HOMILI: Hari Minggu Biasa XXIV (Sir 27:30-28:9; Mzm 103:1-2,3-4,9-10,11-12; Rm 14:7-9; Mat 18:21-35)

"Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku”
Kita semua kiranya mendambakan hidup damai sejahtera lahir dan batin setiap hari dimanapun dan kapanpun. Namun di dalam kenyataan sering kita lihat masih marak aneka bentuk permusuhan dan balas dendam yang muncul dari kebencian maupun egoism. Memasuki Millenium Ketiga Paus Yohanes Paulus II dalam hari Perdamaian Sedunia menyampaikan tema berjudul “There is no peace without justice ,there is no justice without forgiveness” (=Tiada perdamaian tanpa keadilan, tiada keadilan tanpa kasih pengampunan). Dengan kata lain jika kita mendambakan perdamaian sejati di bumi dan di akhirat nanti, marilah kita hidup saling mengampuni, sebagaimana disabdakan oleh Yesus “Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali” (Mat 18:22). Maka marilah kita renungkan dan hayati sabda Yesus ini.
“Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali” (Mat 18:22)
Tujuh puluh kali tujuh kali” sana dengan empat ratus sembilan puluh. Saya kira tak ada seorangpun di antara kita pernah mengampuni saudaranya dengan menghitung, dan kalau dihitung mungkin tidak akan sampai dengan empat ratus sembilan puluh kali dalam mengampuni. Apa yang dimaksudkan oleh Yesus tidak lain adalah hendaknya saling mengampuni terus menerus tanpa batas. Hemat saya masing-masing dari kita telah menerima kasih pengampunan dari Tuhan secara melimpah ruah karena kemurahan Hati-Nya melalui sekian banyak orang yang telah bergaul dengan kita, lebih-lebih atau terutama melalui ibu kita masing-masing. Bukankah ketika kita masih bayi atau kanak-kanak selalu merepotkan dan mengganggu ibu kita, namun demikian ibu tidak marah, melainkan dengan penuh kasih pengampunan telah mengampuni dan mengasihi kita? Maka sebenarnya ajakan untuk hidup saling mengampuni tidak sulit asal kita tidak egois, karena tinggal menyalurkan kasih pengampunan yang telah kita miliki secara melimpah ruah.
Bapa-Ku yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu." (Mat 18:35), demikian sabda Yesus kepada kita semua yang beriman kepada-Nya. Hati memang merupakan pusat hidup kita, ingat akan kata-kata “jantung hati, patah hati, sakit hati dst..”, yang tidak lain adalah seluruh pribadi manusia. Tanda cinta sering disimbolkan dengan hati yang tertusuk oleh panah yang tajam, yang secara harafiah berarti hatinya disakiti. Meskipun hati disakiti (tertusuk panah tajam) namun orang tidak marah, melainkan gembira dan bergairah.
Kasih pengampunan memang merupakan salah satu bentuk cinta dan ketika orang sungguh mencintai dan siap sedia untuk dicintai, maka lahirlah kekuatan luar biasa dari dalam, sehingga memiliki tenaga atau kekuatan dalam menghadapi aneka rangsangan atau perlakuan yang tidak enak atau tidak sesuai dengan selera pribadi. Tenaga atau kekuatan luar biasa yang lahir dari cinta merupakan senjata handal untuk mengampuni, dengan mengampuni maka tenaga dan kekuatan untuk mencinta akan semakin kuat dan tangguh. Hadapi dan sikapi aneka perlakuan yang tidak enak atau tidak sesuai dengan selera anda dengan dan dalam kasih, maka anda akan menikmati kebahagiaan luar biasa, yang sulit untuk dijelaskan dengan akal sehat saja. Kebahagiaan yang lahir dari cinta mengatasi akal sehat atau pikiran kita, yang serba terbatas. Selanjutnya marilah kita renungkan kesaksian iman Paulus kepada umat di Roma di bawah ini.
Tidak ada seorang pun di antara kita yang hidup untuk dirinya sendiri, dan tidak ada seorang pun yang mati untuk dirinya sendiri. Sebab jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk Tuhan. Jadi baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan” (Rm 14:7-8)
Hidup kita adalah milik Tuhan” kiranya dengan mudah dikatakan dan dijelaskan namun pada umumnya sulit untuk dihayati atau dilsksanakan. Tidak ada seorang pun di bumi ini yang dari dirinya sendiri berkehendak untuk hidup, yang benar adalah masing-masing dari kita diciptakan oleh Tuhan dengan minta partisipasi bapak-ibu kita yang saling mengasihi dan kasih bapak-ibu pun juga dihayati sebagai anugerah Tuhan. Hidup kita adalah anugerah Tuhan, dank arena hidup adalah anugerah Tuhan maka segala sesuatu yang kita miliki, nikmati dan kuasai saat ini serta menyertai hidup kita juga merupakan anugerah Tuhan. “Everything is given” = Segala sesuatu adalah anugerah. Maka orang yang sungguh beriman kepada Tuhan pasti akan rendah hati, tidak sombong. Semakin tambah usia dan aneka kekayaan berarti akan semakin rendah hati, Ingat akan pepatah ‘Bulir padi semakin berisi semakin menunduk’, yang berarti semakin pandai, berpengalaman, kaya akan harta benda, tua dst.. semakin ‘menunduk’ alias rendah hati. Kami berharap orangtua menjadi teladan rendah hati bagi anak-anaknya, pemimpin bagi anggotanya, atasan bagi bawahanya, dst..
“Mati juga milik Tuhan”, dan tak ada seorangpn yang sungguh beriman ingin segera mati dan tahu kapan akan mati atau dipanggil Tuhan. Kalau tidak atau kurang beriman mungkin tahu kapan akan mati, misalnya mereka yang bunuh diri atau kena hukuman mati karena kejahatannya. Kematian datangnya bagaikan pencuri di tengah malam yang mencuri harta benda kita sementara kita tertidur pulas dan lelap. Ingat dan perhatikan ada orang yang mati mendadak, entah sendirian atau bersama-sama/rombongan, misalnya yang kena serangan jantung atau karena kecelakaan lalu lintas, gempa bumi, tsunami, kapal tenggelam, pesawat jatuh, dst.. Maka dengan ini kami berharap anda senantiasa dalam keadaan siap sedia dipanggil Tuhan atau mati, dan sebagai tanda kesiap sediaan kita marilah kita hayati ajakan atau kesaksian Paulus.
“Tidak ada seorang pun di antara kita yang hidup untuk dirinya sendiri,” (Rm 14:7a). Jati diri kita masing-masing adalah makluk sosial, yang berarti kita tak mungkin dapat hidup sendirian saja. Sejak semua Tuhan telah menganugerahkan ‘penolong yang lain’, yang sepadan dengan manusia: Hawa diciptakan untuk menjadi penolong Adam yang sepadan . Memang yang mendorong atau memotivasi kita untuk sosial, alias hidup untuk orang lain adalah perbedaan jenis kelamin: laki-laki terhadap perempuan dan sebaliknya. Dengan kata lain yang berbeda satu sama lain tetapi tergerak dan termotivasi untuk mendekat, bersahabat dan bersatu saling mengasihi dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi dan segenap kekuatan atau tubuh. Itulah pengalaman hidup antar suami-isteri yang saling mengasihi. Maka kami berharap para bapak-ibu dapat menjadi teladan dalam hidup sosial, ‘to be man or woman with/for others’ bagi anak-anaknya, dan tentu saja juga mendidik dan membiasakan anak-anak untuk ‘to be man or woman with/for others’.
Ingatlah akan akhir hidup dan hentikanlah permusuhan, ingatlah akan kebusukan serta maut dan hendaklah setia kepada segala perintah. Ingatlah akan perintah-perintah dan jangan mendendami sesama manusia, hendaklah ingat akan perjanjian dari Yang Mahatinggi, lalu ampunilah kesalahannya” (Sir 28:6-7). Kutipan di atas ini hendaknya kita renungkan dan hayati untuk memperteguh iman kita bahwa hidup atau mati kita adalah milik Tuhan. Akhir hidup kita adalah detik-detik atau menit-menit terakhir hidup kita maupun saat pemakaman kita. Semoga pada akhir hidup kita berdoa sebagaimana didoakan oleh salah satu penjahat yang dsalibkan bersama dengan Yesus, yaitu "Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja." (Luk 24:42)
“Pujilah TUHAN, hai jiwaku! Pujilah nama-Nya yang kudus, hai segenap batinku! Pujilah TUHAN, hai jiwaku, dan janganlah lupakan segala kebaikan-Nya! Dia yang mengampuni segala kesalahanmu, yang menyembuhkan segala penyakitmu, Dia yang menebus hidupmu dari lobang kubur, yang memahkotai engkau dengan kasih setia dan rahmat,” (Mzm 103:1-4)
Ign 11 September 2011