“Dalam doamu itu janganlah kamu bertele-tele” (2Kor 11:1-11; Mzm 111:1-2.3-4.7-8; Mat 6:7-15)


“ Lagipula dalam doamu itu janganlah kamu bertele-tele seperti kebiasaan orang yang tidak mengenal Allah. Mereka menyangka bahwa karena banyaknya kata-kata doanya akan dikabulkan. Jadi janganlah kamu seperti mereka, karena Bapamu mengetahui apa yang kamu perlukan, sebelum kamu minta kepada-Nya. . Karena itu berdoalah demikian: Bapa kami yang di sorga, Dikuduskanlah nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga. Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami; dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat. (Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin.) Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu." (Mat 6:7-15), demikian kutipan Warta Gembira hari ini

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

· Berdoa berarti berrelasi atau berkomunikasi dengan Tuhan, doa yang baik dan sejaati hemat saya adalah hati yang dipersembahkan seutuhnya kepada Tuhan, bukan panjangnya kata-kata atau gerak-gerik tubuh. Dalam Warta Gembira hari ini Yesus mengajarkan doa Bapa Kami, doa yang begitu sederhana dan sesuai dengan kebutuhan hidup kita sehari-hari serta kita semua kiranya sudah hafal maupun mendoakannya berkali-kali. Pertanyaannya reflektif: apakah dalam mendoakan Bapa Kami kita hanya manis di mulut saja atau isi doa sungguh kita hayati, menjiwai cara hidup dan cara bertindak kita setiap hari dimanapun dan kapanpun. Isi doa Bapa Kami yang kiranya baik kita refleksikan pada masa kini adalah “Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya; dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami”. Dengan kata lain marilah kita mawas diri perihal ‘hidup sederhana’ dan ‘kasih pengampunan’. Di kota-kota besar orang-orang kaya pada umumnya hidup berfoya-foya, jauh dari kesederhanaan, maka kami berharap mereka yang suka berfoya-foya untuk bertobat, hidup sederhana seraya mengingat dan memperhatikan saudara-saudari kita yang miskin dan berkekurangan. Jika kita semua hidup sederhana kiranya tidak ada lagi saudara-saudari kita yang miskin dan berkekurangan. Kasih pengampunan telah kami angkat berkali-kali untuk direfleksikan, maka apakah kita dalam hidup sehari-hari telah hidup saling mengampuni. Dengan rendah hati saya mengingatkan dan mengajak anda sekalian untuk tidak henti-hentinya berdoa kepada Tuhan agar kita semua hidup sederhana dan saling mengampuni, dan tentu saja saya juga berharap tidak henti-hentinya kita berusaha dan memperdalam hidup sederhana dan saling mengampuni.

· “Ketika aku dalam kekurangan di tengah-tengah kamu, aku tidak menyusahkan seorangpun, sebab apa yang kurang padaku dicukupkan oleh orang-orang yang datang dari Makedonia. Dalam segala hal aku menjaga diriku, supaya jangan menjadi beban bagi kamu, dan aku akan tetap berbuat demikian” (2Kor 11:9), demikian kesaksian iman Paulus kepada umat di Korintus. Marilah kita meneladan Paulus, yaitu jangan sampai kehadiran dan sepak terjang kita dimanapun dan kapanpun menjadi beban bagi saudara-saudari kita, sebaliknya semoga kehadiran dan sepak terjang kita senantiasa menjadi ‘fasilitator’ bagi orang lain untuk semakin beriman, semakin suci, semakin dikasihi oleh Tuhan dan sesamanya, semakin tumbuh berkembang sebagai pribadi cerdas beriman. Jika berada di dalam kekurangan marilah dengan rendah hati kita mempercayakan diri sepenuhnya kepada Penyelenggaraan Ilahi, percaya dan imanilah pasti ada orang baik hati yang datang untuk membantu kekurangan kita. Di dunia ini mereka yang baik lebih banyak daripada mereka yang jahat, dan kami berharap kita sebagai orang beriman senantiasa baik adanya, sehingga kehadiran dan sepak terjang kita jangan menjadi beban bagi orang lain serta menjadi batu sandungan untuk berbuat jahat atau berdosa. Kami berharap kehadiran dan sepak terjang para pimpinan atas atasan dimanapun dan kapanpun tidak menjadi beban, sebagaimana sering terjadi pada masa kini. Ketika pemimpin atau atasan berkunjung maka yang dikunjungi terbebani dan bersandiwara dalam kehidupan, itulah yang sering terjadi. Untuk menghindari hal itu hendaknya pemimpin atau atasan dalam berkunjung kepada bawahan atau anggotanya dengan ‘sidak’ saja serta dalam kesederhanaan. Sidak berarti mendadak, sehingga juga dapat melihat realitas yang ada.


“Aku mau bersyukur kepada Tuhan dengan segenap hati, dalam lingkungan orang-orang benar dan dalam jemaat. Besar perbuatan-perbuatan Tuhan, layak diselidiki oleh semua orang yang menyukainya” (Mzm 111:1-2)



16 Juni 2011

Romo Ign Sumarya, SJ