Siswanto, ayahnya membisiki dia. “Le, aku wis siap; kabeh cekelan, jimat wis ucul kabeh. Ora ono anakku sing marisi. Saiki gur Gusti sing dadi nggon sumelehe bapakmu,” kata Heri mengenang kata-kata akhir sebelum ayahnya meninggal.

Pagi dini harinya, ayahnya meninggal dengan wajah tersenyum.

“Saya ingat betul. Tidak ada kesedihan di hatiku. Karena aku percaya, ada kamar di rumahNya yang telah disediakan untuk ayahku. Kini, satu kamar di surga terisi lagi oleh jiwa putera Sang Inigo,” tulis Heri Siswanto di milis Sesawi.

“Selamat jalan Romo Wi. Salam saya untuk Bapak. Romo pasti ketemu dia, karena ia menyambut untuk mengucapkan terima kasih atas Sakramen Minyak Sucimu. Aku berdoa dari sini. Dalam jarak dan waktu yang berbeda.. Namun disatukan oleh kasihNya yang melampaui ruang dan waktu,” tulis Yulis Heri Siswanto mengenang almarhum Romo Josephus Wiharjono SJ.

Jejak harum mewangi

Romo Wi memang jauh dari pemberitaan. Pun pula tak banyak orang mengenal Romo Wi, selain orang-orang desa di permukiman udik seperti Gereja Paroki St. Isidorus Sukorejo di Weleri, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Namun, harum semerbak bunga mewangi yang ditaburkan almarhum Romo Wi tidak hanya tercium di Sukorejo. Jejak-jejak langkah Romo Wi menabur bunga harum dan kasih juga membekas kuat di Pulau Buru, Maluku dimana Romo Wi bertahun-tahun merintis berdirinya Paroki Katolik di Namlea, Pulau Buru bersama para tahanan politik G30S/PKI.



Jejak-jejak karya pastoral almarhum Romo Wi tercium harum di Namlea, ketika Sesawi.Net tinggal menetap di Namlea, Pulau Buru, tahun 1996. “Dia tak hanya sekedar pastur untuk para umat dan tahanan politik di Pulau Buru. Lebih dari itu, Romo Wi adalah bapak untuk kami-kami semua,” tutur Yuli Setyawati, perempuan muda katolik di Namlea waktu itu.

Setelah lama berkarya di Keuskupan Amboina di Maluku, jejak-jejak harum Romo Wi juga tercium di Papua dimana Serikat Yesus memulai karya pastoralnya di Bumi Papua. Sebagai pionir merintis karya, maka Romo Wi menjadi andalan utama Serikat Jesus untuk menyiapkan jalan pastoral itu.

Tak berkibar di panggung nasional tentu saja bukan masalah bagi almarhum Romo Wi. Karena yang beliau hayati di kehidupan fana ini tak lain adalah melayani Tuhan dan sesama dengan semangat pengorbanan dan cinta kasih. Romo Wi dalam usianya 62 tahun telah menoreh jejak-jejak harum itu demi semangat AMDG (ad maiorem Dei gloriam).

Kamis, 1 September 2011 pukul 10.00, jenazah Romo Josephus Wiharjono SJ akan didoakan dalam misa requiem di Gereja Paroki Stanislaus Girisonta, Karangjati, Ungaran. Jejak-jejak harum almarhum Romo Wi akan dimateraikan di pusara Getsemani Emmaus Girisonta. Requiescat in pace.

Mathias Hariyadi, penulis dan anggota Redaksi Sesawi.Net.