Pertemuan II BKSN 2011: Perumpamaan anak yang hilang

“Maka bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya. Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia. Kata anak itu kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa. Tetapi ayah itu berkata kepada hamba-hambanya: Lekaslah bawa ke mari jubah yang terbaik, pakaikanlah itu kepadanya dan kenakanlah cincin pada jarinya dan sepatu pada kakinya. Dan ambillah anak lembu tambun itu, sembelihlah dia dan marilah kita makan dan bersukacita. Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali. Maka mulailah mereka bersukaria. Tetapi anaknya yang sulung berada di ladang dan ketika ia pulang dan dekat ke rumah, ia mendengar bunyi seruling dan nyanyian tari-tarian. Lalu ia memanggil salah seorang hamba dan bertanya kepadanya apa arti semuanya itu. Jawab hamba itu: Adikmu telah kembali dan ayahmu telah menyembelih anak lembu tambun, karena ia mendapatnya kembali dengan sehat. Maka marahlah anak sulung itu dan ia tidak mau masuk. Lalu ayahnya keluar dan berbicara dengan dia. Tetapi ia menjawab ayahnya, katanya: Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku. Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia. Kata ayahnya kepadanya: Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu. Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali."(Luk 15:20-32), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

Dari perumpamaan ‘anak hilang’ tersebut ada tiga tokoh yang layak menjadi permenungan kita:
(1) anak bungsu yang berfoya-foya
(2) anak sulung yang merasa setia pada bapa dan
(3) bapa yang baik hati, penuh belas kasih. Maka kiranya masing-masing dari kita dapat bercermin pada tiga tokoh tersebut:

(1) Anak bungsu/yang hilang: mungkin kita seperti anak bungsu yang telah berfoya-foya memuaskan diri dengan kekayaan yang telah kita miliki misalnya untuk judi, pelacuran, mabuk-mabukan dst.., tetapi mungkin juga telah menghamburkan/boros waktu atau tenaga untuk sesuatu yang kurang berguna bagi kesehatan, keselamatan, kesejahteraan atau kebahagiaan sejati hidup kita, marilah dengan besar hati kita mengaku dosa alias bertobat. Tidak perlu malu-malu minta maaf kepada sesama maupun mengakukan dosa secara pribadi kepada imam yang bertugas. Tidak ada kata terlambat untuk bertobat.

(2) Anak sulung: rasanya kebanyakan dari kita merasa diri seperti ‘anak sulung’ -> nampak dengan setia dan taat dalam bekerja maupun hidup bersama, rajin, baik-baik saja, tetapi mungkin dalam hati sebenarnya yang dicari adalah pujian untuk menyombongkan diri bahwa dirinya orang yang baik dan hebat, tidak merasa dan tidak menghayati bahwa semuanya itu dapat terjadi karena kasih karunia Allah melalui sesama kita, orangtua, kakak-adik, sahabat dan kenalan atau rekan-rekan. Dengan kata lain menjadi seperti ‘anak sulung’ adalah seperti orang Farisi yang tak tahu terima kasih dan syukur dan pada umumnya mengasingkan diri alias kurang pergaulan (hanya bergaul dengan orang-orang tertentu saja). Perasaan dan penghayatan macam itulah yang menjadi akar kesombongan atau dosa; orang sombong memang tidak mau ‘menyatu’ dengan teman-teman atau sahabat-sahabat melainkan menyendiri, sebagaimana dalam perumpamaan Injil hari ini ‘anak sulung’ diminta menggabungkan diri dalam pesta pertobatan adiknya, saudaranya tidak memberi tanggapan, ngambeg, tidak mau bergabung. Orang yang demikian memang sulit menyadari diri sebagai yang berdosa, padahal ‘cara hidup atau cara bertindaknya’ telah menjadi batu sandungan bagi sesamanya, dengan kata lain ia telah menyebabkan orang lain berdosa (antara lain ngrasani atau ngrumpi). Cara hidup atau cara bertindak ini pada umumnya terjadi pada orang dewasa, senior, pemimpin atau atasan, pandai, berkedudukan, berpangkat, kaya dst…

(3) Bapa yang penuh belas kasih: bapa yang penuh belas kasih, dengan gembira, hati dan tangan terbuka menyambut anaknya yang ‘hilang’ pulang kembali memang merupakan gambaran dari Allah yang Maha Kasih dan Maha Pengampun. Sebagai umat beriman, orang yang beriman pada Yesus Kristus, kiranya kita semua dipanggil untuk menjadi ‘gambar Allah Pengasih dan Pengampun’., bukan hanya pada imam/pastor yang berada di dalam kamar pengakuan saja. “Berkat kuasa-Mu juga, cinta mengalahkan kebencian, ampun menaklukkan balas dendam, dan saling kasih mengenyahkan perselisihan” (Prefasi DSA VI) Kasih pengampunan merupakan cirikhas hidup iman Kristiani, iman pada Yesus Kristus, maka marilah kita hayati dan wartakan kasih pengampunan dalam hidup kita sehari-hari di manapun dan kapanpun juga.

“Marahlah anak sulung itu dan ia tidak mau masuk”

Para pendatang pada umumnya lebih sukses dan berhasil dalam usaha dan kerjanya daripada para penduduk asli. Penduduk asli sering merasa diri sebagai yang berkuasa dan terpilih di daerah atau tempat tinggalnya serta ada kecenderungan untuk menjadi sombong. Dengan dan dalam perasaan macam itu penduduk asli juga merasa yang terbaik atau lebih baik daripada pendatang. Perasaan sebagai yang terbaik juga dialami oleh orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, sebagaimana digambarkan sebagai anak sulung dalam perumpamaan ‘anak hilang’, sebagaimana dikisahkan di dalam Warta Gembira hari ini. Warta Gembira hari ini kiranya baik menjadi permenungan atau refleksi bagi siapapun yang bersikap mental Farisi atau merasa diri yang terbaik.

“Bersungut-sungutlah orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, katanya: "Ia menerima orang-orang berdosa dan makan bersama-sama dengan mereka” (Luk 15:2).

Yesus adalah Penyelamat Dunia, yang datang untuk menyelamatkan dunia, maka Ia senantiasa berusaha untuk mencari dan menyelamatkan orang berdosa atau ‘yang hilang’. Ia duduk dan makan bersama dengan para pendosa, yang dalam ‘mind set’ masyarakat waktu itu orang berdosa berarti harus disingkiri dan dijauhkan dari pergaulan bersama. Mungkin sebagian dari kita juga memiliki ‘mind set’ macam itu, sehingga enggan atau tidak bersedia bergaul dengan para pendosa atau mereka yang terbuang. Dalam tampilan SCTV beberapa waktu yang lalu antara lain disiarkan seorang yang berjiwa sosial di Tasikmalaya, Jawa Barat, yang dengan penuh cinta kasih dan pengorbanan merawat dan mengurus saudara-saudarinya yang bernyakit jiwa serta menggelandang. Ia membuat asrama sederhana dan menyisihkan kekayaannya untuk mengurus dan merawat puluhan pasien sakit jiwa. Diceriterakan juga bahwa beberapa temannya berkomentar “Untuk apa kamu mengurus orang-orang macam itu?”. Komentar macam itu rasanya mirip dengan ‘sungut-sungut orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat’ ketika mereka melihat Yesus duduk dan makan bersama para pendosa.

“Maka marahlah anak sulung itu dan ia tidak mau masuk. Lalu ayahnya keluar dan berbicara dengan dia. Tetapi ia menjawab ayahnya, katanya: Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku. Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia” (Luk15:28-30), begitulah gambaran orang-orang Farisi dan ahli Taurat yang diperankan oleh ‘anak sulung’: sombong dan melecehkan orang lain, yang memang lebih jelek dan berdosa. Kepada mereka yang masih bersikap mental Farisi kami ajak untuk bertobat dan belajar rendah hati, sebagaimana dihayati oleh ‘anak hilang’.

“Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa” (Luk 15:21) .

Jika kita jujur mawas diri atau melihat diri sendiri, kiranya kita semua akan menyadari dan menghayati diri sebagai yang berdosa, seperti ‘anak hilang’. Jika kita mengaku tidak pernah berdosa, maka berarti kita berdusta terhadap diri kita sendiri. Berdosa memang memiliki dimensi vertical dan horisontal, ada hubungannya dengan Tuhan dan sesama manusia maupun lingkungan hidupnya.

Kesadaran dan penghayatan diri sebagai yang berdosa identik dengan kesadaran dan penghayatan diri sebagai yang beriman; semakin beriman berarti semakin menyadari dan menghayati diri sebagai yang lemah dan rapuh serta dikasihi oleh Tuhan. Orang-orang terpilih di dalam Gereja Katolik, misalnya para uskup, senantiasa menyatakan diri sebagai yang hina dina dan berdosa, yang dipanggil Tuhan untuk berpartisipasi dalam karya penyelamatanNya, maka selayaknya kita meneladan mereka. Menyadari dan menghayati diri sebagai yang berdosa tidak berarti lalu diam saja, melainkan berarti senantiasa membuka diri untuk ditumbuh-kembangkan alias dibina dan dididik terus menerus. Dengan kata lain orang bersikap mental ‘ongoing formation/ongoing education’ . Orang yang bersikap mental demikian ini pada umumnya juga dapat menjadi pendamai dan pengampun, meneladan ‘bapa yang baik’.

“Lekaslah bawa ke mari jubah yang terbaik, pakaikanlah itu kepadanya dan kenakanlah cincin pada jarinya dan sepatu pada kakinya. Dan ambillah anak lembu tambun itu, sembelihlah dia dan marilah kita makan dan bersukacita. Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali. Maka mulailah mereka bersukaria” (Luk15:22-24).

Sebagai orang beriman kita dipanggil untuk menghayati iman kita antara lain dengan menjadi saksi dan menyebarluaskan kasih pengampunan dan pendamaian, sebagaimana dikatakan Paulus kepada umat di Korintus : ”Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka. Ia telah mempercayakan berita pendamaian itu kepada kami” (2Kor 5:19). Segala kesalahan, pelanggaran dan dosa-dosa kita tidak pernah diperhitungkan atau diingat-ingat lagi oleh Tuhan, dan mungkin juga oleh saudara-saudari kita, maka marilah hal itu kita syukuri dengan menjadi saksi kasih pengampunan dan pendamaian.

Gerakan kasih pengampunan dan pendamaian kiranya sungguh mendesak dan up to date untuk kita hayati dan sebarluaskan pada masa kini, mengingat dan memperhatikan masih maraknya aneka balas dendam dan kemarahan sebagai wujud konkret kesombongan. Marilah kita pro-aktif: dimanapun dan kapanpun kita melihat dan mendengar terjadi permusuhan, balas dendam dan kemarahan, marilah segera kita datangi untuk diajak berdamai. Kita dapat meneladan ‘bapa yang baik’, yang tidak memperhitung-kan serta mengingat-ingat kesalahan, dosa dan kekurangan orang lain, dan ketika ada orang bertobat dan berdamai hendaknya segera kita ajak bersukaria dan bergembira ria. Baiklah saya angkat lagi pesan Perdamaian Paus Yohanes Paulus II dalam rangka memasuki Millenium Ketiga :”There is no peace without justice, there is no justice without forgiveness” (= Tiada perdamaian tanpa keadilan, tiada keadilan tanpa kasih pengampunan). Berbuat adil antara lain menjunjung tinggi, menghormati dan menghargai harkat martabat manusia, sebagai ciptaan Allah terluhur dan termulia di dunia ini, demikian juga mengampuni mereka yang bersalah atau berdosa.

“Aku hendak memuji TUHAN pada segala waktu; puji-pujian kepada-Nya tetap di dalam mulutku. Karena TUHAN jiwaku bermegah; biarlah orang-orang yang rendah hati mendengarnya dan bersukacita.Muliakanlah TUHAN bersama-sama dengan aku, marilah kita bersama-sama memasyhurkan nama-Nya! Aku telah mencari TUHAN, lalu Ia menjawab aku, dan melepaskan aku dari segala kegentaranku” (Mzm 34:2-5).


(Romo Ignatius Sumarya, SJ)