"Sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku?" (Yos 3:7-10a,11,13-17; Mzm 114:1-2,3-4,5-6; Mat 18:21-19:1)


“Kemudian datanglah Petrus dan berkata kepada Yesus: "Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?" Yesus berkata kepadanya: "Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali. Sebab hal Kerajaan Sorga seumpama seorang raja yang hendak mengadakan perhitungan dengan hamba-hambanya. Setelah ia mulai mengadakan perhitungan itu, dihadapkanlah kepadanya seorang yang berhutang sepuluh ribu talenta. Tetapi karena orang itu tidak mampu melunaskan hutangnya, raja itu memerintahkan supaya ia dijual beserta anak isterinya dan segala miliknya untuk pembayar hutangnya. Maka sujudlah hamba itu menyembah dia, katanya: Sabarlah dahulu, segala hutangku akan kulunaskan. Lalu tergeraklah hati raja itu oleh belas kasihan akan hamba itu, sehingga ia membebaskannya dan menghapuskan hutangnya. Tetapi ketika hamba itu keluar, ia bertemu dengan seorang hamba lain yang berhutang seratus dinar kepadanya. Ia menangkap dan mencekik kawannya itu, katanya: Bayar hutangmu! Maka sujudlah kawannya itu dan memohon kepadanya: Sabarlah dahulu, hutangku itu akan kulunaskan. Tetapi ia menolak dan menyerahkan kawannya itu ke dalam penjara sampai dilunaskannya hutangnya. Melihat itu kawan-kawannya yang lain sangat sedih lalu menyampaikan segala yang terjadi kepada tuan mereka. Raja itu menyuruh memanggil orang itu dan berkata kepadanya: Hai hamba yang jahat, seluruh hutangmu telah kuhapuskan karena engkau memohonkannya kepadaku. Bukankah engkau pun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau? Maka marahlah tuannya itu dan menyerahkannya kepada algojo-algojo, sampai ia melunaskan seluruh hutangnya. Maka Bapa-Ku yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu.” (Mat 18:21-35), demikian kutipan Warta Gembira hari ini

Berrefleksi atas bacaan-bacaan serta rangka mengenangkan pesta St.Klara, perawan, hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

· Hidup terpanggil selamanya sebagai perawan alias tidak menikah demi Kerajaan Allah berarti mempersembahkan diri seutuhnya kepada Allah melalui aneka bentuk pelayanan kepada sesama, dimanapun dan kapanpun. Dalam melayani sesama yang beaneka ragam kiranya tak akan pernah terlepas dari aneka perlakuan yang tidak baik alias tidak sesuai dengan selera pribadi serta mudah membuat marah atau mengeluh. Kekuatan untuk melawan perlakuan yang tidak baik tersebut tidak lain adalah kasih pengampunan, maka dengan ini kami berharap kepada rekan-rekan yang tidak menikah demi Kerajaan Allah, misalnya para pastor/imam, bruder atau suster, biarawan atau biarawati, untuk dapat menjadi saksi kasih pengampunan kepada saudara-saudarinya. Marilah kita ampuni dengan segenap hati mereka yang telah menyalahi atau menyakiti kita, sebagaimana sering kita berdoa “Ampunilah kesalahan kami, seperti kami mengampuni yang bersalah kepada kami”, bagian dari doa Bapa Kami, dimana kita semua hafal dan kita doakan setiap hari. Moga-moga doa Bapa Kami tidak hanya manis di mulut saja, tetapi juga menjadi manis dalam cara hidup atau cara bertindak setiap hari

· "Datanglah dekat dan dengarkanlah firman TUHAN, Allahmu." (Yos 3:9), demikian kata Yosua kepada bangsanya yang sedang dalam perjalanan menuju tanah terjanji. Kutipan ini hendaknya menjadi permenungan atau refleksi kita semua yang sedang di dalam perjalanan untuk menghayati hidup dan panggilan atau melaksanakan tugas pengutusan. Hendaknya di dalam perjalanan kita senantiasa dekat satu sama lain maupun Tuhan sendiri yang menyertai perjalanan kita. Dalam kebersamaan marilah kita dengarkan bersama firman Tuhan; dengan kata lain hendaknya sering diselenggarakan ibadat bersama yang disertai dengan pembacaan dan permenungan firman Tuhan, sebagaimana tertulis di dalam Kitab Suci. Para imam, bruder atau suster, yang karena panggilan tidak menikah, pada umumnya juga hidup dan bekerja bersama; maka kami berharap juga dapat menjadi teladan bagi umat Allah dalam hal kebersamaan, dalam hal kesatuan hati dan budi. Hidup dan bekerja bersama akan ringan dan menggembirakan, sehingga semuanya tetap ceria dan bergairah; sedangkan hidup dan bekerja sendirian pasti akan segera merasa lelah dan ditinggalkan, padahal yang bersangkutan sendiri yang meninggalkan kebersamaan. “Bersama atau bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”, demikian kata sebuah pepatah yang hendaknya juga menjadi pedoman atau acuan kita dalam hidup dan bekerja dimanapun dan kapanpun. Ingatlah dan hayatilah bahwa masing-masing dari kita adalah buah cintakasih bersama, cintakasih bapak-ibu atau orangtua kita masing-masing, maka hanya dalam cintakasih dan kebersamaan kita akan dapat tumbuh berkembang dengan baik, hidup berbahagia, selamat dan sejahtera baik selama hidup di dunia ini maupun kelak setelah dipanggil Tuhan.

“Laut melihatnya, lalu melarikan diri, sungai Yordan berbalik ke hulu. Gunung-gunung melompat-lompat seperti domba jantan, dan bukit-bukit seperti anak domba. Ada apa, hai laut, sehingga engkau melarikan diri, hai sungai Yordan, sehingga engkau berbalik ke hulu, hai gunung-gunung, sehingga kamu melompat-lompat seperti domba jantan, hai bukit-bukit, sehingga kamu seperti anak domba” (Mzm 114:3-6)