Renungan Bulan Katekese Liturgi KAS Hari ke 5-10

* Renungan Bulan Katekese Liturgi Hari ke-5: Merenungkan Nikmatnya Ber-Ekaristi

Pada saat evaluasi pelaksanaan perayaan Ekaristi, seorang peserta bercerita begini:" Mungkin saya termasuk orang yang rajin mengikuti Ekaristi. Kalau ditanya alasannya, saya mengalami kesulitan untuk menjawabnya. Namun bagi saya, ikut Misa Kudus entah pada hari Minggu ataupun kesempatan lain merupakan dorongan otomatis. Hari minggu tiba, otomatis saya pergi ke gereja untuk mengikuti Ekaristi. Kalau tidak ke gereja, rasanya ada yang hilang dalam hidup saya. Seperti bernafas, tidak perlu berpikir banyak hal, orang langsung bernafas".

Peserta lain bersharing: "Saya pernah sangat jengkel dengan suatu perayaan Ekaristi karena dilaksanakan secara asal-asalan. Biarpun demikian, saya tetap bertahan untuk hadir dan menerima apapun yang terjadi dalam Misa Kudus itu. Pokoknya, saya berusaha mengikuti Ekaristi dengan sebaik-baiknya. Saya selalu membangun kepercayaan akan kehadiran Tuhan dalam Ekaristi kendati segala sesuatunya tidak selalu sempurna. Dan senyatanya, sampai sekarang ini Ekaristi sunggu memberikan kebahagiaan. Saya bisa menerima Tubuh Kristus, berjumpa dengan teman, menghayati kebersamaan sebagai anggota Gereja. Dulu saya mudah putus asa, tetapi setelah rajin mengikuti Ekaristi, saya lebih bisa tegar menghadapi setiap persoalan hidup. Pokoknya nikmat ikut Ekaristi. Mungkin anugerah Tuhan ya, he....he....!"

Kendati ada kekurangan di sana sini dalam pelaksanaannya, Ekaristi telah menyentuh batin banyak orang untuk semakin tekun menghayati tujuan hidupnya, memuliakan dan mengabdi Tuhan. Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa Ekaristi merupakan harta kekayaan Gereja yang tiada tara. Dari misteri Ekaristi, seluruh kekuatan untuk menghayati hidup ditimba. Marilah kita suka menceritakan Ekaristi dan mengajak siapa pun untuk merayakan Ekaristi. Gereja hidup dari Ekaristi!

* Renungan Bulan Katekese Liturgi Hari ke-6: Merenungkan Berdevosi Saat Ekaristi

"Kula niku yen dereng sembahyang rosario raosipun mboten manteb", ungkap seorang ibu dalam sebuah sarasehan di lingkungannya. Tidak mengherankan setiap kali ada kesempatan, manik-manik rosario bergerak perlahan di jemari tangannya yang sudah keriput. Pun pula dalam perayaan Ekaristi. Ibu ini demikian mendem dengan devosi. Apakah tindakan seperti ini sehat? Tentu saja tidak ada yang salah dengan devosi pribadi. Namun adalah keliru jika selama mengikuti Ekaristi kita "nyambi" alias sambil melakukan yang lain, termasuk devosi seperti doa rosario, doa novena, atau apalagi "rosario santa Nokia".

Perayaan Ekaristi tidak pernah menjadi perayaan pribadi. Perayaan Ekaristi adalah perayaan bersama seluruh Gereja. Dalam perayaan Ekaristi kita tidak boleh asyik dengan diri sendiri, melainkan kita diajak untuk berpartisipasi secara penuh, sadar dan aktif. Partisipasi ini tidak diisi dengan devosi pribadi. Secara sadar umat diajak untuk menghayati misteri yang sedang dirayakan. Caranya? Ada banyak tata gerak yang bisa diikuti. Ada banyak kegiatan yang bisa dilakukan: ikut bernyanyi, menjawab aklamasi-aklamasi, mendengarkan sabda Tuhan dan merenungkannya, hening dan menghunjukkan hati saat imam berdoa syukur agung.

Adalah tanggung jawab para imam mengingatkan umat untuk terus menerus terlibat dan berpartisipasi aktif dalam Ekaristi. Tim Liturgi paroki pun hendaknya mempersiapkan teks Ekaristi yang semakin melibatkan partisipasi umat seperti memilih nyanyian dan aklamasi yang dikenal umat, atau melatihnya apabila masih baru, ataupun mengolah bagian-bagian tertentu sesuai dengan kaidah-kaidah liturgi yang ada.

* Renungan Bulan Katekese Liturgi Hari ke-7: Merenungkan Devosi yang Sehat Membantu Penghayatan Ekaristi

Tidak sedikit umat yang mau Ekaristi di gereja datang lebih awal. Ada yang satu jam, setengah jam, ataupun 15 menit sebelum Misa mulai. Dan lihatlah: mereka itu berdoa rosario dengan khusyuk, entah di tempat duduk menghadap Sakramen Mahakudus di tabernakel atau di depan patung Bunda Maria. Kadang ada yang berdoa rosario atau doa beberapa menit di gua Maria di samping atau belakang gereja. Luar biasa! Kalau tidak berdoa rosario, mereka terkadang berdoa pribadi, seperti Litani Hati Kudus Yesus, Litani Santa Perawan Maria, atau doa Koronka, atau bahkan doa jalan salib, sebelum Ekaristi dimulai!

Kebiasaan berdoa rosario atau litani atau novena entah sebelum Misa ataupun sesudah Misa, ataupun doa devosi lainnya di rumah merupakan hal yang amat sangat patut dipuji dan dibiasakan oleh siapa pun. Itulah doa-doa devosi yang apabila didoakan dengan sungguh-sungguh dan teratur justru akan membantu penghayatan perayaan liturgi. Hampir semua orang kudus dalam kisah hidup mereka memiliki hidup doa devosi yang kuat dan teratur. Contoh mutakhir ialah Paus Yohanes Paulus II yang pada tanggal 1 Mei yang lalu dibeatifikasi. Dengan sebutan beato, Paus Yohanes II tinggal selangkah lagi akan menjadi seorang Santo! Hampir semua yang mengenal beliau bersaksi bahwa Paus Yohanes Paulus II sangat dekat dengan Bunda Maria, dan doa rosario merupakan doa favorit beliau! Dan lihatlah, orang yang punya devosi kuat juga cenderung menghayati perayaan Ekaristi dengan sangat khidmat, khusyuk dan berbuah!

Demikianlah, pengalaman rohani yang dirasakan dalam devosi dibawa dalam Ekaristi sehingga Ekaristi semakin bermakna dan menghasilkan buah. Memang doa devosi yang sehat akan membantu penghayatan Ekaristi kita. Sebaliknya, apabila kita merasa kering dan bosan saat mengikuti Misa, jangan-jangan karena kita kurang persiapan batin dan kurang memiliki doa devosi yang kuat. Benarkah?


* Renungan Bulan Katekese Liturgi Hari ke-8: Merenungkan Kewajiban Merayakan Ekaristi Hari Minggu

"Wah hari Minggu ini, aku belum ke gereja. Di gereja mana ya yang masih ada Misa Minggu sore?" cetus Riri pada temannya Mikaela. Riri dan Mikaela sama-sama mahasiswi di sebuah perguruan tinggi. Mereka kaum muda yang baik. Mereka selalu ingat untuk mesti pergi ke gereja pada hari Minggu. Tak ayal lagi, itu hasil didikan orang tua mereka.

Sangat betul bahwa orang Katolik memiliki kewajiban untuk mengikuti Ekaristi pada hari Minggu. Semua itu disebut dengan jelas dalam Lima Perintah Gereja, yang pada nomer dua dinyatakan: "Ikutlah Perayaan Ekaristi pada hari Minggu dan hari raya yang diwajibkan, dan janganlah melakukan pekerjaan yang dilarang pada hari itu" (Puji Syukur no.7). Dasar perintah Gereja mengenai hal itu sebenarnya sudah ditegaskan oleh para Bapa Konsili Vatikan II pada Konstitusi Liturgi artikel 106 yang antara lain menyatakan: "Pada hari itu (Minggu) umat beriman wajib berkumpul untuk mendengarkan sabda Allah dan ikut serta dalam Perayaan Ekaristi". Kebiasaan untuk berkumpul dan mengikuti Misa Kudus ini sudah menjadi tradisi sejak para Rasul sendiri. Berkumpul, berdoa bersama, mendengarkan sabda Allah, mengikuti Ekaristi sudah menjadi habitus kristiani yang bertahan sejak kuno hingga kini.

Sayangnya tidak sedikit umat yang mengikuti Misa Minggu hanya sejauh sempat atau ada waktu. Yang sering mereka pikirkan pertama-tama untuk acara Sabtu dan Minggu besok ialah mau refreshing ke mana, bukan "ayo mempersiapkan Misa Minggu besok". Padahal liburnya hari Minggu menurut sejarahnya justru agar orang dapat mengkhususkan hari itu untuk Tuhan. Sebab hari Minggu itu hari Tuhan, saat Tuhan bangkit dan hari Minggu memang menjadi hari berkumpulnya umat beriman!

* Renungan Bulan Katekese Liturgi Hari ke-9: Merenungkan Arti Devosi dan Tempatnya dalam Liturgi

Ada orang yang begitu cinta pada warna ungu. Lalu apa-apanya diberi warna ungu. Semua pakaiannya berwarna ungu, sampul buku, taplak meja, warna cat rumah dan kamar, semuanya ungu. Sementara orang lain begitu suka nonton sinetron selama berjam-jam. Ia hafal semua tayangan sinetron di televisi. Nah, orang yang cinta warna ungu ataupun suka sinetron itu dalam arti tertentu boleh disebut "berdevosi" pada warna ungu atau sinetron.

Lha kok bisa begitu? Iya memang bisa. Kata devosi berasal dari kata Latin devotio, yang kata kerjanya: devovere. Kata kerja devovere berarti mencintai, menyerahkan diri, menghormati pada seseorang atau suatu hal. Berdevosi berarti memiliki cinta dan menyerahkan diri dengan seluruh perasaan dan hatinya pada seseorang atau sesuatu itu. Nah, dalam arti sangat umum dan profan, contoh di atas dapat disebut \'suatu devosi". Akan tetapi devosi dalam pengertian liturgi menunjuk olah kesalehan atau ibadat yang dilaksanakan dengan penuh cinta dan perasaan, secara teratur dan tetap (ajeg-bhs Jawa). Devosi itu tidak termasuk liturgi yang resmi, akan tetapi sangat dianjurkan oleh Gereja. Nyatanya, devosi sangat membantu penghayatan iman dalam perayaan liturgi. Orang yang devosinya kuat biasanya memiliki penghayatan liturgi yang baik dan kuat pula.

Mengapa perayaan liturgi kita sering terasa kering? Jawabnya sering justru terletak pada diri kita, yaitu kita kurang banyak berdoa dan berdevosi sebelumnya. Dengan banyak devosi, pikiran-hati-perasaan kita terbiasa dalam suasana doa. Dan ketika ber-Ekaristi misalnya, kita mudah menikmati perayaan suci itu. Padahal untuk berdevosi, kita diberi kelonggaran oleh Gereja. Bila liturgi itu ditata dengan macam-macam norma yang sering terasa ketat, devosi tidak. Boleh saja misalnya kita berdoa rosario secara terbagi-bagi (pagi: 20 kali Salam Maria, siang: 10 kali Salam Maria, malam 20 lagi Salam Maria). Boleh saja kita jalan salib hanya dalam 5 atau 7 perhentian. Yang penting: kita berdoa betul dengan sungguh-sungguh dan penuh cinta saat berdoa devosi itu! Enak kan? Maka ya marilah dicoba saja!

* Renungan Bulan Katekese Liturgi Hari ke-10: Merenungkan Hal-hal yang Positif dalam Devosi

Tidak sedikit orang yang kalau sedang memimpin doa mengucapkan kata Tuhan berkali-kali. "Tuhan Engkau mahabaik,.....Tuhan Engkau selalu mengasihi kami....Tuhan sentuhlah kami.....Tuhan jamahlah kami.....Tuhan......Tuhan....." Doa seperti ini tentu tidak salah. Hanya saja kalau kita sedang membuat doa yang tertulis dalam rangka Misa Kudus, sebutan atau kata-kata tidak boleh diulang-ulang begitu. Tetapi untuk sebuah doa devosi, doa spontan dalam rangka pertemuan bersama ya boleh-boleh saja, dan tidak apa-apa.

Penyebutan Tuhan yang berkali-kali dalam doa di atas masuk ke tataran devosi. Dan justru itulah sumbangan atau hal yang positif yang pertama dari devosi: devosi memenuhi kerinduan afektif dari iman dan doa-doa kita. Harus diakui bahwa perayaan liturgi sering terasa kering dan gitu-gitu saja. Rumusan doa-doa dalam Misa Kudus umpamanya terasa singkat, padat dan formal juga. Tetapi ketika kita berdevosi, kita bisa mengulang-ulang doa dengan nyaman. Ambil contoh lain: doa rosario. Doa rosario intinya mengucapkan doa yang diulang-ulang, entah itu Bapa Kami dan terutama Salam Maria. Dan itu baik, tetapi itulah devosi. Hal positif lain dari devosi ialah bahwa devosi itu berciri sederhana, spontan, fleksibel, sesuai dengan hati dan perasaan, dan doa-doanya disampaikan dengan hati dan penuh kasih. Unsur kecocokan dan perasaan memainkan peran penting dalam devosi.

Hidup dan berkembangnya devosi-devosi di tengah umat menjadi pertanda baik bahwa sesungguhnya umat merindukan dan mendambakan pengalaman dekat atau \'intim\' dengan Tuhan. Umat merindukan pengalaman \'mistik\'. Selain itu dengan tumbuh dan berkembangnya devosi-devosi di tengah umat, Gereja menjadi semakin hidup dan dinamis. Dan dengan itu pula Gereja menampilkan dirinya sebagai kumpulan umat yang berdoa.

Sumber: Komisi Liturgi KAS