"Keluarkanlah dahulu balok dari matamu." ( 1Tim 1:1-2.12-14; Mzm 16:1.2a.5.7-8.11; Luk 6:39-42)

"Yesus mengatakan pula suatu perumpamaan kepada mereka: "Dapatkah orang buta menuntun orang buta? Bukankah keduanya akan jatuh ke dalam lobang? Seorang murid tidak lebih dari pada gurunya, tetapi barangsiapa yang telah tamat pelajarannya akan sama dengan gurunya. Mengapakah engkau melihat selumbar di dalam mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu sendiri tidak engkau ketahui? Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Saudara, biarlah aku mengeluarkan selumbar yang ada di dalam matamu, padahal balok yang di dalam matamu tidak engkau lihat? Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu." (Luk 6:39-42), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

· Pada umumnya orang lebih mudah dan senang melihat kelemahan dan kekurangan orang lain, sementara itu untuk melihat dan mengakui kelemahan dan kekurangannya sendiri sungguh sulit dan berat atau bahkan tak mau mengakui kelemahan dan kekurangannya. Sabda hari ini mengajak dan memanggil kita orang beriman untuk pertama-tama melihat kelemahan dan kekurangannya serta kemudian memperbaikinya baru kemudian minta orang lain untuk memperbaiki kelemahan dan kekurangannya. Yang sering mudah melihat kekurangan dan kelemahan orang lain pada umumnya usianya juga lebih tua maupun berkedudukan lebih tinggi, padahal hemat saya semakin tua dan tambah usia berarti akan semakin tambah dosanya juga alias kelemahan dan kekurangannya. Maka kami mengajak siapapun yang lebih tua, berkedudukan, berpengalaman serta berpengaruh di dalam kehidupan bersama untuk menjadi teladan pengakuan dan penghayatan diri sebagai yang lemah dan rapuh serta tidak mudah melihat kelemahan dan kekurangan orang lain. Hendaknya kita semua tidak munafik, dan kepada siapapun yang munafik kami ajak untuk bertobat alias memperbaharui diri. Munafik berarti berpura-pura percaya atau setia dsb. kepada agama dsb..tetapi sebenarnya di hatinya tidak; suka (selalu mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan perbuatannya; berpura-pura (Kamus Besar Bahasa Indonenesia,Departemen Pendidikan Indonesia 1988, hal 599). Marilah jujur, berkata apa adanya sesuai dengan apa yang ada di dalam hati kita. Tidak jujur berarti akan celaka dan sengsara selamanya.

· "Aku bersyukur kepada Dia, yang menguatkan aku, yaitu Kristus Yesus, Tuhan kita, karena Ia menganggap aku setia dan mempercayakan pelayanan ini kepadaku -- aku yang tadinya seorang penghujat dan seorang penganiaya dan seorang ganas, tetapi aku telah dikasihani-Nya, karena semuanya itu telah kulakukan tanpa pengetahuan yaitu di luar iman."(1Tim 1:12-13), demikian kesaksian iman Paulus kepada Timoteus. Mungkin kita semua tidak jauh dari apa yang dialami dan dihayati oleh Paulus, lebih-lebih bahwa masing-masing dari kita pernah berbuat jahat atau berdosa dan telah menerima kasih pengampunan Tuhan, sehingga ada kemungkinan bagi kita untuk setia pada panggilan dan tugas pengutusan kita. Maka baiklah jika memang saat ini setia pada panggilan dan tugas pengutusan, marilah hal itu kita hayati sebagai penguatan dari Tuhan/rahmat Tuhan, bukan semata-mata hasil usaha atau jerih payah kita. Maka hendaknya hidup dan bertindak dengan rendah hati untuk meneguhkan dan memperkuat kesetiaan kita, percaya bahwa Tuhan senantiasa menguatkan dan mendampingi kita melalui aneka macam bentuk kebaikan dari saudara-saudari kita. Karena kita telah menerima kebaikan dari saudara-saudari kita, maka selayaknya kita berterima kasih kepada mereka dengan melayani mereka. Marilah segala kekuatan dan keterampilan yang pernah kita fungsikan untuk berbuat dosa atau munafik selanjutnya kita fungsikan untuk melayani saudara-saudari kita. Secara khusus marilah kita ingatkan mereka yang masih munafik untuk bertobat. Kami berharap anak-anak di dalam keluarga sedini mungkin dibina dan dididik untuk tidak munafik dengan teladan konkret dari para orangtua atau bapak-ibu; tentu saja kepada bapak-ibu atau orangtua kami berharap jika bersalah terhadap anak-anak hendaknya dengan jiwa besar dan hati rela berkorban mengakui dan minta maaf kepada anak-anak, demikian juga para pemimpin terhadap anggotanya, para atasan terhadap bawahannya. Saling mengakui kesalahan dan minta maaf serta saling memaafkan hemat saya merupakan salah satu bentuk penghayatan kesetiaan kita pada iman dan pelayanan kita.

"Aku memuji TUHAN, yang telah memberi nasihat kepadaku, ya, pada waktu malam hati nuraniku mengajari aku. Aku senantiasa memandang kepada TUHAN; karena Ia berdiri di sebelah kananku, aku tidak goyah." (Mzm 16:7-8)

Jumat, 9 September 2011

Romo Ign Sumarya, SJ