“Ya Allah kasihanilah aku orang berdosa ini.” (Hos 6:1-6; Mzm 51:3-4.18-21ab; Luk 18:9-14)

“Kepada beberapa orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain, Yesus mengatakan perumpamaan ini: "Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai. Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku. Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini. Aku berkata kepadamu: Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.”(Luk 18:9-14), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

· Orang sombong senantiasa memamerkan kemana-mana apa yang telah ia kerjakan atau capai dalam kehidupan ini, misalnya: gelar, kedudukan, kekayaan, pangkat dst.. Yang sering melakukan hal ini pada umumnya adalah para pemimpin, direktur, manajer, dst.., padahal kesuksesan usaha atau peran mereka tak pernah lepas dari jasa dan kinerja sekian banyak orang yang membantunya seperti para pegawai, buruh atau bawahan. Sabda hari ini mengingatkan dan mengajak kita semua untuk senantiasa bersikap rendah hati seperti pemungut cukai, yang berdoa kepada Tuhan “Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini”. Doa ini mengingatkan kami akan apa yang telah dimaklumkan oleh para Yesuit dalam Konggregasi Jendral ke 32, yang memaklumkan bahwa “Yesuit adalah pendosa yang dipanggil Tuhan untuk berpartisipasi dalam karya penyelamatan-Nya”. Marilah kita sadari dan hayati bahwa hidup dan segala sesuatu yang menyertai kita, atau kita miliki, kuasai dan nikmati sampai saat ini adalah anugerah Tuhan yang telah kita terima melalui saudara-saudari kita yang telah berbuat baik kepada kita melalui aneka cara dan bentuk. Karena semuanya adalah anugerah Tuhan, maka tidak ada alasan untuk menjadi sombong, dan jika sombong berarti tidak beriman. Kami berharap kepada mereka yang berpengaruh dalam kehidupan bersama untuk dapat menjadi teladan hidup rendah hati, sebagaimana juga diusahakan dan senantiasa dinyatakan oleh para gembala Gereja Katolik, para uskup bahwa dirinya adalah hamba yang hina dina.

· “Aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan, dan menyukai pengenalan akan Allah, lebih dari pada korban-korban bakaran” (Hos 6:6), demikian firman Tuhan melalui nabi Hosea. Kasih setia dan pengenalan akan Allah itulah yang didambakan dari kita semua umat beriman. Masa Prapaskah juga merupakan kesempatan untuk mawas diri perihal kasih setia dan pengenalan kita akan Allah. Pertama-tama marilah kita kenali, sadari dan hayati bahwa Allah telah mengasihi kita begitu melimpah ruah tanpa batas, dan meskipun kita sering kurang atau tidak mengimani kasih-Nya Ia tetap setia mengasihi kita, maka Allah adalah yang maha kasih setia.
Kami berharap para suami-isteri atau bapak-ibu dapat menjadi teladan dalam penghayatan kasih setia satu sama lain, sebagaimana pernah saling berjanji untuk saling mengasihi baik dalam untung maupun malang, sehat maupun sakit sampai mati atau selama-lamanya. Suami-isteri hendaknya bekerjasama dalam mengasihi anak-anaknya, mengingat dan memperhatikan bahwa anak adalah hasil atau buah kerjasama antar suami-isteri. Kebersamaan dalam mengasihi anak akan mengesan bagi anak-anak, dan dengan demikian anak-anak akan tumbuh berkembang dalam kasih setia juga. Setia berarti tidak mengurangi sedikitpun atas apa yang telah dijanjikan. Kasih setia hendaknya juga dihayati oleh para pekerja atau pegawai, para pejabat atau pemimpin, yaitu dengan tidak melakukan korupsi sedikipun. Kata bahasa Latin ‘corruptio’ (1) secara aktif berarti hal merusak, hal membuat busuk, pembusukan, penyuapan, (2) secara pasif berarti keadaan dapat binasa, kebinasaan, kerusakan, kebusukan, kefanaan, korupsi, kemerosotan. Sedangkan kata bahasa Latin ‘corruptor’ berarti perusak, pembusuk, penggoda, pemerdaya, penyuap. Dari pengartian kata ‘corruptio’ di atas kiranya dapat dipahami arti korupsi,yaitu kemerosotan moral dengan merusak yang lain demi keuntungan diri sendiri Melakukan korupsi berarti melakukan pembusukan.

“Engkau tidak berkenan kepada korban sembelihan; sekiranya kupersembahkan korban bakaran, Engkau tidak menyukainya. Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah. Lakukanlah kebaikan kepada Sion menurut kerelaan hati-Mu bangunkanlah tembok-tembok Yerusalem! Maka Engkau akan berkenan kepada korban yang benar, korban bakaran dan korban yang terbakar seluruhnya; maka orang akan mengorbankan lembu jantan di atas mezbah-Mu” (Mzm 51:18-21)


Jakarta, 2 April 2011

Romo Ignatius Sumarya, SJ