HOMILI: Hari Minggu Biasa XXII (Yer 20:7-9; Mzm 63:2-6.8-9; Rm 12:1-12; Mat 16:21-27)


“Engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia."

Menjelang ditahbiskan menjadi imam, kami, para frater yang akan ditahbiskan, dipanggil satu persatu oleh Provinsial, pembesar kami, untuk diberi tahu perihal tugas yang harus kami emban setelah ditahbiskan. Waktu itu saya menerima tugas untuk menjadi Direktur Perkumpulan Strada dan pater Unit di Jakarta. Mendengar penugasan tersebut saya dengan rendah hati bertanya kepada Provinsial sbb.”Tugas-tugasnya apa saja Romo”. “Tugasnya…, ya nanti lihat saja”, demikian jawaban Provinsial. Mendengar jawaban tersebut saya tak berani bertanya lagi, karena sedikit banyak saya tahu apa arti atau makna ‘melihat’. Perihal ‘melihat’ telah kami renungkan dan dalami ketika sedang berkontemplasi, dimana kami diajak untuk melihat karya penciptaan Allah dengan mata hati, jiwa dan akal budi, tidak hanya mata fisik saja. Ketika saya dapat sungguh melihat maka memang di hadapan saya terbentang di satu sisi keindahan yang luar biasa dan di sisi lain adalah perkara atau masalah yang besar juga. Ada rasa kagum sekaligus takut. Kiranya pengalaman macam itulah yang terjadi dalam diri para rasul, ketika Yesus mengajak mereka untuk pergi ke Yerusalem, kota suci, kota idaman, untuk “ menanggung banyak penderitaan dari pihak tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga” (Mat 16:21), sehingga Petrus menegur-Nya: "Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali-kali takkan menimpa Engkau." (Mat 16:22). Menanggapi teguran tersebut Yesus bersabda : "Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.” (Mat 16:23). Sabda Yesus kepada Petrus ini kiranya juga terarah kepada kita semua yang beriman kepadaNya, maka marilah kita renungkan atau refleksikan.

"Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.” (Mat 16:23)

Sikap mental materialistis pada masa kini menjiwai banyak orang, sehingga mereka lebih memikirkan apa yang dipikirkan manusia daripada yang dipikirkan Allah. Yang dipikirkan manusia pada umumnya hanya cari enak atau kenikmatan duniawi atau manusiawi, seperti kenikmatan seksual, makan, minum dan tidur, tidak sampai pada kenikmatan ilahi atau spiritual. Dalam psikologi agama mereka boleh dikatakan hidup dan bertindak pada taraf psikofisik atau psikososial dan belum sampai pada psiko-spiritual. Sebagai orang beriman kita semua dipanggil untuk hidup dan bertindak sampai dengan taraf spiritual-rational. “Dalam taraf ini (=spiritual-rational) nampak ciri khas manusia yang mampu berpikir, menggunakan penalaran untuk mempertimbangkan, menilai dan melangkah lebih dari apa yang dapat dirasa oleh pancaindera, misalnya berkhayal, membuat abstraksi, merumus konsep-konsep abstrak tentang hal-hal konkret…., maka taraf spiritual-rational ini memungkinkan kita sampai pada pemahaman arti baru dan lebih mendalam, bahkan corak adikodrati” (Sr.Joyce Ridick SSC.Ph D: KAUL, Harta Melimpah dalam bejana tanah liat, Penerbit Kanisius 1987, hal 36-37). Dalam Warta Gembira hari ini kita diajak untuk memahami arti baru dan lebih mendalam tentang ‘penderitaan’. Orang sering menilai penderitaan sebagai hukuman dari Allah karena dosa-dosa atau kejahatannya. Memang penderitaan memiliki dua arti: penderitaan yang muncul karena dosa atau kelalaian/kesambalewaan kita boleh dikatakan sebagai hukuman Allah, namun penderitaan yang muncul atau lahir dari ketaatan dan kesetiaan pada panggilan dan tugas pengutusan adalah jalan keselamatan atau kebahagiaan sejati.

“Pergi ke Yerusalem” bagi Yesus berarti untuk memenuhi panggilan dan tugas pengutusan sebagai Penyelamat Dunia dengan menderita sengsara dan wafat di kayu salib, sedangkan bagi kita semua dapat berarti pemenuhan harapan, dambaan, cita-cita atau panggilan dan tugas pengutusan kita masing-masing, dan untuk itu memang tak akan terlepas dari aneka macam bentuk penderitaan. Marilah kita hadapi dan sikapi aneka bentuk penderitaan yang lahir dari kesetiaan dan ketaatan kita pada panggilan dan tugas pengutusan sebagai jalan keselamatan dan kebahagiaan kita sendiri maupun saudara-saudari kita, maka hendaknya jangan dihindari atau disingkiri, melainkan hadapi bersama dengan bantuan rahmat Allah, yang menjadi nyata dalam aneka bantuan dan kebaikan saudara-saudari kita. Selanjutnya marilah kita renungkan peringatan Paulus kepada umat di Roma, di bawah ini.

“Saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati. Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Rm 12:1-2)

“Persembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah”, inilah yang hendaknya kita renungkan atau refleksikan serta kemudian kita hayati. Pertama-tama marilah kita jaga dan rawat seluruh anggota tubuh kita dalam keadaan kudus alias tak tercela. Untuk itu fungsikan pancaindera guna melakukan apa yang baik dan bermoral atau berbudi pekerti luhur, bukan untuk berbuat jahat; demikian juga fungsikan semua anggota tubuh untuk melakukan apa yang baik, bermoral dan berbudi pekerti luhur. Hendaknya dengan anggota tubuh anda jangan menyakiti atau melecehkan orang lain, apalagi menjual diri dengan melacurkan diri demi kenikmatan seksual atau uang. Tubuh kita adalah bait Roh Kudus, maka semua gerak tubuh hendaknya sesuai dengan dorongan atau bisikan Roh Kudus, antara lain untuk memuji, menghormati, memuliakan dan mengabdi Allah melalui ciptaan-ciptaan-Nya, terutama manusia, sebagai ciptaan terluhur dan termulia di dunia ini, yang diciptakan sesuai dengan gambar atau citra Allah.

“Manusia diciptakan untuk memuji, menghormati serta mengabdi Tuhan kita dan dengan itu menyelamatkan jiwanya. Ciptaan lain di atas permukaan bumi diciptakan bagi manusia untuk menolongnya dalam mengejar tujuan ia diciptakan” (St.Ignatius Loyola, LR no 23). Ciptaan-ciptaan lain di bumi ini selain tergantung pada Tuhan juga tergantung pada manusia. Oleh Tuhan semuanya diciptakan baik adanya, maka jika terjadi kerusakan berarti hal itu karena perilaku manusia. Menjaga dan merawat anggota tubuh tetap kudus dan baik berarti memfungikannya untuk menjaga dan merawat ciptaan-ciptaan lain tetap baik adanya, sebagai mana telah diciptakan oleh Tuhan. Namun kita semuanya tahu bahwa karena keserakahan sementara orang maka ciptaan-ciptaan Tuhan di bumi ini, termasuk manusia, telah rusak, yang kemudian berdampak pada pencemaran tubuh manusia sendiri. “Kemiskinan yang semakin meluas, rusaknya lingkungan hidup serta memudarnya persaudaraan sejati karena radikalisme” itulah kiranya yang menjadi keprihatinan kita masa kini, sebagaimana telah didalami oleh rekan-rekan Yesuit di Indonesia selama pembelajaran bersama sepajang tahun 2010 yang lalu. Salah satu dampak kemiskinan antara lain orang menjual diri menjadi pelacur alias mencemarkan tubuhnya, kerusakan lingkungan hidup juga mencemarkan tubuh manusia, yaitu dengan munculnya aneka penyakit, demikian juga memudarnya persaudaraan sejati menimbulkan tawuran atau perkelahaian, yang pada gilirannya sungguh merusak anggota tubuh manusia. Maka marilah kita perangi atau berantas kemiskinan, kita jaga dan rawat lingkungan hidup sehingga nikmat dan enak ditempati, serta kita bangun dan perdalam persaudaraan sejati.


“Ya Allah, Engkaulah Allahku, aku mencari Engkau, jiwaku haus kepada-Mu, tubuhku rindu kepada-Mu, seperti tanah yang kering dan tandus, tiada berair. Demikianlah aku memandang kepada-Mu di tempat kudus, sambil melihat kekuatan-Mu dan kemuliaan-Mu. Sebab kasih setia-Mu lebih baik dari pada hidup; bibirku akan memegahkan Engkau. Demikianlah aku mau memuji Engkau seumur hidupku dan menaikkan tanganku demi nama-Mu. Seperti dengan lemak dan sumsum jiwaku dikenyangkan, dan dengan bibir yang bersorak-sorai mulutku memuji-muji” (Mzm 63:2-6)


Minggu, 28 Agustus 2011


Romo Ignatius Sumarya, SJ