Renungan Bulan Katekese Liturgi KAS Hari ke 1 - 4

  • Renungan Bulan Katekese Liturgi Hari ke-1: Merenungkan Liturgi Yang Signifikan

Hari ini hari Minggu Paskah II. Bacaan Injil mengisahkan Tuhan Yesus yang menampakkan diri kepada para murid yang sedang berkumpul pada hari pertama atau apa yang kita sebut hari Minggu. Pada waktu itu Thomas tidak ikut berkumpul. Barulah saat dia ikut berkumpul dalam pertemuan para murid hari Minggu, seminggu kemudian, Thomas berjumpa dengan Tuhan yang bangkit. Menarik sekali bahwa Tuhan menjumpai para murid yang sedang berkumpul pada hari Minggu, dan murid yang tidak ikut hadir tidak ikut mengalami Tuhan yang bangkit. Siapa, yang tidak ikut hadir dalam pertemuan umat, biasanya juga tidak ikut mengalami rahmat Tuhan yang hadir.

Kata Minggu berasal dari kata Portugis Dominggos, yang dibentuk dari akar kata Latin Dominus yang berarti Tuhan. Hari Minggu= hari Tuhan. Hari Minggu itu hari Tuhan sebab pada hari itu Tuhan bangkit. Dan Tuhan yang bangkit menjumpai umat-Nya yang rajin berkumpul dan beribadat bersama untuk memuji dan memuliakan Allah, mendengarkan Sabda-Nya dan merayakan Ekaristi kudus. Hari Minggu itu hari yang suci, hari kegembiraan, hari bebas kerja, pangkal dari segala pesta, dasar dan inti segenap tahun liturgi (SC 106). Inilah hari Minggu yang sarat makna dan arti, sebuah hari yang terpokok dari sepekan, sejak para rasul. Itulah sebabnya seluruh perayaan liturgi yang puncaknya Ekaristi pada hari Minggu adalah sebuah liturgi yang signifikan, artinya berdaya makna.

Arah Dasar Umat Allah KAS 2011-2015 mengajak seluruh umat beriman untuk menghadirkan Kerajaan Allah yang semakin signifikan dan relevan. Kini saatnya kita menggali kekayaan liturgi dan seluruh tradisinya, sebab tradisi liturgi suci yang sudah 2000 tahun ini pastilah sarat makna dan berdaya makna. Dari tradisi liturgi suci ini, telah begitu banyak orang kudus atau orang suci yang menimba kekuatan bagi hidup kesuciannya.

  • Renungan Bulan Katekese Liturgi Hari ke-2: Merenungkan Liturgi Yang Relevan

Hari ini adalah peringatan wajib Santo Atanasius, seorang uskup dan pujangga Gereja. Atanasius menjadi orang besar dan orang kudus, bukan hanya karena imannya yang mendalam dan teguh, tetapi juga benar karena mengimani Yesus Kristus, Sang Putra yang menjadi manusia. Keteguhan dan kebenaran imannya dibentuk oleh sikap dan pandangannya yang terbuka dalam menanggapi permasalahan yang sedang dihadapi Gereja pada zamannya. Santo Atanasius terkenal sebagai teolog yang gigih mempertahankan keallahan Yesus Kristus, yang merupakan iman Gereja namun sedang dirongrong oleh bidaah Arianisme. Santo Atanasius menjadi besar karena ia tanggap pada masalah pastoral zamannya. Ia menjadi manusia yang relevan sesuai dinamika masyarakat dan umatnya.

Masalahnya bagaimanakah membuat liturgi yang relevan, artinya sesuai dengan kebutuhan dan permasalahan masyarakat sekitar? Tetapi tidak sedikit orang yang mengeluh: mengapa kita tidak boleh memperlakukan tata liturgi secara bebas? Mengapa banyak aturan dalam liturgi Gereja? Jawabannya: semua norma liturgi aslinya ingin menjaga dan memastikan bahwa umat beriman berjumpa dan mengalami Misteri Tuhan yang kudus dan kini hadir di tengah kita (Redemptionis Sacramentum no. 1,2, dan 11).

Relevansi liturgi justru terletak pada inti perayaan liturgi sebagai perayaan perjumpaan kita dengan misteri Tuhan yang hadir dan menyelamatkan kita, bukan terletak pada kemauan dan selera pribadi kita ataupun kelompok. Untuk memastikan hal ini dan terlebih sebagai perayaan seluruh Gereja, norma-norma liturgi itu disusun dan perlu diindahkan. Itulah salah satu makna penting berkaitan dengan Arah Dasar KAS yang mengundang umat untuk memiliki iman yang relevan bagi masyarakat di Indonesia. Membuat liturgi yang relevan bukan berarti memasukkan segala keinginan dan simbolisasi yang sedang laku di masyarakat ke dalam liturgi, melainkan membantu umat yang konkret untuk dapat masuk ke dalam keagungan Misteri Suci yang dirayakan.
  • Renungan Bulan Katekese Liturgi Hari ke-3: Merenungkan Ekaristi sebagai Sumber dan Puncak Hidup Beriman


Hampir di semua gereja paroki atau stasi di manapun, pada saat Misa Malam Natal ataupun Malam Paskah selalu dipenuhi umat beriman. Orang boleh senyum-senyum karena selalu ada umat yang "nongolnya" di gereja ya pas Natal atau Paskah itu. Orang menyebutnya: Katolik napas, natal paskah. Syukurlah, sebagian besar umat Katolik umumnya pergi Misa Kudus di setiap hari Minggu. Bahkan sebagian umat sangat rajin mengikuti Ekaristi harian. Ini lebih hebat lagi. Pertanyaan sekarang ialah apakah perayaan Ekaristi kita telah berdampak dalam kehidupan dan perjuangan kita sehari-hari?

Konsili Vatikan II mengajarkan bahwa Ekaristi adalah "sumber dan puncak kehidupan umat kristiani" (dokumen Lumen Gentium 11). Artinya, hidup dan seluruh acara-kegiatan-pekerjaan ataupun pelayanan kita menemukan kekuatannya dari Ekaristi dan diarahkan kepada Ekaristi. Kita dapat tetap gembira, sabar, tabah, dan tahan banting dalam mengarungi perjalanan hidup kita yang tidak mudah ini hanya karena kekuatan dari Allah yang kita timba dari Ekaristi. Begitu pula rencana, cita-cita dan kegiatan kita dalam hidup bersama ataupun pribadi diarahkan kepada kemuliaan Allah dan keselamatan jiwa kita yang puncaknya dirayakan dalam perayaan Ekaristi.

Marilah kita menjadi orang Katolik yang cinta mati pada Ekaristi atau cinta pol pada Ekaristi. Cinta kepada Ekaristi itu bukan sekedar hadir dan rajin mengikuti Misa Kudus, akan tetapi juga tekun mewujudkan dalam hidup sehari-hari apa yang kita alami dalam Ekaristi, yakni persatuan dengan Tuhan. Kesatuan dengan Tuhan yang secara istimewa kita alami dalam Ekaristi kita hadirkan melalui tindakan cinta kepada sesama kita. Dengan demikian Ekaristi tidak sekedar ceremonial agung dan megah, melainkan menjadi "sakramen kasih Allah yang hidup" melalui tindakan kasih yang nyata dalam pergaulan dengan sesama.

* Renungan Bulan Katekese Liturgi Hari ke-4: Merenungkan Ekaristi Sebagai Sumber dan Puncak dari Devosi

Ibu si penjual soto di dekat sebuah tempat peziarahan Maria amat hafal dengan seorang peziarah yang selalu mampir ke warungnya di setiap hari Minggu siang. Terjadilah dialog kecil sebagai berikut: " Mas rajin sekali ya ke sini, ziarah ke Bunda Maria", kata penjual soto itu sambil melayani pemuda peziarah itu. "Iya bu, setiap Minggu kalau tidak ke sini, menghadap Bunda Maria, rasanya ada yang kurang", kata mas-mas tadi. "Sayangnya, tidak setiap Minggu ada Misa Kudus ya di sini, mas", kata penjual soto. "Ah, tidak masalah kok bu. Yang penting saya ketemu Bunda Maria. Tidak bisa Misa hari Minggu ya tidak masalah bagi saya..", sahut peziarah tersebut sambil menikmati sotonya yang terasa lezat itu.

Itulah contoh seorang yang begitu berdevosi kepada Bunda Maria melalui ziarah tetapi malah mengabaikan yang terpokok dan terpenting bagi umat beriman Katolik: perayaan Ekaristi atau Misa pada hari Minggu. Berdevosi itu sangat baik dan bahkan sangat dianjurkan oleh Gereja. Akan tetapi segala macam devosi, apa pun, tetaplah mengalir dari dan menuju pada Ekaristi Kudus. Ekaristi adalah sumber dan puncak segala macam devosi. Devosi adalah olah kesalehan melalui penghormatan kepada Tuhan atau orang kudus dengan penuh cinta. Namun apa pun bentuk devosinya, Ekaristi tetap menjadi sumber dan puncaknya.

Kelompok-kelompok doa, seperti Legio, Kerahiman Ilahi, Karismatik, Tritunggal Mahakudus, Meditasi Katolik, Hati Kudus, Monika, ataupun kelompok doa lainnya diharapkan tetap menempatkan Ekaristi sebagai pusat hidup pribadi dan sekaligus pusat hidup kelompok doanya. Bahkan Ekaristi dapat disebut sebagai sakramen kesatuan dan persatuan untuk seluruh umat dari berbagai kelompok doa atau devosi ini. Apapun kelompoknya, semuanya menjadi satu dan sama dalam Misa Kudus!

Sumber: Komisi Liturgi Keuskupan Agung Semarang