“Anggur yang baru harus disimpan dalam kantong yang baru pula” (Kol 1:15-20; Mzm 100:2-5; Luk 5:33-39)

“Orang-orang Farisi itu berkata pula kepada Yesus: "Murid-murid Yohanes sering berpuasa dan sembahyang, demikian juga murid-murid orang Farisi, tetapi murid-murid-Mu makan dan minum." Jawab Yesus kepada mereka: "Dapatkah sahabat mempelai laki-laki disuruh berpuasa, sedang mempelai itu bersama mereka? Tetapi akan datang waktunya, apabila mempelai itu diambil dari mereka, pada waktu itulah mereka akan berpuasa." Ia mengatakan juga suatu perumpamaan kepada mereka: "Tidak seorang pun mengoyakkan secarik kain dari baju yang baru untuk menambalkannya pada baju yang tua. Jika demikian, yang baru itu juga akan koyak dan pada yang tua itu tidak akan cocok kain penambal yang dikoyakkan dari yang baru itu. Demikian juga tidak seorang pun mengisikan anggur yang baru ke dalam kantong kulit yang tua, karena jika demikian, anggur yang baru itu akan mengoyakkan kantong itu dan anggur itu akan terbuang dan kantong itu pun hancur. Tetapi anggur yang baru harus disimpan dalam kantong yang baru pula. Dan tidak seorang pun yang telah minum anggur tua ingin minum anggur yang baru, sebab ia akan berkata: Anggur yang tua itu baik." (Luk 5:33-39), demikian kutipan Warta Gembira hari ini

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

• “Demenyar = demen sing anyar” (suka yang baru), demikian bunyi peribahasa Jawa, yang menggambarkan orang yang senantiasa suka pada apa-apa yang baru, maka yang bersangkutan ketika ada barang baru senantiasa membeli atau mengusahakan. Memang pada umumnya orang bergairah untuk mendapatkan sesuatu yang baru, namun lemah atau kurang dalam merawat atau memelihara yang baru, yang diperolehnya tersebut. “Anggur yang baru harus disimpan dalam kantong yang baru pula”, demikian sabda Yesus. Sabda ini kiranya mengajak dan memanggil kita untuk senantiasa memperbaha-rui diri, sesuai dengan motto “ecclesia semper reformanda est” (=Gereja harus selalu diperbaharui). Yang dimaksudkan dengan Gereja adalah kita semua yang beriman kepada Yesus Kristus khususnya, tetapi bolehlah saya juga mengenakan pada seluruh umat beriman. Secara konkret ajakan atau panggilan tersebut antara lain dapat dihayati: (1) sebagai yang telah dibaptis hendaknya hidup dan bertindak sesuai dengan janji baptis, (2) sebagai suami-isteri hendaknya hidup dan bertindak sesuai dengan janji perkawinan, yang berarti laki-laki dan perempuan telah menjadi satu dan bukan dua lagi, maka hendaknya senantiasa diusahakan kesatuan dalam berbagai hal, (3) sebagai anggota lembaga hidup baik, biarawan dan biarawati, hendaknya hidup dan bertindak sesuai dengan karisma pendiri, (4) sebagai imam hendaknya setia menjadi penyalur rahmat Tuhan bagi sesamanya, dst.. Untuk itu semua kiranya dibutuhkan matiraga alias pengendalian nafsu anggota tubuh agar bergerak atau berfungsi sesuai dengan kehendak Ilahi. Hari-hari ini semangat baru, dalam merayakan Idul Fitri, kiranya masih menggema, maka kami berharap semangat tersebut terus diperkembangkan dan diperdalam dalam hidup sehari-hari di kemudian hari.

• “Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan, karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia” (Kol 1:15-16). Yang dimaksudkan dengan ‘Ia’ disini adalah Yesus Kristus. Kita semua yang beriman kepada-Nya dipanggil untuk meneladan-Nya, maka marilah kita mawas diri apakah kita layak menjadi ‘gambar Allah yang tidak kelihatan’. Baiklah kita sadari bahwa masing-masing dari kita diciptakan oleh Allah sesuai dengan gambar atau citra-Nya, namun kiranya dalam perjalanan waktu hal tersebut mengalami erosi atau kemerosotan karena kelalaian atau kesambalewaan kita. Marilah ‘back to basic’, kembali ke jati diri kita yang sejati sebagai gambar atau citra Allah, dan memang untuk itu butuh matiraga. Menjadi gambar atau citra Allah antara lain berarti siapapun yang bertemu, bergaul dan bercakap-cakap dengan kita tergerak untuk semakin mempersembahkan dirinya kepada Allah, semakin suci, semakin beriman. Allah adalah kasih, maka sebagai gambar atau citra Allah berarti hidup dan bertindak dalam serta oleh kasih, yang antara lain menjadi nyata dalam “sabar, murah hati, tidak cemburu, tidak memegahkan diri dan tidak sombong, tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri, tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain, tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran, menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu” (1Kor 13:4-7).

“Beribadahlah kepada TUHAN dengan sukacita, datanglah ke hadapan-Nya dengan sorak-sorai! Ketahuilah, bahwa TUHANlah Allah; Dialah yang menjadikan kita dan punya Dialah kita, umat-Nya dan kawanan domba gembalaan-Nya. Masuklah melalui pintu gerbang-Nya dengan nyanyian syukur, ke dalam pelataran-Nya dengan puji-pujian, bersyukurlah kepada-Nya dan pujilah nama-Nya! Sebab TUHAN itu baik, kasih setia-Nya untuk selama-lamanya, dan kesetiaan-Nya tetap turun-temurun” (Mzm 100:2-5)


Jumat, 2 September 2011


Romo Ign Sumarya, SJ