"Hukum manakah yang paling utama?" (Hos 14:2-10; Mzm 81:6c-8abc-11ab.14.17; Mrk 12:28b-34)


“Seorang ahli Taurat, yang mendengar Yesus dan orang-orang Saduki bersoal jawab dan tahu, bahwa Yesus memberi jawab yang tepat kepada orang-orang itu, datang kepada-Nya dan bertanya: "Hukum manakah yang paling utama?" Jawab Yesus: "Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini." Lalu kata ahli Taurat itu kepada Yesus: "Tepat sekali, Guru, benar kata-Mu itu, bahwa Dia esa, dan bahwa tidak ada yang lain kecuali Dia. Memang mengasihi Dia dengan segenap hati dan dengan segenap pengertian dan dengan segenap kekuatan, dan juga mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri adalah jauh lebih utama dari pada semua korban bakaran dan korban sembelihan." Yesus melihat, bagaimana bijaksananya jawab orang itu, dan Ia berkata kepadanya: "Engkau tidak jauh dari Kerajaan Allah!" Dan seorang pun tidak berani lagi menanyakan sesuatu kepada Yesus” (Mrk 12:28-34), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

· Aneka macam hukum hemat saya dijiwai oleh kasih dan diundangkan agar mereka yang berada di bawah hukum tersebut hidup saling mengasihi. Yesus mengajarkan kepada kita agar kita menghayati kasih sebagai hukum utama dan pertama, yaitu saling mengasihi “dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu”. Kasih yang demikian ini hemat saya telah dan pernah dihayati oleh suami-isteri yang diikat oleh dan dalam kasih, yaitu ketika sedang memadu kasih dalam hubungan seksual. Hemat saya hubungan seksual sejati merupakan perwujudan kasih sebagaimana diajarkan oleh Yesus. Symbol saling mengasihi antar suami-isteri terjadi ketika sedang saling menerimakan sakramen perkawinan atau meresmikan relasi berdua sebagai suami-isteri dengan saling mengenakan cincin pada jari manis pasangannya. Cincin yang bulat, tanpa ujung pangkal, melambangkan kasih tanpa batas alias bebas serta total. Dikenakan pada jari manis dengan harapan mereka yang mengenakannya senantiasa menghadirkan diri secara manis, menarik dan mempesona secara lahir batin. Memang hidup saling mengasihi, ketika sedang memadu kasih dalam hubungan seksual akan terasa manis semuanya.
Maka kami berharap kepada para suami dan isteri untuk dapat menjadi saksi kasih, teladan hidup saling mengasihi dengan segenap jiwa, segenap hati, segenap akal budi dan segenap kekuatan. Segenap berarti seutuhnya, total, maka jika tidak total berarti sakit, yaitu sakit hati, sakit jiwa, sakit akal budi/bodoh atau sakit tubuh. Bukankah mereka yang sedang menderita sakit akan merasa sulit untuk mengasihi, dan lebih tergerak mohon dikasihi. Jika kita jujur mawas diri kiranya kita masing-masing akan menyadari dan menghayati diri sebagai yang sedang sakit atau berdosa, maka baiklah dengan rendah hati kita siap sedia untuk dikasihi, artinya diperingatkan, dinasihati, dikritik dst.

· “Siapa yang bijaksana, biarlah ia memahami semuanya ini; siapa yang paham, biarlah ia mengetahuinya; sebab jalan-jalan TUHAN adalah lurus, dan orang benar menempuhnya, tetapi pemberontak tergelincir di situ” (Hos 14:10), demikian peringatan Hosea. Kita semua dipanggil untuk menempuh dan menelusuri ‘jalan-jalan Tuhan yang lurus’. Dengan kata lain kita dipanggil untuk senantiasa setia pada panggilan, tugas pengutusan, pekerjaan atau kewajiban kita masing-masing, serta tidak menyeleweng, berselingkuh atau berkorupsi sedikitpun. Kita semua dipanggil untuk berdisiplin dalam melakukan atau melaksanakan aneka tugas, tata tertib atau aturan. “Berdisiplin adalah sikap dan perilaku yang sudah tertanam dalam diri, sesuai dengan tata tertib yang berlaku dalam suatu keteraturan secara berkesinambungan yang diarahkan pada suatu tujuan atau sasaran yang telah ditentukan” (Prof Dr Edi Sedyawati/edit: Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka –Jakarta 1997, hal 10). Berlatih dan memperdalam berdisiplin hemat saya dengan membiasakan hidup dan bertindak sesuai dengan tata tertib terus-menerus. Secara phisik atau yang kelihatan rekan-rekan tentara/militer atau polisi kiranya dididik dan dibiasakan untuk berdisiplin, namun sayang hal itu tidak berkesinambungan dalam cara hidup dan bertindak, apalagi sungguh merasuk ke dalam hati dan jiwa, tentu saja tidak semuanya. Sebagai contoh: ada polisi atau tentara/militer yang terlibat dalam aneka tindak koruspi, penyelewengan atau perselingkuhan, atau melindungi aneka koruspi, penyelewengan dan perselingkuhan. Kami berharap kepada rekan-rekan umat beragama untuk terus menjadi teladan dan berjuang dalam hal berdisiplin, entah dalam menghayati ajaran agamanya maupun dalam aneka kesibukan dan pelayanan sehari-hari.

"Aku telah mengangkat beban dari bahunya, tangannya telah bebas dari keranjang pikulan; dalam kesesakan engkau berseru, maka Aku meluputkan engkau; Aku menjawab engkau dalam persembunyian guntur, Aku telah menguji engkau dekat air Meriba. Dengarlah hai umat-Ku, Aku hendak memberi peringatan kepadamu; hai Israel, jika engkau mau mendengarkan Aku!” (Mzm 81:7-9)


Jakarta, 1 April 2011

Romo Ignatius Sumarya, SJ