HOMILI: Hari Raya Kemerdekaan Republik Indonesia (Sir. 10:1-8; Mzm. 101:1a,2ac,3a,6-7; 1Ptr. 2:13-17; Mat. 22:15-21)


“Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja. Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 1945 Atas nama bangsa Indonesia. Soekarno/Hatta” , demikian bunyi teks proklamasi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia 66 (enam pulu enam) tahun yang lalu. Para pejuang kemerdekaan maupun proklamator Kemerdekaan NKRI hemat saya sungguh cerdas beriman, namun setelah 66 (enam puluh enam) tahun merdeka, rasanya para penerus kemerdekaan masa kini kurang cerdas beriman, hal itu nampak dengan masih maraknya tindak korupsi. Kita telah merdeka secara phisik, yang berarti bebas dari penjajahan bangsa asing, namun berlum merdeka secara spiritual atau moral. Maka dalam rangka mengenangkan kemerdekaan NKRI ini marilah kita mawas diri: sejauh mana kita setia pada nilai-nilai 45 maupun dasar negara kita Pancasila, dengan cermin bacaan-bacaan hari ini.

"Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah." (Mat 22:21)

Kaisar atau jabatan seperti presiden, perdana menteri, raja dll adalah pemimpin hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, yang dibantu oleh sekian banyak pembantu seperti menteri, gubernur, bupati dst.. Agar hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berlangsung dengan baik, maka diberlakukan aneka undang-undang, peraturan atau instruksi,
yang diharapkan ditaati dan dilaksanakan oleh warganya, sesuai dengan bidang pelayanan atau pekerjaan masing-masing. Kami berharap kepada para pejabat, entah yang berada di jajaran legislatif, eksekutif maupun yudikatif dapat menjadi teladan dalam pelaksanakan aneka tata terttib bagi warganya. Ingatlah dan sadari bahwa sikap mental paternalistis warga kita cukup kuat, sehingga keteladanan para pejabat dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sungguh didambakan. Kami berharap para pejabat tidak melakukan korupsi sedikitpun dalam menjalankan fungsi atau jabatannya, hendaknya juga menjadi teladan dalam hal membayar pajak, jujur dan disiplin sebagai pejabat.

Sebagai warganegara, masing-masing dari kita, marilah kita hayati motto ini “Jangan bertanya apa yang diberikan negara kepadaku, tetapi bertanyalah apa yang harus kulakukan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara” . Kami berharap di tingkat RT atau RW kita semua sebagai warga masyarakat menyadari dan menghayati diri sebagai warganegara 100% (seratus persen), karena jika seluruh warga RT atau RW sungguh warganegara 100%, dengan demikian hidup berbangsa dan bernegara yang lebih luas akan baik adanya, sesuai dengan cita-cita pendiri bangsa ini maupun dasar negara Pancasila. Pancasila pada akhir-akhir ini kurang memperoleh perhatian, padahal isi Pancasila sungguh luar biasa dan jika semua warganegara Pancasialis maka damai sejahteralah bangsa Indonesia. Maka kami berharap Pancasila dipelajari, didalami, difahami dan dihayati baik di dalam masyarakat maupun sekolah atau perguruan tinggi. Kita semua mungkin mengaku beriman, yang berarti percaya kepada Allah sepenuhnya serta mengandalkan atau mempersembahkan diri sepenuhnya kepada-Nya dalam dan melalui hidup sehari-hari dimanapun dan kapanpun. “Berikanlah kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah”, demikian sabda Yesus. Sabda ini kiranya lebih terarah bagi para agamawan (pastor/imam, kyai, pendeta, biksu dst..) maupun penganut-penganutnya Sabda atau firman Allah secara terinci ada di dalam Kitab Suci serta aneka arahan, petuah atau ajaran para ahli maupun pemimpin agama masing-masing. Semua agama kiranya mengajarkan cintakasih dan hidup persaudaraan sejati, maka baiklah sebagai orang beragama marilah kita hidup saling mengasihi satu sama lain tanpa pandang SARA, usia, jabatan, kedudukan ataupun fungsi.

“Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih” (1Yoh 4:7-8). Kutipan ini hemat saya berlaku bagi siapapun yang mengaku beragama, percaya kepada Allah. Marilah kita sadari dan hayati bahwa masing-masing dari kita ada dan dibesarkan dalam dan oleh kasih, serta dapat tumbuh berkembang sebagaimana adanya ini hanya karena dan oleh kasih, dan masing-masing dari kita adalah ‘yang terkasih’ alias buah kasih. Jika kita menyadari dan menghayati hal ini berarti bertemu dengan siapapun berarti ‘yang terkasih bertemu dengan yang terkasih’ sehingga secara otomatis saling mengasihi.

“Sebab inilah kehendak Allah, yaitu supaya dengan berbuat baik kamu membungkamkan kepicikan orang-orang yang bodoh. Hiduplah sebagai orang merdeka dan bukan seperti mereka yang menyalahgunakan kemerdekaan itu untuk menyelubungi kejahatan-kejahatan mereka, tetapi hiduplah sebagai hamba Allah. Hormatilah semua orang, kasihilah saudara-saudaramu, takutlah akan Allah, hormatilah raja!” (1Ptr 2:15-17)

“Hiduplah sebagai orang merdeka dan bukan seperti mereka yang menyalahgunakan kemerdekaan itu untu menyelubungi kejahatan-kejahatan mereka”, inilah kiranya yang baik kita renungkan dan hayati bersama-sama sebagai warganegara. Tanda orang merdeka antara lain adalah ‘menghormati semua orang sebagai gambar atau citra Alllah’ alias menjujung tinggi dan menghargai harkat martabat manusia, ciptaan terluhur dan termulia di bumi ini. Menghayati sabda ini kiranya senada dengan melaksanakan sila kedua dan sila kelima dari Pancasila, yaitu “ Kemanusiaan yang adil dan beradab dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, maka marilah kita hayati bersama kedua sila di atas dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Adil dan beradab bagaikan mata uang bermuka dua, dapat dibedakan namun tak dapat dipisahkan: orang adil pasti beradab, sebaliknya beradab pasti adil. Keadilan yang paling mendasar hemat saya adalah hormat terhadap harkat martabat manusia, sedangkan orang beradab pasti akan menjunjung tinggi dan menghargai harkat martabat manusia. Maka kami berharap aneka perbedaan antar kita, entah beda agama atau beda suku, tidak saling melecehkan atau merendahkan melainkan saling menghormati dan menghargai. Hendaknya tidak memperbesar perbedaan yang ada tetapi mendalam dalam menghayati apa yang sama. Yang sama antar kita adalah manusia, maka jika kita sungguh manusiawi pasti apa yang berbeda antar kita akan semakin memanusiakan kita.

“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” berarti tidak ada seorangpun dari warganegara Indonesia yang tidak damai dan sejahtera hidupnya, tidak ada kemiskinan lagi di kalangan warganegara kita. Namun kiranya kita semua tahu bahwa kemiskinan masih terjadi di kalangan wagarnegara kita. Maka kami mengajak dan mengingatkan para pemimpin hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara untuk senantiasa berpihak pada seluruh warganegara atau rakyat; tanda keberhasilan atau kesuksean kepemimpinan anda antara lain atau yang terutama adalah seluruh wargangara atau rakyat hidup damai dan sejahtera. Selama masih ada kemiskinan di wilayah atau daerah kerja anda berarti anda belum berusaha melaksanakan sila kelima dengan baik. Hendaknya mayoritas anggaran belanja maupun tenaga terarah kepada kesejahteraan hidup rakyat atau warganegara.

Marilah kita hayati panji-panji bendera kita ‘merah putih’, di atas merah dan dibawah putih berarti berhati suci dalam hidup sehari-hari .

“Aku hendak menyanyikan kasih setia dan hukum, aku hendak bermazmur bagi-Mu, ya TUHAN. Aku hendak memperhatikan hidup yang tidak bercela: Bilakah Engkau datang kepadaku? Aku hendak hidup dalam ketulusan hatiku di dalam rumahku. Tiada kutaruh di depan mataku perkara dursila; perbuatan murtad aku benci, itu takkan melekat padaku.” (Mzm 101:1-3)


Rabu, 17 Agustus 2011


Romo Ign Sumarya, SJ