“Manakah yang diperbolehkan pada hari Sabat” (Kol 1:24 – 2:3; Mzm 62:6-7.9; Luk 6:6-11)

“Pada suatu hari Sabat lain, Yesus masuk ke rumah ibadat, lalu mengajar. Di situ ada seorang yang mati tangan kanannya.Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi mengamat-amati Yesus, kalau-kalau Ia menyembuhkan orang pada hari Sabat, supaya mereka dapat alasan untuk mempersalahkan Dia.Tetapi Ia mengetahui pikiran mereka, lalu berkata kepada orang yang mati tangannya itu: "Bangunlah dan berdirilah di tengah!" Maka bangunlah orang itu dan berdiri.Lalu Yesus berkata kepada mereka: "Aku bertanya kepada kamu: Manakah yang diperbolehkan pada hari Sabat, berbuat baik atau berbuat jahat, menyelamatkan nyawa orang atau membinasakannya?" Sesudah itu Ia memandang keliling kepada mereka semua, lalu berkata kepada orang sakit itu: "Ulurkanlah tanganmu!" Orang itu berbuat demikian dan sembuhlah tangannya. Maka meluaplah amarah mereka, lalu mereka berunding, apakah yang akan mereka lakukan terhadap Yesus”(Lukas 6:6-11), demikian kutipan Warta Gembira hari ini

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

· Hari Sabat adalah hari khusus yang dipersembahkan kepada Tuhan, dan dalam peraturan hari Sabat antara lain orang tidak boleh bekerja dan diharapkan berisirahat menikmati kebersamaan dengan Tuhan dan saudara-saudari sekeluarga atau dekat. Dengan kata lain pada hari Sabat orang diharapkan senantiasa berbuat baik, hidup dan bertindak berdasarkan kaidah moral yang benar. Cukup menarik apa yang dilakukan oleh para ahli Taurat dan orang-orang Farisi: mereka berpikiran jahat terhadap orang lain dan berusaha untuk melihat kesalahan atau kekurangan orang lain, yaitu Yesus. Menanggapi pikiran jahat mereka Yesus menyembuhkan orang sakit sambil berkata:”Manakah yang diperbolehkan pada hari Sabat, berbuat baik atau berbuat jahat, menyelamatkan nyawa orang atau membinasakannya?”.Jawaban yang benar adalah ‘berbuat baik dan menyelamatkan nyawa orang’., maka marilah kita senantiasa berusaha berbuat baik dan menyelamatkan nyawa orang tidak hanya pada hari Sabat/Minggu saja, tetapi setiap hari atau setiap saat dimanapun dan kapanpun. Maka ketika melihat siapapun yang sungguh membutuhkan bantuan marilah segera kita bantu sesuai dengan kebutuhannya dan kemampuan kita. Berbuat baik tidak perlu izin atau minta rekomendasi dari orang lain; sebaliknya kepada para pemimpin atau atasan kami harapkan untuk berterima kasih dan bersyukur ketika bawahan atau anggotanya berbuat baik, meskipun apa yang mereka lakukan nampaknya tidak sesuai dengan aturan atau tatanan hidup. Aturan atau tatanan berada pada ranah norma hukum, sedangkan baik berada ranah norma moral; norma moral berada di atas atau mengatasi norma hukum. Demikian juga nyawa lebih penting dan utama daripada tubuh atau aturan dan tatanan hidup.

· “Sekarang aku bersukacita bahwa aku boleh menderita karena kamu, dan menggenapkan dalam dagingku apa yang kurang pada penderitaan Kristus, untuk tubuh-Nya, yaitu jemaat” (Kol 1:24), demikian kesaksian iman Paulus kepada umat di Kolose, kepada kita semua orang yang beriman kepada Yesus Kristus. Bersukacita dalam penderitaan pelayanan kepada orang lain atau sesama, itulah panggilan dan tugas pengutusan kita semua. Apa yang dikatakan Paulus ini kiranya senada dengan seorang ibu yang bersedia menderita dalam melahirkan anaknya, dan itu dilakukan atau dihayati dalam dan oleh cintakasih. Penderitaan yang lahir dari cintakasih memang merupakan jalan keselamatan atau kebahagiaan sejati. Yesus Kristus telah menderita sengsara dan wafat di kayu salib demi keselamatan seluruh umat manusia, seluruh dunia, dan kita dipanggil untuk meneladan Dia. Menderita karena cintakasih dan kebahagiaan sejati bagaikan mata uang bermuka dua, dapat dibedakan tetapi tak dapat dipisahkan. Untuk membahagiakan orang lain kita harus siap sedia dan rela berkorban maupun menderita karena harus berjuang, dan dalam penderitaan itulah terjadi kebahagiaan sejati. Sebagai contoh kiranya anda dapat mengenangkan sejenak ketika anda masih dalam/sedang dalam masa pacaran atau tunangan. Bukankah selama dalam masa pacaran atau tunangan anda siap sedia untuk menderita dan berkorban bagi yang lain, pacarnya atau tunangannya, dan dengan demikian anda merasa puas, nikmat dan bahagia. Marilah kita sikapi saudara-saudari atau sesama kita bagaikan ‘pacar atau tunangan’ kita, sehingga kita siap sedia dan rela untuk berkorban dan menderita bagi kebahagiaan dan keselamatan sesama kita. Dalam saling menderita dan berkorban juga terjadi saling melengkapi dan menyempurnakan.

“Hanya pada Allah saja kiranya aku tenang, sebab dari pada-Nyalah harapanku.Hanya Dialah gunung batuku dan keselamatanku, kota bentengku, aku tidak akan goyah. Pada Allah ada keselamatanku dan kemuliaanku; gunung batu kekuatanku, tempat perlindunganku ialah Allah.Percayalah kepada-Nya setiap waktu, hai umat, curahkanlah isi hatimu di hadapan-Nya; Allah ialah tempat perlindungan kita” (Mzm 62:6-9).


(Romo Ign Sumarya, SJ)