“Hikmat dibenarkan oleh semua orang yang menerimanya” (1Kor 12:31-13:13; Mzm 33:2-5.12.22; Luk 7:31-35)


“ Kata Yesus: "Dengan apakah akan Kuumpamakan orang-orang dari angkatan ini dan dengan apakah mereka itu sama? Mereka itu seumpama anak-anak yang duduk di pasar dan yang saling menyerukan: Kami meniup seruling bagimu, tetapi kamu tidak menari, kami menyanyikan kidung duka, tetapi kamu tidak menangis. Karena Yohanes Pembaptis datang, ia tidak makan roti dan tidak minum anggur, dan kamu berkata: Ia kerasukan setan. Kemudian Anak Manusia datang, Ia makan dan minum, dan kamu berkata: Lihatlah, Ia seorang pelahap dan peminum, sahabat pemungut cukai dan orang berdosa. Tetapi hikmat dibenarkan oleh semua orang yang menerimanya.” (Luk 7:31-35), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

Berrefleksi atas bacaan-bacaan dalam rangka mengenangkan SP Maria Berdukacita hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

• Mendengarkan dan menerima serta kemudian meresapkan ke dalam hati apa yang diajarkan atau dibicarakan memang butuh pengorbanan dan perjuangan serta keutamaan rendah hati. Dalam warta gembira di atas dikisahkan tentang angkatan orang-orang yang menolak aneka macam ajaran dan ajakan untuk pembaharuan hidup, bahkan mereka malah melecehkan mereka yang mengajak dan mengajarkannya. SP Maria dikenal sebagai teladan umat beriman yang ‘mendengarkan dan merenungkan ke dalam hati alias menerimanya dengan sepenuh hati’ apa-apa yang disampaikan kepadanya. Memang pada saat mendengarkan belum faham atau jelas apa maksudnya, maka perlu direnungkan dan diresapkan kemudian. Orang yang dapat mendengarkan dan menerima aneka ajakan dan ajaran untuk pembaharuan hidup pasti akan berhikmat alias bijak, sehingga selamat dan bahagia serta damai sejahtera perjalanan hidup dan panggilannya, serta yang bersangkutan dapat menjadi teladan dalam hidup beriman bagi saudara-saudari di lingkungan hidupnya. Jika anda mendambakan diri berhikmat dan bijak, marilah kita buka telinga hati, jiwa dan akal budi serta tubuh kita terhadap suara dan karya Tuhan yang hidup dan berkarya dalam seluruh ciptaan-Nya di bumi ini, dalam diri manusia, binatang maupun tanaman/tumbuh-tumbuhan; dengan kata lain marilah kita temukan dan jumpai Tuhan yang hidup dan berkarya di dalam segala sesuatu di dunia ini. Seperti saya katakan diatas untuk itu memang butuh pengorbanan, perjuangan dan kerendahan hati. Orang harus siap sedia berdukacita karena kesetiaan dan ketaatan pada panggilan dan tugas pengutusan, jika mendambakan diri sebagai yang berhikmat dan bijak.

• “Berusahalah untuk memperoleh karunia-karunia yang paling utama. Dan aku menunjukkan kepadamu jalan yang lebih utama lagi” (1Kor 12:31), demikian saran atau nasihat Paulus. Jalan yang lebih atau paling utama untuk berhikmat dan bijak adalah ‘kasih’, dan “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu” (1Kor 13:4-7). Ajaran kasih dari Paulus di atas ini menurut Danah Zohar dan Ian Marshall, penulis buku Spiritual Quotient (SQ) /Kecerdasan Spiritual, merupakan syair kasih yang terbaik dan luar biasa tiada duanya di dunia ini, maka jika kita mendambakan diri tumbuh berkembang menjadi pribadi yang cerdas secara spiritual marilah kita hayati ajaran kasih Paulus tersebut sebagai jalan atau cara hidup dan bertindak kita dimanapun dan kapanpun. Yang mungkin baik saya angkat disini adalah ‘tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain’, mengingat dan memperhatikan masih cukup banyak orang mudah marah dan menyimpan kesalahan orang lain, yang kemudian berkembang menjadi permusuhan dan kebencian serta rusaknya hidup persaudaraan sejati. Marah berarti mendambakan apa yang membuat marah hilang musnah atau tidak ada lagi, dengan kata lain jika kita memarahi saudara-saudari kita berarti kita mendambakan mereka segera mati alias melecehkan dan menindas hak-hak azasi manusia atau harkat martabat manusia sebagai ciptaan termulia di dunia ini. Memang yang menjadi akar atau menyuburkan kemarahan adalah kebiasaan menyimpan kesalahan, kekurangan atau kelemahan orang lain. Maka marilah kita tidak menyimpan kesalahan, kekurangan dan kelemahan orang lain, apalagi mengingat dan memperhatikan bahwa diri kita sendiri penuh dengan kesalahan, kekurangan dan kelemahan. Menghayati kasih sebenarnya mudah, jika masing-masing diri kita menghayati diri sebagai yang terkasih, sehingga bertemu dengan siapapun berarti kasih bertemu dengan kasih dan dengan demikian otomatis saling mengasihi.

“Bersyukurlah kepada TUHAN dengan kecapi, bermazmurlah bagi-Nya dengan gambus sepuluh tali! Nyanyikanlah bagi-Nya nyanyian baru; petiklah kecapi baik-baik dengan sorak-sorai!Sebab firman TUHAN itu benar, segala sesuatu dikerjakan-Nya dengan kesetiaan.Ia senang kepada keadilan dan hukum; bumi penuh dengan kasih setia TUHAN” (Mzm 33:2-5)

Kamis, 15 September 2011

Romo Ign Sumarya, SJ