“Siapakah hamba yang setia dan bijaksana?” (1Tes 3:7-13; Mzm 90:3-4.12-13.14.17; Mat 24:42-51)


“Karena itu berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu pada hari mana Tuhanmu datang. Tetapi ketahuilah ini: Jika tuan rumah tahu pada waktu mana pada malam hari pencuri akan datang, sudahlah pasti ia berjaga-jaga, dan tidak akan membiarkan rumahnya dibongkar. Sebab itu, hendaklah kamu juga siap sedia, karena Anak Manusia datang pada saat yang tidak kamu duga." "Siapakah hamba yang setia dan bijaksana, yang diangkat oleh tuannya atas orang-orangnya untuk memberikan mereka makanan pada waktunya? Berbahagialah hamba, yang didapati tuannya melakukan tugasnya itu, ketika tuannya itu datang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya tuannya itu akan mengangkat dia menjadi pengawas segala miliknya. Akan tetapi apabila hamba itu jahat dan berkata di dalam hatinya: Tuanku tidak datang-datang, lalu ia mulai memukul hamba-hamba lain, dan makan minum bersama-sama pemabuk-pemabuk, maka tuan hamba itu akan datang pada hari yang tidakdisangkakannya, dan pada saat yang tidak diketahuinya, dan akan membunuh dia dan membuat dia senasib dengan orang-orang munafik. Disanalah akan terdapat ratapan dan kertakan gigi.” (Mat 24:42-51), demikian kutipan Warta Gembira hari ini

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

• Cukup banyak orang kurang setia pada janji-janji yang telah diikrarkan, maka dengan demikian mereka juga kurang bijak dalam berperilaku atau bertindak. Sabda hari ini mengajak kita semua untuk mawas diri perihal kesetiaan dan kebijakan, maaf bukan bijaksana. Para pengusaha sering mengurangi ukuran kemasan sebagaimana terulis dalam sampul, para pendidik/guru dan pelajar pada umumnya mengurangi jam-jam pertama atau terakhir jumlah jam pelajaran, dalam mengikuti atau berpartisipasi dalam ibadat atau kegiatan sering orang datang terlambat dan pulang lebih awal, para pengendara tidak setia pada tata tertib berlalu-lintas, dst.. “Setia adalah sikap dan perilaku yang menunjukkan keterikatan dan kepedulian atas perjanjian yang telah dibuat” (Prof Dr Edi Sedyawati/edit: Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka – Jakarta 1997, hal 24). Baiklah secara khusus kami mengajak anda sekalian untuk mawas diri perihal ‘janji baptis’, dimana kita berjanji ‘hanya mau mengabdi Tuhan saja dan menolak semua godaan setan’. Mengabdi Tuhan berarti senantiasa mendengarkan dan melaksanakan perintah Tuhan, yang antara lain diterjemahkan ke dalam aneka tata tertib yang terkait dengan panggilan dan tugas pengutusan kita masing-masing. Maka marilah kita setia melaksanakan tata tertib yang terkait dengan panggilan dan tugas pengutusan kita masing-masing. Tidak setia pada tata tertib berarti mengikuti godaan setan. Godaan setan antara lain menggejala ke dalam aneka tawaran kenikmatan sebagai wujud nafsu yang tak terkendali, yang memang terkait dengan kenikmatan-kenikmatan phisik seperti tidur, makan-minum dan seks. Kenikmatan memang merupakan anugerah Tuhan, kenikmatan yang dikehendaki Tuhan ialah yang membantu, memperdalam dan membangun persahabatan kita dengan Tuhan maupun sesama manusia, antara lain melayani sesama dengan rendah hati.

• “Kiranya Tuhan menjadikan kamu bertambah-tambah dan berkelimpahan dalam kasih seorang terhadap yang lain dan terhadap semua orang, sama seperti kami juga mengasihi kamu. Kiranya Dia menguatkan hatimu, supaya tak bercacat dan kudus, di hadapan Allah dan Bapa kita pada waktu kedatangan Yesus, Tuhan kita, dengan semua orang kudus-Nya” (1Tes 3:12-13), demikian dambaan dan doa Paulus bagi umat di Tesalonika, bagi kita semua umat beriman. “Bertambah-tambah dan berkelimpahan dalam kasih terhadap yang lain dan terhadap semua orang”, inilah yang hendaknya kita renungkan atau refleksikan. Semua agama atau orang kiranya mengajarkan kasih, dan mendambakan kita semua saling mengasihi, agar ‘tak bercacat dan kudus’. Sekali lagi saya angkat di sini bahwa masing-masing dari kita adalah ‘yang terkasih’ atau buah kasih, diciptakan dan ditumbuh-kembangkan dalam dan oleh kasih. Jika masing-masing dari kita menyadari dan menghayati diri sebagai ‘yang terkasih’ kiranya panggilan untuk hidup saling mengasihi dapat kita hayati dengan mudah. Maka pertama-tama saya mengingatkan kita semua untuk menyadari dan menghayati diri sebagai yang terkasih. Untuk itu marilah kita kenangkan ketika kita masih berada di rahim ibu atau masa kanak-kanak/bayi kita: bukankah pada masa itu kita sungguh dikasihi sehingga kita dapat tumbuh berkembang sebagaimana adanya saat ini. Dengan kata lain masing-masing dari kita kaya akan kasih secara melimpah ruah, maka panggilan untuk saling mengasihi adalah menyalurkan kasih yang kita miliki tersebut. Memang kita diharapkan tidak pelit untuk menyalurkan kasih kepada saudara-saudari kita.

“Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana. Kembalilah, ya TUHAN -- berapa lama lagi? -- dan sayangilah hamba-hamba-Mu! Kenyangkanlah kami di waktu pagi dengan kasih setia-Mu, supaya kami bersorak-sorai dan bersukacita semasa hari-hari kami” (Mzm 90:12-14)


Kamis, 25 Agustus 2011

Romo Ign Sumarya, SJ