“Dimana hartamu berada di situ juga hatimu berada” (2Kor 11:18.21b-30; Mzm 34:2-7; Mat 6:19-23)

"Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya. Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada. Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu; jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu. Jadi jika terang yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu.” (Mat 6:19-23), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

· “Moto duiten” (=Mata bercirikhas/berwana uang), demikian peribahasa bahasa Jawa untuk menggambarkan orang yang bersikap mental materialistis atau duniawi. Orang ‘moto duiten’ pada umumnya dinilai jelek di muka umum atau di masyarakat. Orang ‘moto duiten’ akan bergerak atau bertindak untuk melakukan sesuatu jika menguntungkan secara financial atau material alias dibayar dengan uang dan tanpa uang ia akan diam seribu bahasa. Sabda Yesus hari ini mengingatkan dan mengajak kita semua untuk mengumpulkan harta sorgawi alias nilai-nilai atau keutamaan-keutamaan kehidupan yang menyelamatkan jiwa, bukan harta duniawi atau uang. Maka dengan ini kami berharap kepada para orangtua maupun pendidik atau guru untuk sungguh membekali anak-anak atau peserta didik nilai-nilai atau keutamaan-keutamaan kehidupan; wariskan kepada anak-anak nilai-nilai atau keutamaan-keutamaan kehidupan, bukan harta benda atau uang. Nilai-nilai atau keutamaan kehidupan tak akan mudah hilang atau hancur seperti harta benda atau uang yang dapat hancur atau hilang dalam waktu sesaat. Dengan kata lain anak-anak kelak ketika telah menjadi dewasa harus lebih baik, lebih berbudi pekerti luhur atau lebih bermoral daripada orangtuanya; para peserta didik kelak kemudian hari harus lebih cerdas dan terampil dari para gurunya. Jika generasi mendatang/muda tidak bermoral dan tidak berbudi pekerti luhur berarti generasi terdahulu/tua tidak bermoral dan tidak berbudi luhur, dengan kata lain generasi terdahulu/tua gagal dalam mendidik atau membina generasi muda. Jika orangtua berhasil mendidik atau membina anak-anak, maka anak-anak di kemudian hari akan ‘mikul dhuwur, mendhem jero’ (=mengangkat tinggi-tinggi, mengubur dalam-dalam) orangtua, artinya sampai kapanpun dan dimanapun orangtua akan dikenang dan dihormati oleh anak-anak, cucu-cucu, cicit-cicit dst.. , seperti para santo dan santa.

· “Aku banyak berjerih lelah dan bekerja berat, kerap kali aku tidak tidur, lapar dan dahaga, kerap kali aku berpuasa, kedinginan dan tanpa pakaian, dan dengan tidak menyebut banyak hal lain lagi, urusanku sehari-hari, yaitu untuk memelihara semua jemaat-jemaat” (2Kor 11:27-28), demikian kesaksian iman Paulus kepada umat di Korintus, kepada kita semua orang beriman. Apa yang telah dilakukan atau dihayati oleh Paulus kiranya dapat menjadi teladan bagi para orangtua, pendidik/guru, pendampin, pemimpin, atasan, pejabat dst.., lebih-lebih dalam hal ‘memelihara atau mengurus’ anak-anak, peserta didik, bawahan, anggota, warga dst.. Kata bahasa Latin ‘administrare’ dapat berarti memelihara, mengurus, mengelola, memperhatikan sedemikian rupa, dst.. Semangat atau jiwa melayani hendaknya menjadi cara hidup dan cara bertindak para pemelihara, pengurus atau pengelola. Baiklah kalau saya pertama-tama dan terutama mengingatkan dan mengajak para orangtua untuk mawas diri dalam hal ‘memelihara atau mengurus anak-anak’: sebagaimana anak-anak diadakan bersama antar suami-isteri sebagai partisipasi karya penciptaan Allah dengan penyerahan diri total sebagai wujud dari saling mengasihi dalam kebebanan sejati serta dalam kerjasama atau gotong-royong, demikian pula hendaknya dalam mendidik dan mendampingi anak-anak. Anak-anak hendaknya dididik dan didampinig dalam kebebasan dan cintakasih serta kerjasama dan secara total alias kerja keras. Demikian pula kami berharap kepada para guru/pendidik dalam mendidik atau mendampingi para peserta didik, para pemimpin terhadap para anggota, para atasan/ketau terhadap para bawahannya. Semangat melayani yang tidak lain bekerja keras untuk membahagiakan dan menyelamatkan hendaknya menjadi cara hidup dan cara bertindak dalam mendidik, membina, mengurus atau mengelola; demikian pula hendaknya dengan berjiwa besar dan hati rela berkorban bagi yang dididik, dibina, diurus atau dikelola.

“Aku hendak memuji TUHAN pada segala waktu; puji-pujian kepada-Nya tetap di dalam mulutku. Karena TUHAN jiwaku bermegah; biarlah orang-orang yang rendah hati mendengarnya dan bersukacita. Muliakanlah TUHAN bersama-sama dengan aku, marilah kita bersama-sama memasyhurkan nama-Nya! Aku telah mencari TUHAN, lalu Ia menjawab aku, dan melepaskan aku dari segala kegentaranku. Tujukanlah pandanganmu kepada-Nya, maka mukamu akan berseri-seri, dan tidak akan malu tersipu-sipu.”(Mzm 34:2-6)


17 Juni 2011

Romo Ignatius Sumarya, SJ