Homili Bukan Talk Show

Dalam liturgi Katolik, khususnya dalam Perayaan Ekaristi, ada bagian homili setelah bacaan Injil. Dalam dokumen-dokumen resmi Gereja, dipakai kata homili dan bukan khotbah. Homili diambil dari bahasa Yunani, homilia, yang berarti percakapan atau homileo, yang berarti bercakap-cakap. Tujuannya adalah menanggapi bacaan liturgi, khususnya bacaan Injil, sebagai pengantar pada perayaan.

Dalam homili, imam menyampaikan sapaan kepada umat untuk menyantap Sabda Allah. Homili mempertemukan umat dengan Allah dan sekaligus membangun iman jemaat. Oleh karena itu, sifat homili adalah biblis, liturgis, kerygmatis, dan dari hati ke hati. Homili memang sangat berbeda dengan khotbah dari agama-agama lain yang cenderung hanya memberikan nasihat-nasihat moralistis. Homili menjadi penting pula, karena hanya pada kesempatan itulah umat meningkatkan imannya di tengah kesibukan sehari-hari.

Ditegaskan oleh Konsili Vatikan II: ”Homili sebagai bagian liturgi sendiri sangat dianjurkan. Di situ hendaknya sepanjang tahun liturgi diuraikan misteri-misteri iman dan kaidah-kaidah hidup kristiani berdasarkan teks Kitab Suci. Oleh karena itu, dalam Misa hari Minggu dan hari Raya Wajib yang dihadiri umat, homili jangan ditiadakan, kecuali bila ada alasan yang berat” (SC, 52). Bahwa homili adalah bagian integral dari perayaan liturgi, ditegaskan lagi, antara lain oleh Hukum Kanonik 767, PUMR No 65 dan Sacramentum Caritatis No 46: ”Homili adalah bagian dari kegiatan liturgis”.

Jelaslah, untuk berhasil membawakan homili, pertama sekali imam harus sungguh menghayati Perayaan Ekaristi sambil didukung sebelumnya oleh renungan Kitab Suci secara pribadi, studi, dan doa. Namun tetap diingat, Kitab Suci yang ditafsir secara ilmiah maupun renungan pribadi, sangat berbeda ketika Kitab Suci itu disampaikan dalam homili sebagai kegiatan liturgis. Karena homili meneruskan Sabda Allah yang dibacakan dan didengarkan dalam liturgi, dan sekaligus menafsirkannya demi pertumbuhan iman umat yang berdoa dalam Perayaan Ekaristi. Sabda Allah dalam homili disantap oleh umat, menjadi bagian hidupnya, dan meresap ke dalam jiwa raganya. Oleh karena itu, homili hendaknya didukung oleh sikap doa. ”Jika tanpa pengalaman rohani pribadi akan Allah, terlebih dalam doa, setiap homili hanya akan menjadi suatu kata-kata kering, tanpa daya pewartaan dan hanyalah suatu teori kosong belaka” (Krispuwarna Cahyadi SJ, Benediktus XVI, Yogyakarta: Kanisius, 2010, hal. 165).

Dalam menyampaikan homili, cukup saja imam berdiri di mimbar. Homili disampaikan dengan bahasa kata, dengan sintaksis kalimat tunggal. Sintaksis kalimat majemuk bisa membingungkan dan mengaburkan maknanya. Bahasa kata bisa sedikit dibantu dengan bahasa badan (mimik dan pantomimik). Tidak perlu terlalu banyak gerak, apalagi mondar-mandir ke sana-kemari, sampai turun dari panti imam. Tidak perlu menggunakan LCD, karena homili bukan ceramah. Tidak perlu meniru cara ”talk show”, karena liturgi bukan untuk show. Tak perlu diganti dengan drama, karena bukan pentas seni. Homili dalam liturgi Katolik tidak sama dengan khotbah dalam kebaktian ekumenis dan sangat berbeda dengan khotbah Perayaan Idul Fitri. Hanya uskup, imam, dan diakon boleh menyampaikan homili. Berdirinya imam di mimbar sudah merupakan simbol tersendiri.

Umat pun mendengarkan homili dengan sikap doa. Mereka merayakan Kristus yang hadir dan bersabda kepada mereka. Liturgi adalah tempat yang tepat untuk mendengarkan Sabda Tuhan. Dan, jika liturgi sungguh dihayati, maka sulit sekali umat memberikan evaluasiterhadap homili. Evaluasi terhadap homili setelah Misa, cenderung rasionalisasi. Maka, kita pun tidak menerima begitu saja setiap kritik negatif dari umat terhadap homili. Mungkin saja umat keliru membandingkan homili dengan khotbah dalam agama-agama lain. Mungkin saja umat tidak menempatkan homili sebagai bagian integral dalam Perayaan Ekaristi.

Keberhasilan homili adalah berkat kuasa Allah; bukan karena sesuai selera umat; bukan pula karena kehebatan public speaking seorang imam. Rasul Paulus mengingatkan: ”Baik perkataanku maupun pemberitaanku tidak kusampaikan dengan kata-kata hikmat yang meyakinkan, tetapi dengan bukti bahwa Roh berkuasa, supaya iman kamu jangan bergantung pada hikmat manusia, tetapi pada kekuatan Allah” (I Kor. 2:4-5).

Kalau imam menyampaikan homili dengan sikap doa dan umat pun mendengarkan homili sebagai doa, maka hasilnya adalah pujian dan syukur kepada Allah. Karena keberhasilan homili tidak terletak pada kehebatan seorang imam, tetapi pada kekuatan Allah.

Oleh Romo. Jacobus Tarigan, Pr -- imam Praja Keuskupan Agung Jakarta
http://www.hidupkatolik.com/2011/06/13/jacobus-tarigan-prhomili-bukan-talk-show